Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Blue Energy</font><br />Mesin Ajaib Tak Kunjung Tampak

Joko Suprapto membuka tabir ”temuannya”. Ia merasa nyawanya terancam.

16 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAMELAN mengalun dari panggung di depan rumah Joko Suprapto, Selasa malam pekan lalu. Empat pesinden menembangkan lagu-lagu Jawa. Seratusan tamu meramaikan rumah pria 48 tahun yang sebulan terakhir menarik perhatian khalayak karena ”penemuan”-nya itu. Di luar pagar, pedagang dan anak-anak menambah semarak malam.

Ini malam istimewa di ”Padepokan Jodhipati”, begitu Joko menamai lahan satu hektare di rumahnya di Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur. Ia mengundang para tetangga, tokoh partai, pengasuh pesantren, dan birokrat setempat untuk membuka teknologi pengubah air menjadi bahan bakar. ”Saya tidak akan menutup-nutupi,” katanya dari atas panggung. ”Yang pasti, temuan saya ini murah.”

Joko mengklaim penemuan teknologi untuk menciptakan bahan bakar dari air. Klaim ini mengundang kontroversi karena Joko tak pernah menjelaskan ”temuan”-nya secara ilmiah. Namun ia mampu meyakinkan pusat kekuasaan, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden pun sempat memberi nama ”blue energy” dan berniat meluncurkan produk ini pada 20 Mei lalu.

Meski berjanji tak menutup-nutupi, ”Sang Penemu” tetap tak mempertontonkan mesin ajaibnya malam itu. Ia hanya meminta empat orang wakil masuk rumahnya: seorang guru kimia sekolah menengah atas, seorang dosen, seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah dari Partai Demokrat, dan wartawan Tempo. Sang dosen mengaku mengajar di Malaysia, tanpa menyebutkan universitasnya.

Meminta empat wakil itu menunggu di ruang depan, Joko masuk kamarnya. Winda Mirah, istrinya, tampak tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Dari kamarnya, Joko menenteng 20-an lembar kertas ukuran folio hasil cetakan komputer. Terlihat diagram dan gambar tabung warna hijau, biru, dan merah. Ada juga kertas dipenuhi huruf dan angka, menyerupai rumus kimia.

Menurut diagram, proses pengolahan air dimulai dengan penambahan ”surfaktan” untuk menurunkan tegangan permukaan apolarisasi. Lalu dilanjutkan dengan penambahan karbon dan ”peningkatan instabilitas bahan menjadi lebih mudah menguap”. Setelah itu, ada proses ”flamasi”, yaitu membuat bahan menjadi mudah menyala. Proses terakhir mengubahnya menjadi produk mentah, yang bisa diolah menjadi minyak tanah, solar, bensin, atau avtur.

Joko hanya mengizinkan ”tamu terpilih” membaca kertas kerjanya. Ia melarang mereka menyalin, apalagi memperbanyaknya. Ketika kemudian melayani pertanyaan-pertanyaan Tempo, Joko menyelipkan kertas-kertas itu di bawah pahanya. ”Seseorang telah mematenkan temuan saya,” katanya, tapi buru-buru ia menolak menyebutkan orang dimaksud.

Kepada Johny Nelson Simanjuntak, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Joko lebih terbuka. Ia mengatakan rahasia temuan dan nyawanya kini terancam. Menurut Johny, ada orang yang mendesak Joko segera menandatangani perjanjian. ”Muncul juga ancaman kepadanya: ‘Apa sudah bosan jadi manusia?’,” katanya.

Johny menemui Joko dua kali di rumahnya, pada 31 Mei dan 1 Juni. Didampingi Winda Mirah, Joko menyerahkan sejumlah dokumen, seperti draf perjanjian kerja sama. Surat perjanjian itulah biang kerok keresahan Joko. Itu sebabnya ia kabur awal Mei lalu, ketika dijadwalkan merakit alat pengubah air menjadi bahan bakar di Center for Food, Energy, and Water di Cikeas Udik, Bogor.

Joko Suprapto dirancang hendak menjalin kerja sama dengan Iswahyudi, pendiri Center for Food bersama Heru Lelono, anggota staf khusus presiden bidang otonomi daerah. Dalam draf sembilan halaman, Joko ditulis sebagai pihak pertama dan Iswahyudi pihak kedua.

Perjanjian mewajibkan semua rahasia temuan dan perangkatnya akan ditransfer ke Iswahyudi. Sebagai barternya, Joko menerima 45 persen keuntungan. Jika Joko meninggal, Iswahyudi akan menguasai seluruhnya. Juga disebut pemberian dana lanjutan kepada Joko Rp 2,2 miliar dalam dua tahap.

Ditanyai soal adanya tekanan kepada Joko Suprapto agar segera meneken perjanjian itu, Heru Lelono membantah. Sedangkan Iswahyudi enggan menanggapi isi draf perjanjian. ”Saya tidak mau berpolemik lagi,” katanya. ”Saya ingin fokus mengembangkan energi alternatif ini.”

Sayang sekali, ”teknologi” Joko yang menjadi sengketa itu tampaknya akan segera redup. Para peneliti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta memastikan pembangkit listrik buatan Joko palsu belaka. Padahal pembangkit inilah yang diklaim berperan penting untuk proses pembuatan minyak dari air.

Budi Riza, Gabriel Wahyu Titiyoga, Dwidjo U. Maksum (Nganjuk)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus