Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR itu mengejutkan Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal. Beberapa saat setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dua pekan lalu, selarik pesan pendek masuk ke telepon selulernya. Ada sejumlah pasal di dalam undang-undang baru itu yang bisa ”mengirim” wartawan ke penjara.
”Saya terkejut,” kata guru besar ilmu politik Universitas Gadjah Mada itu kepada Bunga Manggiasih dari Tempo. ”Pekan ini kami akan menggelar rapat. Menteri Komunikasi dan Informatika juga akan kami undang.”
Selasa dua pekan lalu itu, lewat sidang paripurna, para wakil rakyat di Senayan memang mengegolkan RUU ITE, demikian akronim RUU ini disebut, menjadi undang-undang. Undang-undang itu sudah dikirim ke Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden. ”Jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak menandatanganinya, undang-undang itu otomatis berlaku,” kata Ketua Panitia Khusus RUU ITE Suparlan.
Rancangan undang-undang ini lumayan lama ngendon di DPR. Dikirim pemerintah pada 2003, RUU yang draf awalnya dibuat Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian ini sempat terbengkalai hingga 2005. Baru pada 2006 DPR membahasnya lagi. ”Tapi intensifnya baru sejak 2007,” ujar Wakil Ketua Panitia Khusus RUU ITE Muhammad Yasin Kara.
Meliputi 13 bab dan 54 pasal, inilah undang-undang yang khusus mengatur segala hal yang berkaitan dengan transaksi dan informasi lewat elektronik—misalnya transaksi lewat ATM dan lewat Internet—termasuk mengatur informasi yang muncul di media maya. Undang-undang ini juga menegaskan tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional. ”Undang-undang ini akan menjadi payung hukum untuk semua kegiatan dan transaksi yang memakai elektronik,” kata Suparlan. Peraturan baru ini juga diharap bisa meredam pornografi yang ada di media online.
Tapi inilah soalnya. Di antara puluhan pasal itu terselip dua pasal yang membuat kalangan pers terperanjat, yakni pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2. Pasal 27 berisi larangan menyebarkan informasi yang berpotensi mencemarkan nama baik. Sedangkan pasal 28 berisi larangan menyebarkan informasi yang bisa menimbulkan kebencian atawa permusuhan, baik individu maupun kelompok.
Hukuman terhadap pelanggaran atas kedua pasal itu cukup berat: bisa dijebloskan ke penjara hingga enam tahun, plus membayar denda sampai Rp 1 miliar. ”Ada penumpang gelap dalam RUU itu,” kata anggota Dewan Pers, Leo Batubara.
Selama ini, pasal ”pencemaran nama baik”, yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, merupakan pasal yang paling kerap dipakai untuk menyeret wartawan ke meja hijau. Dengan definisi ”pencemaran nama baik” yang lentur bak karet, siapa pun bisa memperkarakan media massa dengan dalih ”merusak nama baik”-nya.
Selama ini, Dewan Pers terus melakukan perlawanan terhadap ”pasal karet” peninggalan Belanda yang umurnya sudah seratus tahun itu. Mengacu pada Undang-Undang Pers, menurut Leo, siapa pun yang dirugikan karena pemberitaan tidak bisa diadili memakai KUHP. ”Jika memakai KUHP, itu sama artinya melakukan kriminalisasi terhadap pers,” ujarnya.
Di mata Leo, munculnya Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik berpotensi menyeret wartawan ke meja hijau. ”Semua pers yang memiliki media online terancam dengan adanya pasal-pasal itu,” katanya. Leo menyesalkan DPR dan Kementerian Komunikasi yang tidak meminta pendapat Dewan Pers atas adanya pasal-pasal itu. ”Mestinya mereka tahu itu domain Dewan Pers atau organisasi pers.”
Pemimpin redaksi media online Detik.com, Budiono Darsono, mengaku prihatin dengan munculnya pasal-pasal karet yang ”menumpang” dalam Undang-Undang Informasi. ”Sekarang katanya era kebebasan pers, tapi makin hari pers kok justru diberi pagar berduri yang makin tidak keruan,” ujar Budiono.
Menurut Budiono, pasal-pasal itu melanggar kebebasan berpendapat, yang dijamin konstitusi. Karena itu, kata Budiono, sebelum Undang-Undang ITE telanjur menelan korban, Dewan Pers dan media massa harus membawanya ke Mahkamah Konstitusi. ”Harus dilakukan judicial review atas undang-undang ini,” katanya.
L.R. Baskoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo