Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=2 color=#CC0000>Ali Imron: </font><br />Saya Bekerja Sama dengan Polisi

12 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULU di layar kaca, Ali Imron, 37 tahun, pernah dengan mahir memamerkan caranya merakit bom. Kabel-kabel dililit, bahan peledak disusun dalam sebuah rak plastik. Ia menyebut apa yang dilakukannya dengan bom Bali—membunuh 202 orang pada 12 Oktober 2002—sebagai ”karya anak bangsa”.

Tapi Ale, begitu Ali Imron biasa disapa, kini berubah. Ia bukan lagi anggota gerakan Islam garis keras yang siap membunuh orang kafir. Dihukum seumur hidup—lebih ringan dibanding dua kakaknya, Amrozi dan Mukhlas, serta Imam Samudra, yang divonis mati—ia kini banyak membantu polisi.

Dua kali ia pernah membikin heboh. Pertama, ketika ia dipergoki sedang nongkrong bersama Inspektur Jenderal Gorries Mere, saat itu Kepala Satuan Tugas Bom Kepolisian Negara RI, di kafe Starbucks, Jakarta, 1 September 2004.

Kedua, ketika ia dan sejumlah terpidana kasus teroris lainnya berbuka puasa di rumah Brigadir Jenderal Surya Darma, Kepala Satuan Tugas Bom saat ini, dua hari sebelum Lebaran lalu. Banyak yang curiga, Ali Imron mendapat banyak keistimewaan dari polisi. Langkah polisi ”meminjam” Ale selama berbulan-bulan juga disorot.

Kepada wartawan Tempo Budi Setyarso, di ruang tamu tahanan Markas Besar Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jumat dua pekan lalu, Ale menjelaskan panjang-lebar soal hubungannya dengan polisi.

Sore itu, ia berkaus putih ketat dengan sarung melilit hingga betis. Sandal jepit birunya tampak baru. ”Saya kurang olahraga,” kata alumni perang Afganistan 1993 itu sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.

Mengapa Anda bersedia membantu polisi?

Setelah bom Bali dan Amrozi ditangkap, saya melakukan koreksi: ”Benarkah jihad yang kami lakukan itu sudah sesuai dengan syar’i?” Sejak diturunkannya syariat jihad, saya yakin pasti pernah ada kesalahan. Saya menganggap ditangkapnya Amrozi itu salah satunya. Karena itu, saya cari letak kesalahannya: hanya soal teknis atau kesalahan syar’i.

Kesimpulan Anda?

Bom Bali melanggar beberapa adab jihad. Pertama, kami tidak memberikan peringatan sebelum menyerang. Mestinya, kami lebih dulu mengajak kaum kafir agar masuk Islam, lalu memberikan alasan mengapa mereka harus diserang. Kawan-kawan menganggap peringatan itu secara umum telah disampaikan oleh Usamah bin Ladin, yang selama ini kami panuti saat berjihad. Itulah yang dilakukan saat mengebom rumah Duta Besar Filipina, bom gereja malam Natal (2000), dan bom Bali.

Anda setuju dengan mereka?

Saya bertanya: apa peringatan oleh Usamah sudah cukup? Dulu Rasulullah menyerang suatu kampung dengan terlebih dahulu memberi peringatan untuk kampung itu. Begitu juga penyerangan yang dilakukan khalifah setelah Rasulullah.

Apa lagi yang dilanggar?

Larangan membunuh wanita kecuali mereka ikut memerangi kita. Bagaimanapun, kemungkinan adanya laki-laki dan perempuan di sasaran pengeboman adalah 50:50. Kami juga belum tahu apakah yang di tempat itu semuanya orang kafir. Jadi saya menganggap kami sembrono menentukan sasaran.

Setelah menyadari kesalahan itu, saya memutuskan tidak akan melawan polisi. Ketika saya lari ke Kalimantan, semua senjata saya tinggal. Saya hanya menunggu takdir untuk ditangkap. (Ale ditangkap di Pulau Berukang, Kalimantan Timur, 14 Januari 2003. Menurut seorang anggota Satuan Tugas Bom yang menangkapnya, Ali Imron bersujud syukur saat disergap. ”Dengan demikian, berakhirlah stres saya,” kata Ali Imron seperti ditirukan perwira menengah itu kepada Tempo.)

Lalu?

Saya mengaku bersalah dan siap bertanggung jawab. Saya juga berniat membantu agar tidak ada lagi pengeboman dan aksi jihad seperti yang kami lakukan di Bali. Saya mengikrarkan diri akan bekerja sama dengan siapa saja, termasuk polisi. Saya tambah tersentuh ketika Pak Gorries Mere, penyidik saat itu, selama pemeriksaan mengatakan bahwa polisi tidak pernah menjadikan kami sebagai musuh.

Benarkah Anda membuka semua jaringan Anda kepada polisi?

Oh, tidak. Saya sebatas menyebutkan orang yang telah disebutkan oleh mereka yang pertama ditangkap: Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas. Mengapa kemudian orang menyangka saya yang membongkar, karena saya terus terang saat diinterogasi, disidik, hingga di persidangan. Yang lain hanya terus terang saat diinterogasi dan disidik, tapi menyangkal di persidangan. Padahal pengadilanlah yang dilihat oleh dunia.

Anda dimusuhi kawan-kawan Anda?

Di antara kawan-kawan, muncul fitnah bahwa sayalah yang membuka semua. Pernah ada tamu dari Lamongan menjenguk saya di Kerobokan dan bertanya, ”Kenapa Ustad membongkar semua?” Saya jawab begini: ”Mas, yang ditangkap pertama kali itu siapa?” Saya yakin banyak yang mendukung sikap saya, terutama karena saya mengakui kesalahan bom Bali. Saya tahu mayoritas dari mereka (anggota Jamaah Islamiyah—Red.) tidak setuju dengan pengeboman itu.

Apa saja pengakuan yang datang dari Anda?

Hanya tempat merakit bom Bali. Oleh Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas, saya disebut sebagai koordinator lapangan yang tahu semuanya. Kenyataannya memang begitu, jadi saya tunjukkan tempat perakitan.

Polisi secara resmi meminta bantuan Anda?

Tidak secara resmi. Tapi sejak awal saya kan memang bersedia membantu untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi saya atau polisi. Artinya, kalau saya tahu yang mereka tanyakan, saya sampaikan. Kalau ndak tahu, saya jawab ndak tahu.

Anda sering dipertemukan dengan tersangka yang baru ditangkap. Apa yang Anda sampaikan kepada mereka?

Biasanya saya menanyakan apa yang mereka rasakan. Lalu, ”Apakah antum termasuk yang mencurigai saya?” Ketiga, lebih baik mana ditangkap seperti ini atau leluasa di luar menjalankan perintah dakwah amar makruf nahi munkar. Pertanyaan seperti itu untuk mengawali. Lalu saya sampaikan bagaimana adilnya polisi dalam menangkap kami. Kenapa ditangkap? Kalau tidak terlibat bom, hanya menjadi penceramah yang mengobarkan jihad, tak mungkin saya ditangkap. Kalau antum tidak ketemu orang yang masuk DPO (daftar pencarian orang), tidak mengadakan pelatihan membawa senjata, antum tidak mungkin ditangkap.

Apa reaksi mereka?

Kebanyakan langsung menyadari. Lalu saya tanyakan, ”Bagaimana sikap polisi terhadap kalian? Apakah polisi menjadikan kalian musuh?” Kebanyakan dari mereka menyatakan tidak. Siapa pun, saat ditangkap, pasti mengalami begitu (kekerasan—Red.).

Pada bulan puasa lalu, Anda berdiskusi semalaman dengan Abu Dujana—tersangka terorisme lainnya. Apa yang dibahas?

Dia sampaikan pertanyaan yang selama ini mengganjalnya: apakah Ustad Zulkarnaen (tersangka teroris yang saat ini masih buron—Red.) saat ini terlibat bom Bali? Saya katakan tidak. Justru saya menyangka Abu Dujana selama ini bersama-sama dengan Ustad Zulkarnaen. Ternyata tidak. Dia tahu bahwa kami berada di bawah struktur Ustad Zulkarnaen. Jadi dia pikir Ustad Zulkarnaen terlibat.

Bagaimana sikap Abu Dujana setelah penjelasan Anda?

Dia lega karena selama ini mayoritas teman JI menyangka Ustad Zulkarnaen terlibat. Mereka yang tak setuju dengan pengeboman itu lalu menyalahkannya. Sejak awal saya tahu Abu Dujana nggak setuju pengeboman, bahkan sejak bom di rumah Duta Besar Filipina.

Tapi dia tidak melawan Noor Din?

Dalam dialog-dialog, sikapnya terhadap Noor Din sangat keras. Kepada kelompoknya, selalu dia sampaikan, ”Yang ikut Noor Din silakan keluar dari kami.”

Anda bisa meyakinkan yang lain, kenapa tidak bisa meyakinkan Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas?

Sejak dulu mereka nggak mau. Dulu, ketika kami masih di Polda Bali, banyak polisi yang mau membantu. Tapi mereka nggak mau.

Dengan membantu polisi, Anda mendapat apa?

Sejak di Bali, Pak Gorries sudah menawarkan, kalau keluarga perlu sesuatu, sampaikan saja. Kami semua ditawari seperti itu, tapi tidak semuanya menerima. Kalau saya oke saja, kalau perlu saya sampaikan. Apa salahnya, wong mereka yang menangkap kami.

Maksudnya?

Sejak awal saya bilang polisi itu manusia. Manusia itu pasti ada imbal baliknya. Kalau kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain, kita harus baik kepada orang. Kalau kita ingin tidak dikawal ketat, ya, kita tidak usah neko-neko. Kita ini di penjara sama gembok saja kan kalah. Saat di Kerobokan, kami pernah menghuni tower—penjara khusus yang tempatnya di bawah penampungan air, dipagari khusus, dan tidak sembarang orang boleh masuk. Saya sering menasihati sipir penjara, ”Kalau kawan-kawan saya membawa sesuatu yang membahayakan sampean, sebaiknya tidak usah diterima.” Dulu kan tahanan tidak boleh membawa HP, ya, saya minta tidak usah dimasukkan. Radio saja saya tidak pernah. Saya tak mau memberatkan orang lain.

Sekarang boleh bawa HP?

Boleh.

HP Anda Nokia Communicator?

(Tak menjawab) Wah, ini perjalanan lama, ha-ha-ha….

Anda tinggal di apartemen?

Anda lihat sendiri saya di sini. Tapi saya memang pernah diajak polisi ke apartemen untuk dipertemukan dengan kawan-kawan yang lain.

Kabarnya, Anda biasa naik taksi keluar dari tahanan?

Pernah, tapi sama yang lain dan petugas. Tapi, sejak awal, ketika saya ”dibon” keluar, saya tidak pernah diborgol. Yang ngawal saya pun tak banyak.

Pernah terpikir untuk lari?

Tidak. Kalau mau, ada 1.001 kesempatan. Tapi untuk apa? Saya tetap berkomitmen dengan perjanjian yang saya buat dengan polisi. Kalau saya berkhianat, tidak hanya dengan polisi, tapi juga kepada Allah. Dalam perang saja, kalau saya dibebaskan dengan syarat tak lagi memerangi mereka, saya harus memenuhi perjanjian itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus