Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG penyidik kepolisian setahun lalu berharap menemukan keajaiban agar bisa menjerat otak pembunuhan aktivis Munir. ”Bagaimanapun pintarnya,” kata sang penyidik, ”seorang pelaku kejahatan pasti meninggalkan jejak tak sengaja.”
Jejak yang diharapkan itu kini terlacak dengan bantuan teknologi. Menurut seorang sumber, teknologi forensik komputer ”menghidupkan” kembali file-file yang sudah dihapus dari komputer kantor Deputi Kepala Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan. Di sinilah penyidik menemukan dua bukti penting yang menghubungkan lembaga telik sandi itu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana 20 tahun kasus ini.
Berbekal jejak lama itu, polisi kini menetapkan seorang tersangka baru kasus pembunuhan sang aktivis. Markas Besar Kepolisian Negara belum menyebutkan identitas sang tersangka. Namun sumber Tempo memastikan dialah Muchdi Purwoprandjono, Deputi Bidang Penggalangan ketika Munir dibunuh dalam penerbangan Garuda GA-974 Jakarta-Amsterdam pada 2004.
M. Luthfie Hakim, pengacara Muchdi, mengaku belum mengetahui informasi ini. Dua pekan lalu ia mengaku bertemu dengan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu dan sempat membicarakan perkembangan kasus Munir. ”Saya bertanya siapa tersangka baru yang dimaksud polisi,” kata Luthfie. ”Ia menjawab belum yakin.”
PERBURUAN jejak usang dimulai setahun lalu setelah Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda, memberi jalan. Ketika diperiksa sebagai terdakwa, ia mengaku menerima surat dari Wakil Kepala Badan Intelijen Negara M. As’ad. Isinya: permintaan agar Pollycarpus, pilot Airbus Garuda, ditempatkan di unit keamanan penerbangan.
Indra mengaku menerima surat berklasifikasi rahasia itu dari Pollycarpus di Hotel Sahid, Jakarta, pada Juni atau Juli 2004. Ia memenuhi permintaan As’ad dengan mengeluarkan surat penugasan untuk Polly pada 11 Agustus. Sayang sekali, surat penting itu raib bersama tasnya ketika mobil Indra dibobol maling di pelataran parkir hotel yang sama, akhir 2004.
Surat ini dianggap penting karena menjadi pintu Pollycarpus masuk unit keamanan penerbangan. Dengan posisi barunya, ia meminta Rohainil Aini, sekretaris pilot yang divonis bebas dalam kasus ini, agar mengubah jadwal penerbangannya. Ia, yang semula dijadwalkan ke Beijing pada 6 September 2004, lalu bisa terbang ke Singapura satu pesawat dengan Munir.
Dalam penerbangan Jakarta-Singapura, Pollycarpus menawarkan kursinya di kelas bisnis kepada Munir. Tawaran ini diterima, sehingga sang aktivis, yang bertiket ekonomi, duduk di kelas bisnis. Menurut pengadilan, ini mempermudah Pollycarpus menjalankan rencana melenyapkan Munir. Dengan duduk di kelas bisnis, Munir cepat keluar dari pesawat untuk makan dan minum di Bandar Udara Changi, Singapura, pada saat transit.
Di Coffee Bean, Changi, Pollycarpus menemani Munir minum. ”Di situ, Munir duduk menunggu minuman yang dipesan dan dibawakan sendiri oleh Pollycarpus,” demikian tertulis dalam berkas putusan pengadilan. ”Itulah saat paling tepat melaksanakan maksud Pollycarpus untuk memasukkan sesuatu ke dalam minuman.”
Seperempat jam setelah pesawat mengudara dari Changi, Munir mulai mual-mual. Ia juga bolak-balik ke peturasan. Tujuh jam kemudian, awak pesawat memastikan ia wafat. Jenazahnya dibaringkan di lantai, bibirnya membiru. Tiga bulan kemudian, Kementerian Kehakiman Belanda memastikan ia tewas diracun arsenik.
Kebenaran surat untuk Indra Setiawan yang hilang itu dikonfirmasikan oleh Budi Santoso, Direktur Supporting Unit dan bawahan Muchdi pada 2004. Agen madya yang kini ditugasi di Pakistan itu mengakui pernah diminta Pollycarpus mengoreksi konsep surat dari As’ad. ”Surat penugasan tersebut adalah rekomendasi agar Pollycarpus masuk corporate security Garuda,” kata Wisnu Wardana, nama lain Budi Santoso, kepada polisi. Ia pun menceritakan kedekatan Pollycarpus dengan bosnya.
Keterangan pria 58 tahun itu menguatkan materi peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung. Mahkamah Agung kemudian memutus bersalah Pollycarpus, yang sempat dibebaskan pada persidangan kasasi. Persoalannya, keterangan Budi Santoso dianggap belum cukup untuk menjerat Muchdi, yang oleh kalangan intelijen dipanggil ”Michael”—mungkin karena kesamaan huruf depan namanya.
Polisi lalu meminta izin Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar untuk memeriksa komputer di kantor Deputi Bidang Penggalangan. ”Agar tidak ada yang tersinggung, polisi tidak memakai istilah penggeledahan,” kata sumber Tempo. ”Padahal sebenarnya sama saja.” Dari sini teknologi forensik komputer mulai beraksi: data lama disisir, arsip yang terkubur dibangkitkan kembali.
Polisi menemukan keajaiban pertama: daftar nama dan nomor telepon jejaring intelijen. Di situ tertera antara lain nama Pollycarpus. Jika benar, daftar ini bisa meruntuhkan pernyataan Pollycarpus dan Muchdi, yang selama ini selalu mengatakan tak saling kenal. Lalu keajaiban kedua muncul: konsep surat penugasan Pollycarpus bisa dimunculkan kembali.
Tim penyidik yang dipimpin Brigadir Jenderal Mathius Salempang kembali meminta keterangan Budi Santoso. Demi alasan keamanan, menurut sumber lain, alumnus Akademi Militer 1973 itu—seangkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—dimintai keterangan di Singapura. Ia kemudian diterbangkan kembali ke negara lain di luar Pakistan.
Polisi juga kembali meminta keterangan Pollycarpus dan Indra Setiawan. Indra, menurut Antawirya J. Dipodiputro, pengacaranya, kembali dimintai konfirmasi soal surat penugasan Pollycarpus. Adapun Pollycarpus ditanyai soal hubungannya dengan Muchdi dan Badan Intelijen Negara. ”Semua pertanyaan ia jawab dengan tidak tahu atau tidak benar, kecuali ketika ditanyakan namanya,” kata sumber itu.
TIM penyidik akan segera menahan tersangka baru itu. Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengklaim polisi memiliki bukti cukup. ”Dalam waktu dekat ada tindakan penahanan,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu.
Menurut Bambang, tersangka baru akan dijerat dengan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di situ disebutkan, pelaku tindak pidana penyertaan ialah mereka yang melakukan, menyuruh, dan turut serta melakukan perbuatan. Disebutkan pula mereka yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan atau ancaman, juga memberikan sarana atau kesempatan untuk menganjurkan tindak pidana. Bambang mengatakan polisi telah memeriksa saksi-saksi, baik di dalam maupun luar negeri.
Kejaksaan Agung pun telah menunjuk lima jaksa untuk menangani kasus ini. Mereka adalah Cirus Sinaga sebagai ketua tim, Agus Rismanto, Arief Mulyana, Naju Ambarita, dan Edi Saputra. Pekan lalu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga meminta berkas perkara kasus ini dengan berita acara pemeriksaan tersangkanya. ”Supaya lengkap,” katanya. Ia menambahkan, data dari kepolisian memenuhi unsur-unsur yang disangkakan, yakni pembunuhan berencana.
Hampir empat tahun setelah kematian Munir, mungkin saja keajaiban yang diharapkan sang penyidik benar-benar terjadi. Dengan begitu, otak durjana pembunuh sang aktivis bisa dikejar.
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo