Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>DPR</font><br />Aliran Dana Aneh bin Ajaib

Sebundel dokumen membongkar aliran dana BI ke DPR. BI mengakui otentitas dokumen.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALINAN dokumen itu memang mengungkap perkara aib: aliran dana Bank Indonesia ke para anggota lembaga legislatif. Ada 26 helai kertas penting yang memuat memorandum, lembar disposisi pejabat, rincian biaya, kuitansi, dan warkat realisasi anggaran. Ada juga rekapitulasi aliran uang dari Bank Indonesia ke setidaknya 52 anggota DPR berkedok ”bantuan tunai pada stakeholder”.

Keterangan penggunaan uang juga aneh bin ajaib. Misalnya, tanpa ba-bi-bu, Bank Sentral menyangoni 20 anggota Panitia Kerja Anggaran DPR masing-masing Rp 5 juta. Ada pula uang untuk ongkos haji, biaya berobat anggota Dewan, bahkan biaya kesehatan istri sakit di Jerman. Penjelasan ongkos berobat dikemas sebagai keperluan ”komunikasi intensif”.

Guyuran uang itu terjadi pada 2006-2007. Jumlahnya US$ 145.895 dan Rp 2,07 miliar. Total sekitar Rp 3,4 miliar jika kurs rupiah terhadap dolar diasumsikan Rp 9.194. Skandal uang panas ini terkuak oleh Brigade Pemburu Koruptor, Koalisi Anti-Utang, Celgor (Central for Local Government Reform), Pusat Studi Kebijakan Publik, dan Sugeng Saryadi Syndicate.

Rabu dua pekan lalu, lima lembaga nonpemerintah ini melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Ini suap,” kata Ketua Barisan Pemburu Koruptor, Munarman, Kamis pekan lalu. Dokumen mengungkapkan, setidaknya dalam sembilan modus, Bank Sentral bermain-main anggaran menyervis anggota Dewan.

Tiga kali dana mengalir ke Komisi XI DPR, atas nama uang partisipasi. Ini dibuktikan dengan memo pejabat BI. Kunjungan ke daerah juga menjadi alasan untuk mendapat kucuran uang. Beberapa anggota komisi yang membidangi keuangan dan perbankan itu juga pergi ke Singapura, Jepang, Belanda, Australia, dan Cina. Ada pula kunjungan bersama pejabat BI ke Tokyo, London, Paris, dan Boston.

Silaturahmi partai, buka puasa anggota Komisi XI, dan bantuan untuk korban gempa Yogyakarta juga diambil dari kocek BI. Ada pula uang untuk apresiasi dan diseminasi. Membahas RUU Mata Uang dan ketentuan umum pajak oleh DPR juga bisa menjadi alasan. Modus lain: menghadiri seminar Islamic Forum di Yordania dengan alasan ada hubungan dengan RUU Perbankan Syariah. Ini pula dalih beberapa anggota DPR minta uang saku berkunjung ke sejumlah negara Asia.

Dokumen paling lengkap adalah perjalanan dinas empat anggota DPR, yakni Bomer Pasaribu, Ali Masjkur Musa, Andi Rahmat, dan Ganjar Pranowo (dokumen menulis Prastowo). Kunjungan ini terdokumentasi dalam tiga memorandum, selembar tanda terima, dan selembar perkiraan rincian biaya lump sum perjalanan dinas. Mereka berkunjung sepuluh hari, 3-12 Maret 2007, ke London dan New York, menyambut berakhirnya pembahasan draf RUU Mata Uang.

Sejumlah pejabat BI menyertai kunjungan, termasuk Deputi Gubernur BI Budi Rochadi, yang menerima lembar disposisi rencana kunjungan kerja itu. Dokumen menunjukkan mereka mendapat fasilitas uang harian, uang jabatan, uang taksi bandara luar negeri, uang tiket, uang taksi bandara dalam negeri, dan pajak bandara. Jumlahnya Rp 1 juta plus US$ 13.960—senilai Rp 130 juta.

Ganjar mengatakan, benar ia yang dimaksud sebagai Ganjar Prastowo dalam dokumen. Menurut sekretaris Fraksi PDI Perjuangan itu, ia ke luar negeri diundang BI. Jika kunjungan itu haram, ia siap mengembalikan uang yang diterimanya. Apalagi ia yakin BI hanya menanggung tiket pulang-pergi ke London dan New York.

Di sana, kata Ganjar, ia bertemu dengan perwakilan BI. Anggota DPR mendapat penjelasan tentang undang-undang mata uang di dua negara yang secara ekonomi lebih maju. Guna mempertajam pengetahuan, Ganjar belanja buku di New York. Ia semula ingin membayar sendiri belanja buku itu, tapi orang dari BI mengambil alih pembayaran. ”Mungkin itu uang saku,” katanya sebelum terbang mengunjungi istrinya yang sedang melakukan studi di Jepang, Kamis malam pekan lalu. ”Saya minta dibuka saja semua, mungkin saya naif menerima undangan itu.”

Ganjar sempat mengajak tiga koleganya menjelaskan secara terbuka duduk perkara. Tapi tiga yang lain memilih irit bicara. Bomer, politikus Golkar yang saat itu Ketua Badan Legislasi, mengaku tak tahu dokumen tersebut. Ali Masjkur Musa, yang kini santer disebut calon pengganti Muhaimin yang dipecat Abdurrahman Wahid dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, berusaha menyelidiki aktor dan motif tersiarnya dokumen. Adapun politikus Partai Keadilan Sejahtera, Andi Rahmat, menganggap ia masuk pusara fitnah. ”Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan,” katanya.

BI mengakui otentitas dokumen. Budi Rochadi tak menampik pernah mendampingi anggota Dewan ke London dan New York. ”Akan saya jelaskan, tapi nanti,” katanya, Jumat pekan lalu. Ketua DPR Agung Laksono meminta KPK mengusut kasus ini. Sesungguhnya, kata Agung, DPR tahun lalu telah menyebar surat edaran ke semua departemen, instansi, dan lembaga negara untuk tidak mendanai kegiatan DPR.

Bola panas uang BI kini di tangan KPK. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Mochamad Yasin, melihat adanya indikasi menyimpang. Segala penyimpangan keuangan yang dilaporkan ke KPK dan mengarah pada pidana korupsi, katanya, pasti diusut. ”Sedang kami teliti,” kata Yasin. ”Kami tidak bisa langsung menyatakan mereka bersalah.”

Brigade Pemburu Koruptor menyatakan baik DPR maupun BI menjadi biang mengucurnya uang publik ini. Menurut Munarman, kegiatan anggota Dewan tidak menjadi tanggungan mitra kerjanya. Sebaliknya, ia masygul: mengapa untuk menyalurkan bantuan korban bencana, BI harus melalui anggota DPR. Padahal BI punya cabang di daerah bencana, yang bisa menyalurkannya langsung.

Bukti dokumen ini, kata Munarman, menguatkan indikasi eratnya interaksi sarat kepentingan dan uang antara BI dan DPR. Apalagi, sebelumnya, skandal uang Rp 31,5 miliar dari BI ke DPR sudah dibongkar BPK. Munarman masih menyimpan bukti-bukti lain transaksi uang BI ke DPR. Jadi, katanya, tunggu terkuaknya skandal uang BI-DPR jilid berikut.

Sunudyantoro, Gabriel Wahyu Titiyoga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus