Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEWAT pukul sembilan pagi. Setelan piyama biru masih membalut tubuh Abdul Gafur, 68 tahun. Semerbak minyak angin mengiringi langkah pria kelahiran Ternate, Maluku Utara, itu ketika membuka pintu rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Rambutnya belum disisir, wajah tirusnya tampak berminyak. Suaranya lirih.
Penampilan Gafur saat ini kontras dengan fotonya yang terpajang di ruang tamu, jepretan 13 tahun lalu. Dalam foto itu Gafur gempal dan segar, didampingi istrinya, Kemala Motik. Ketika itu sang dokter anggota Dewan Pertimbangan Agung. Foto lain mempertontonkan gagahnya Gafur ketika menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga kabinet Soeharto.
Tapi, pagi itu, calon Gubernur Maluku Utara yang berpasangan dengan Abdurrahim Fabanyo ini sedang muram. ”Saya dizalimi,” katanya. Yang dirujuk Gafur adalah keputusan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Senin dua pekan lalu. Mardiyanto menyatakan pesaing Gafur, Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba, memenangi pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Mardiyanto berpijak pada fatwa Mahkamah Agung, 10 Maret lalu. Kata Mahkamah, hitung ulang di Hotel Bumi Karsa, Bidakara, Jakarta, Februari lalu, yang menyatakan pasangan Thaib-Gani menang, adalah sah. Thaib-Gani dijagokan Partai Demokrat—partai yang kelahirannya dibidani Susilo Bambang Yudhoyono.
Mardiyanto juga merujuk pada fatwa Mahkamah, 14 Mei lalu, bahwa pemerintah berhak membuat putusan jika timbul sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Bukannya meredam sengketa, putusan ini justru menyundut perkara baru. Gafur menuding Mardiyanto berpihak kepada Thaib. Mardiyanto tentu menampik. ”Pemerintah tak berpihak kepada siapa pun,” katanya.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar ikut mengecam Mardiyanto. Mereka menggalang hak interpelasi, yang akan bergulir jika Yudhoyono menandatangani pelantikan Thaib-Gani. Muncul pula seruan agar Partai Golkar, pengusung Gafur-Abdurrahim, menarik dukungan atas Yudhoyono. Tapi Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat Golkar Malkan Amin menyebut itu pernyataan pribadi anggota Dewan. ”Bukan sikap resmi partai,” ujarnya.
Ketua Partai Demokrat Max Sopacua pun menganggap enteng ancaman itu. Bekas penyiar Televisi Republik Indonesia ini justru mengingatkan, yang mencalonkan Jusuf Kalla wakil presiden bukan Golkar, tapi Demokrat. Golkar menyokong pemerintah setelah Jusuf Kalla terpilih sebagai ketua umum dalam Musyawarah Nasional di Bali, Desember 2004. ”Posisi inilah yang perlu dipahami teman-teman Golkar,” kata Max.
Lahirnya surat keputusan Mardiyanto, menurut sumber Tempo, berkat gigihnya Thaib mendulang dukungan Yudhoyono melalui sejumlah petinggi Demokrat. Menurut pengacara Thaib, Firman Wijaya, lobi politik merupakan sesuatu yang lazim dilakukan politikus. Tapi, kata Firman, yang membuat Thaib-Gani menang adalah kuatnya dasar hukum, bukan lobi.
Gafur juga blak-blakan menyatakan mencari sokongan dari partainya, termasuk Jusuf Kalla. Malkan Amin, yang dekat dengan Kalla, mengakui adanya lobi itu. Max Sopacua malah menganggap sudah semestinya Thaib ataupun Gafur berusaha mencari dukungan dari partai pendukungnya. ”Itu wajar saja, kok,” katanya.
Kini, baik melalui jalur politik maupun pengadilan, Gafur berusaha agar Thaib-Gani tak dilantik. Sebaliknya, Thaib juga tak mau keputusan pemerintah yang menguntungkannya mentah lagi. Kisruh pemilihan kepala daerah ini memang berpilin-pilin. Perkara ini muncul dari penghitungan suara di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat: Ibu Selatan, Sahu Timur, dan Jailolo, seusai pencoblosan suara November lalu.
Ketua Komisi Pemilihan Maluku Utara M. Rahmi Husen menolak hasil hitung suara versi rapat pleno Komisi Pemilihan Kabupaten Halmahera Barat karena dianggap manipulatif. Rahmi ditengarai berpihak dan punya hubungan keluarga dengan Thaib. Rahmi menampik tudingan itu. ”Saya bekerja profesional dan silakan uji hasil kerja saya,” katanya. Adapun Ketua Komisi Pemilihan Halmahera Barat Rusli Djalil dikenal dekat dengan kubu Gafur. Rusli juga mengelak. ”Saya tak punya kepentingan apa pun dengan Pak Gafur,” ucapnya.
Rahmi mengumumkan kemenangan Thaib di Jakarta. Menurut versi Rahmi, Thaib-Gani memperoleh 179.020 suara, sedangkan Gafur-Abdurrahim 178.157 suara. Pengumuman ini memicu gejolak karena tidak dilakukan dalam rapat pleno terbuka. Komisi Pemilihan Umum pusat lalu mengambil alih wewenang komisi daerah dan menonaktifkan Rahmi bersama anggota komisi lain, Nurbaya Soleman. Komisi pusat mengambil alih perhitungan dan menyatakan Gafur-Abdurrahim menang dengan suara 181.889 berbanding 179.020 suara perolehan Thaib-Gani.
Thaib-Gani tak tinggal diam. Mereka menggugat kewenangan Komisi Pemilihan pusat ke Mahkamah Agung. Lembaga ini memutuskan rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan pusat batal. Mahkamah juga meminta Komisi Pemilihan daerah menghitung ulang suara tiga kecamatan tersebut.
Komisi Pemilihan pusat merespons putusan itu dengan memecat untuk sementara Rahmi dan Nurbaya. Kedua orang itu menolak. Mereka justru menjalankan putusan Mahkamah, menghitung ulang suara di tiga kecamatan itu. Hasilnya bisa ditebak: Thaib-Gani menang. ”Pemecatan tak mempengaruhi kekuatan mengeksekusi putusan MA,” kata Rahmi.
Tapi Komisi Pemilihan pusat seolah tak ingin disalip. Komisi pusat menunjuk anggota Komisi daerah Muchlis, tapi sebagai pelaksana tugas Ketua Komisi daerah. Muchlis juga menjalankan putusan Mahkamah, melakukan hitung ulang di tiga kecamatan pangkal sengketa. Hasilnya: Gafur-Abdurrahim menang.
Berusaha memecahkan masalah, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto meminta fatwa Mahkamah. Jawaban Mahkamah, penghitungan versi Rahmi yang sah karena sesuai dengan prosedur dan hukum acara perdata. Selain itu, Menteri Dalam Negeri punya wewenang memutus, tapi melalui konsultasi dengan Dewan Maluku Utara.
Mardiyanto menyerahkan hal ini ke Dewan Maluku Utara, yang segera melakukan rapat pleno. Rapat dihadiri 20 dari 35 anggota, semuanya pendukung Gafur. Seorang izin sakit dan 14 sisanya memboikot. Di situ hadir pula Abdurrahim, yang masih Wakil Ketua Dewan. Rapat secara aklamasi merekomendasikan agar Presiden menandatangani pengesahan kemenangan Gafur. ”Sangat demokratis dan transparan,” ujar Abdurrahim.
Mardiyanto menafsirkannya berbeda. Penyelesaian di Dewan Maluku Utara tak utuh dan justru membelahnya dalam dua kubu. Ia menganggap keputusan rapat pleno Dewan Maluku Utara tidak dapat dijadikan landasan menyelesaikan kisruh pemilihan kepala daerah ini.
Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo