Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN yang berlangsung satu jam lebih itu terasa gayeng. Topik yang dibicarakan adalah soal pembekuan pengurus PKB wilayah Jawa Timur. ’’Gara-gara pembekuan itu, kondisi jadi mengambang. Cabang-cabang juga diam,’’ kata Churriyah Imron Hamzah, salah seorang peserta pertemuan.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan di kantor Nahdlatul Ulama Jakarta pada Selasa pekan lalu itu, yang menjadi tuan rumah adalah Ketua NU KH Hasyim Muzadi. Para tamu dipimpin KH Azis Manshur, mantan Ketua Dewan Syura PKB Jawa Timur, yang didampingi empat anggota Dewan Syura, termasuk Churriyah.
Para tamu mengadu soal pembekuan PKB cabang Jawa Timur pimpinan Imam Nahrawi dan KH Azis Manshur oleh Ketua Dewan Syura PKB pusat Abdurrahman Wahid. Tiga surat penolakan pembekuan sudah dilayangkan dari Jawa Timur ke Jakarta, tapi tak ada jawaban. ”Jika tetap tidak dijawab, tidak tertutup kemungkinan kami akan menuntut secara hukum,’’ kata Churriyah kepada Tempo.
Selain menulis surat, Kiai Azis Manshur sudah bertemu Gus Dur untuk klarifikasi. ”Saya bilang ke Gus Dur, mari kita kembali kepada fikih. Orang yang mendakwa dan yang didakwa harus dipertemukan. Tapi beliau mbulet saja,” kata Kiai Azis, gusar.
Mendakwa? Didakwa? Keputusan pembekuan PKB Jawa Timur—disusul pembentukan pengurus sementara pada Juli lalu—dilakukan karena beberapa alasan. Satu yang terpenting, seperti kerap disebut Sekretaris Jenderal PKB Zannubah Arifah Chafsoh, adalah karena Imam Nahrawi bermain politik uang.
Yang dimaksud putri Gus Dur yang kerap disapa Yenny itu adalah pungutan terhadap empat calon gubernur hasil penjaringan PKB Jawa Timur. Selain dipungut uang pendaftaran Rp 999 ribu, para calon juga diminta menyetor Rp 350 juta. Selain itu, menurut Gus Dur, para kandidat juga ”diporoti” duit ini dan itu.
Alasan lain pembekuan PKB Jawa Timur adalah karena Imam Nahrawi dinilai gagal menggusur pendukung Choirul Anam—seteru Gus Dur yang kemudian membentuk partai lain—yang masih bercokol menjadi pengurus cabang PKB maupun menjadi anggota legislatif.
Kubu Imam Nahrawi menyangkal tudingan itu. ’’Tidak benar jika disebut politik uang, karena penggunaannya, rupiah demi rupiah, bisa kami pertanggungjawabkan,” kata Churriyah.
Uang Rp 350 juta dari calon gubernur bukan pungutan karena sudah didasari kesepakatan bersama. ”Uang itu merupakan bentuk kesanggupan para kandidat untuk ikut membantu biaya operasional pelaksanaan tahapan pencalonan,” kata Churriyah.
Imam Nahrawi dkk. menuding Yenny berdiri di belakang pembekuan PKB Jawa Timur. ”Yang kebangetan, ya, Yenny,” kata Churriyah. Yenny dituding berambisi merebut kursi Ketua Umum PKB dari tangan Muhaimin Iskandar—keponakan Gus Dur yang juga berseteru dengan sang paman—melalui penyelenggaraan muktamar luar biasa. Tujuan akhirnya, seperti ditudingkan kelompok Nahrawi, adalah agar Yenny bisa ikut pemilu dan melesat menjadi presiden atau wakil presiden.
Imam Nahrawi disebut-sebut masuk daftar orang yang harus didepak. Soalnya, seperti pernah dituduhkan oleh Gus Dur dalam rapat pleno PKB, 11 Juli 2007, Imam Nahrawi dianggap telah membiayai Lily Wahid—tak lain adalah adik perempuan Gus Dur—untuk menyelenggarakan pertemuan di Solo guna mendepak Abdurrahman Wahid dari kursi Ketua Dewan Syura. Calon pengganti Gus Dur disebut-sebut adalah Ketua NU Hasyim Muzadi.
Di kantor NU, tak hanya soal pembekuan PKB Jawa Timur yang dibicarakan, tapi juga hal lain. Salah satunya, seperti diungkapkan Lily Wahid dalam pertemuan itu, adalah keputusan Gus Dur memberikan kursi pengurus Dewan Syura PKB kepada Sigid Haryo Wibisono—bekas pengurus Golkar Jawa Tengah yang belakangan dekat dengan Yenny Wahid (lihat boks). Tujuh pengurus Garda Bangsa, organisasi pemuda di bawah PKB, kabarnya dipecat karena mempersoalkan keberadaan Sigid.
Yenny menyangkal tudingan ini. Pemecatan pengurus, katanya, dilakukan karena ada anggota partai yang bertindak indisipliner. ’’Ketidakpuasan bisa saja terjadi, tapi kepentingan organisasi harus lebih diutamakan,” katanya. Menurut Yenny, setelah pembekuan pengurus PKB Jawa Timur itu, roda organisasi berjalan normal.
Pendapat berbeda datang dari Churriyah. Menurut dia, sejak pembekuan pengurus itu, partai jadi morat-marit. Banyak agenda partai yang mandek, termasuk dalam mempertahankan Gedung Astranawa, aset partai yang dikuasai kelompok Choirul Anam. ’’Keadaan seperti ini tidak boleh terus dibiarkan,’’ kata Churriyah. Itu sebabnya, Churriyah dan kawan-kawan membawa persoalan ini ke Nahdlatul Ulama. ”PKB dan NU tidak boleh dipisahkan karena terikat secara historis, kultural, dan aspiratif,” kata KH Abdul Salam Mudjib, mantan Sekretaris Dewan Syura PKB Jawa Timur.
Jalil Hakim (Surabaya) dan Abdul Manan (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo