Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VIRGO Salosa berulang kali mengingatkan rekan-rekannya agar tidak rusuh atau melakukan perusakan. Hari itu, Senin dua pekan lalu, ia mondar-mandir di barisan massa aksi sepanjang sekitar 100 meter—melibatkan lebih dari 1.000 orang, termasuk tokoh adat dan keluarga karyawan. Sebagai koordinator unjuk rasa, ia berkepentingan menjaga demonstrasi tidak menjadi amuk. "Kami mau unjuk rasa berjalan lancar," kata pria 38 tahun itu akhir pekan lalu.
Demonstrasi itu awalnya berjalan damai. Bergerak dari Sekretariat Serikat Pekerja Seluruh Indonesia sekitar pukul 09.00 WIT, massa tiba di pertigaan menuju Terminal Gorong-gorong sejam kemudian. Kepala Kepolisian Resor Mimika Ajun Komisaris Besar Denny Edward Siregar ikut dalam barisan.
Sekitar seratus meter dari terminal, massa dihadang aparat. Di sana orasi dilanjutkan. Tokoh adat Amungme, Viktor Beanal, mengecam blokade itu. "Saya meminta polisi tak menghalangi. Kami ingin ke Tembagapura, tanah ulayat kami," ujar pria berusia lebih dari 80 tahun itu.
Denny lalu menenangkan massa dan menyatakan rombongan tidak boleh masuk. "Kami hanya menegakkan aturan," katanya. Orang-orang berteriak meminta manajemen PT Freeport Indonesia menemui mereka. Ketika perwakilan Freeport, Daan Dimara, hendak berbicara, massa merangsek. Polisi melindungi Daan. Lalu, dor… terdengar pistol menyalak. Seorang saksi menyebutkan Denny mengeluarkan tembakan peringatan. Tempo berusaha menghubungi Denny untuk mendapatkan konfirmasi, tapi tak berhasil.
Kondisi tak terkendali. Aparat kemudian menembak. "Arahnya ke tubuh bagian atas," kata komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ridha Saleh. Umumnya korban memang tertembak di sekitar kepala dan dada.
Massa yang beringas menghujani aparat dengan batu. Polisi mundur, masuk terminal. Bersama pasukannya, Denny terkurung dalam terminal bus, termasuk Komandan Detasemen B Brigade Mobil Mimika Komisaris YusÂwanto.
Siang harinya, seorang karyawan, Petrus Ayamiseba, tewas. Dadanya bolong diterjang peluru. "Dia tidak di barisan depan, tapi di belakang," kata pengurus SPSI Freeport, Tri Puspital. Petrus diduga ditembak oleh pengendara mobil truk Toyota LWB yang diparkir di belakang massa aksi. Truk itu biasanya digunakan perusahaan untuk pengawalan. Saat demo berlangsung, beberapa saksi melihat truk itu ditumpangi polisi.
Belasan korban terluka. Yang tertembak di antaranya Leo Wandegau, Alius Komba, Ahmad Mustofa, Melkias Rumbiak, dan Philiton Kogoya. Empat hari berselang, Leo meninggal. Brigadir Satu Jamil, anggota Brimob, dikeroyok massa. "Ia terluka akibat senjata tajam di leher dan perut," kata Wakil Kepala Polres Mimika Komisaris Mada Indra Laksanta.
Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, terjadi pelanggaran HAM dalam penanganan unjuk rasa itu. "Karena ada penghilangan hak hidup orang," kata Ridha Saleh. Menurut dia, polisi melanggar prosedur penanganan demonstrasi karena tidak ada kondisi yang memaksa mengeluarkan tembakÂan. Komisi telah membentuk tim untuk menyelidiki insiden tersebut serta meminta aparat yang melanggar ditindak tegas.
UNJUK rasa karyawan Freeport berawal dari mogok kerja sejak 15 September lalu. Mereka menuntut perbaikan upah kerja, kebebasan berserikat, dan dipekerjakan kembalinya karyawan yang dipecat karena mogok. Salah satu yang dipecat adalah Sudiro, Ketua SPSI FreeÂport.
Menurut Tri Puspital, perusahaan tak menggubris permintaan karyawan. Karyawan yang mogok juga diintimidasi. Beberapa karyawan bahkan sempat dipaksa keluar dari mess oleh satuan pengamanan perusahaan dan anggota Brimob karena dituding menggerakkan aksi mogok. "Perusahaan mempekerjakan buruh baru, menggantikan yang mogok," kata Tri.
Manajemen Freeport juga mengirim surat ke rumah asal pekerja, yang datang dari pelbagai pelosok Indonesia. Isinya panggilan kembali bekerja karena mogok dianggap mangkir. Bahkan seruan serupa disebar melalui lembaga agama dan sekolah-sekolah. "Brosur di sekolah isinya anjuran agar orang tua para murid kembali bekerja," kata Tri. Setidaknya 200 karyawan dikirimi surat yang berisi ancaman pemecatan.
Padahal, kata Tri, mogok dilakukan mengikuti prosedur yang ditetapkan aturan hubungan industrial, di antaranya tiga kali mengajukan permohonan berunding tapi tak ditanggapi perusahaan. Selain itu, pada awal September, serikat pekerja menyebar angket kepada sekitar 10 ribu karyawan perihal rencana aksi. Hasilnya, 90 persen karyawan setuju mogok.
Tidak hanya perusahaan, polisi ditengarai juga mengintimidasi karyawan. Dalam pertemuan di Hotel Rimba Papua, 30 Juli lalu, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Bigman Lumban Tobing meminta karyawan tidak mogok lagi. "Kalau kalian merah putih, tunjukkan merah putihmu," kata Bigman seperti ditirukan Sekretaris SPSI Freeport Obet Ratulobo.
Ketika Obet menyatakan pekerja, sebagai pahlawan devisa, seharusnya dilindungi, Bigman menghardik. "Pahlawan devisa apa? Marsinah dulu diketok mati juga." SPSI, kata Obet, menyimpan bukti rekaman perkataan itu. "Saya menilai perkataan itu merupakan ancaman," kata Obet. Sayang, Bigman tidak merespons panggilan telepon dan pesan pendek dari Tempo.
Direktur Utama Freeport Armando Mahler menuding pekerja yang mogok mengintimidasi karyawan yang bekerja. "Mereka memblokade sejumlah pintu masuk area pertambangan," katanya. Manajemen, kata Armando, akan membawa persoalan perburuhan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial. Penyerahan kasus ke pengadilan dinilai bisa mempercepat penyelesaian konflik.
Rusuh akibat aksi mogok belum selesai, kekerasan lain datang lagi. Senin pekan lalu, seminggu setelah rusuh mogok, tiga orang tewas ditembak di Mile 37 Timika. Mereka adalah Yana Heryana, Iip Abdul Rohman, dan Deden. Anggota TNI Prajurit Satu Thobias dan anggota pengamanan internal Freeport, Roy Makalele, terluka oleh peluru. "Pelaku diduga dari Organisasi Papua Merdeka," kata juru bicara Polda Papua, Komisaris Besar Wachyono. "Ada bukti ditemukan di lokasi kejadian."
Jumat pekan lalu, penembakan misterius terulang. Salah satu korban tewas adalah karyawan kontraktor FreeÂport, Aloysius Margana, serta dua pendulang emas, Yunus dan Eto. Atas kasus-kasus kekerasan itu, Komnas HAM meminta aparat tidak cepat menuding Organisasi Papua Merdeka-lah yang bertanggung jawab.
Tito Sianipar (Jakarta), Tjahjono E.P. (Mimika)
Data Cadangan Emas dan Lainnya
Cadangan 2009 | Amerika | Amerika Selatan | Indonesia | Afrika |
Emas (dalam juta ounce) | 0 | 1,5 | 35,5 | 0 |
Tembaga (dalam miliar pound) | 27,7 | 34 | 34,1 | 8,4 |
Sumber: Laporan Keuangan Freeport 2009, SPSI Freeport
Keterangan: Persentase tembaga Freeport di Indonesia mencapai 33 persen, dan 99 persen produksi emas Freeport di seluruh dunia berasal dari Indonesia.
Perbandingan Gaji Karyawan di Berbagai Tambang Freeport
Tahun | Amerika Utara | Amerika Selatan | Indonesia |
2006 | US$ 10-70 per jam | US$ 10-70 per jam | US$ 0,98-2 |
2008 | US$ 11,26-120 per jam | US$ 13,42-115 per jam | US$ 1,8-3 |
2010 | US$ 32-230 per jam | -- | US$ 2,1-3,5 |
Sumber: SPSI Freeport
Keterangan: Tuntutan pekerja Freeport Indonesia sebelumnya US$ 35-200 per jam. Belakangan, tuntutan itu turun dalam negosiasi karena perusahaan tidak memenuhinya, dari US$ 17,5-43 per jam, hingga tuntutan terakhir US$ 12-37,5 per jam. Namun perusahaan bergeming dan hanya sanggup menaikkan 25 persen dari yang terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo