Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font color=#CC0000>Surat Ayah</font> dari Johor

Polisi merangkul para terpidana terorisme untuk menjinakkan kelompok garis keras. Dengan dukungan dana yang besar, efektifkah kerja polisi itu?

12 November 2007 | 00.00 WIB

<font color=#CC0000>Surat Ayah</font> dari Johor
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PERANGKAT treadmill itu dipajang di lorong sel. Tak jauh dari sana, berdiri sebuah meja pingpong. Selepas asar, sejumlah pria sibuk berolahraga. Yang lainnya asyik dengan laptop di tangan.

Jangan salah paham. Ini bukan suasana kafe atau pusat kebugaran di mal Ibu Kota. Inilah kegiatan belasan terpidana sejumlah kasus terorisme di tempat penahanan mereka di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Ada 13 kamar yang dihuni 15 narapidana di tahanan itu. Di antara penghuninya adalah Ali Imron dan Hutomo Pamungkas alias Mubarok (keduanya terpidana seumur hidup kasus bom Bali I), Jhoni Hendrawan alias Idris (terpidana 10 tahun kasus bom Marriott), dan delapan pelaku kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah.

”Polisi memberi kami treadmill pada bulan puasa lalu, agar kami bisa berolahraga,” kata Ali Imron, 37 tahun, kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. Sesekali ia memencet-mencet Nokia Communicator N9300i untuk menjawab beberapa pesan.

Polisi memang memberikan perlakuan khusus kepada para napi. Mereka, misalnya, tak pernah diborgol ketika dibawa keluar sel. Polisi juga memenuhi berbagai keperluan narapidana, termasuk telepon genggam.

Pada akhir Ramadan lalu, sebagian narapidana teror malah diundang berbuka puasa bersama Brigadir Jenderal Surya Darma Salim, Kepala Satuan Tugas Bom Kepolisian Negara RI, dalam suasana kekeluargaan.

Munculnya Ali Imron, Mubarok, dan belasan terpidana bersama petinggi polisi itu membuat pemerintah Australia berang. Maklum, negara itu kehilangan 80-an warganya akibat bom Bali. Setelah foto-foto buka puasa bersama itu dimuat media massa internasional, Perdana Menteri John Howard berujar ketus. ”Sangat menjijikkan,” katanya.

l l l

”ANAK Anda, andai terjadi sesuatu pada menantu Ayah, Noor Din, Ayah berharap beliau diperlakukan dengan baik. Kami (berharap) bisa dipertemukan dengannya atau beliau dikembalikan kepada anak-istri dan keluarganya di Malaysia.”

Itulah sepenggal surat dari R. Hamid, mertua Noor Din Mohammad Top, buron teroris nomor satu polisi Indonesia, yang dikirim pertengahan tahun lalu. Dilayangkan dari Johor, Malaysia, surat itu ditujukan ke Brigadir Jenderal Surya Darma—orang yang disebut Hamid sebagai ”anakanda”.

Surat itu menyebutkan, Hamid baru saja berkunjung ke Jakarta. Ia menemui putranya, M. Rais, yang dihukum tujuh tahun karena terlibat pengeboman Hotel JW Marriott, Jakarta, 3 Agustus 2003. Ia juga menjemput keluarganya di Riau untuk dibawa ke Malaysia. ”Alhamdulillah, pada pertengahan bulan lima semuanya telah berkumpul kembali, kecuali Rais dan istrinya,” tulis Hamid.

Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Surya Darma dan Inspektur Jenderal Gorries Mere, Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, telah membantu membiayai perjalanan itu. Ia juga menyampaikan niat untuk mengembangkan usaha pembuatan dadih (agar-agar) dan bisnis kain langsir (gordin). Untuk itu, ia minta dipinjami uang untuk modal. Polisi memanjakan napi teror dan keluarganya? ”Ini salah satu hubungan kemanusiaan antara kami dan keluarga para teroris itu,” ujar Surya Darma.

Tempo, yang mengunjungi kampung tempat tinggal Hamid di sebuah wilayah di Johor, pekan lalu, menyaksikan usaha pria 60-an tahun itu masih berjalan. Menurut Sohiran, tetangganya, Hamid memasok dadih serta keripik singkong dan keripik pisang ke sejumlah warung di perkampungan itu. ”Pak Hamid dibantu putra bungsunya,” ujarnya. Sayang, Hamid menolak diwawancara.

Rais, adik ipar Noor Din, menyatakan banyak dibantu Satgas Bom, termasuk dalam pengurusan pembebasan bersyaratnya. ”Untuk mengurus pembebasan saya, butuh Rp 3,5 juta. Dari mana saya punya uang sebesar itu tanpa bantuan polisi?” kata lulusan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah itu.

Beberapa tersangka juga memperoleh perlakuan istimewa begitu mereka ditangkap. Muhamad Basri alias Bagong dan sejumlah orang yang kini sedang diadili dalam kasus kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah, misalnya. Pada hari-hari pertama di Jakarta, mereka tak meringkuk di sel dingin, tapi menghuni apartemen di kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Seorang narapidana bahkan dibiayai kuliah di Universitas Terbuka dari dalam penjara.

Contoh lain adalah Syaiful Anam alias Mujadid alias Brekele. Kaki kiri pengebom Pasar Tentena, Poso, ini ditembak tatkala polisi menyergapnya di Temanggung, Jawa Tengah, akhir Maret lalu. Ia lalu dirawat di Paviliun Wijayakusuma, kamar perawatan kelas VVIP di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Pada hari pertama dirawat, ia dipertemukan dengan keluarga besarnya yang dijemput langsung dari Karanganyar, Jawa Tengah.

Kaki kiri Brekele ternyata harus dioperasi karena luka tembaknya membusuk. Untuk itu, ia dirawat di ruangan itu dua pekan lebih. Kepada Bernarda Rurit dari Tempo, seorang petugas RS Sardjito menyebutkan bahwa tarif Paviliun Wijayakusuma itu Rp 425.000 per malam. ”Itu ruang perawatan paling mahal di sini,” ujarnya.

Menurut sumber Tempo, Satgas Bom kini juga memberi modal keluarga Mujadid untuk bertanam pohon hias adenium—tumbuhan yang kini banyak digemari. Oleh pengadilan, Mujadid dituntut 20 tahun penjara.

Pelbagai fasilitas kepada napi teror, kata juru bicara Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, merupakan bagian dari kegiatan ”pembinaan dan penggalangan”. ”Mereka kita ajak kembali ke jalan yang benar sekaligus diminta mengungkap jaringan yang masih ada,” katanya.

Surya Darma mengatakan, ”hubungan kemanusiaan” polisi dengan para terpidana teroris dilakukan untuk mencegah terjadinya kembali pengeboman di Tanah Air. ”Model seperti ini belum pernah dilakukan oleh kepolisian di negara mana pun,” katanya.

l l l

SEJAK 2002, tahun ketika bom meledak di Bali, hampir 400 orang ditangkap dengan tuduhan terlibat jaringan teroris. Tapi tak semuanya bersedia menjalin hubungan dengan polisi. Menurut sumber Tempo di kepolisian, sikap mereka bisa dikelompokkan ke dalam enam kategori.

Kategori pertama adalah mereka yang menerima bantuan polisi, mengakui kesalahannya, dan bersedia membantu aparat mengungkap jaringan mereka. Kedua, menerima bantuan polisi, mengakui kesalahannya, tapi tak bersedia membantu polisi. Berikutnya, mereka yang menerima bantuan polisi, tak mengakui kesalahannya, tapi bersedia membantu polisi.

Kelompok berikutnya adalah mereka yang menerima bantuan polisi, tidak mengakui kesalahannya, dan menolak membantu polisi. Selanjutnya mereka yang menolak bantuan, tak mengakui kesalahan, sekaligus menolak membantu. ”Yang terakhir, mereka yang belum digarap,” ujarnya.

Ali Imron, Mubarok, dan Nasir Abas, mantan petinggi Jamaah Islamiyah berkewarganegaraan Malaysia, termasuk kategori yang pertama. Ali Imron menyatakan bersedia bekerja sama dengan polisi untuk mencegah munculnya lagi aksi pengeboman di Tanah Air.

Ketiganya juga aktif dalam proyek perintisan hubungan polisi dengan para anggota Jamaah Islamiyah yang belum pernah terlibat kasus kejahatan. Pada Juni lalu, mereka bertemu dengan 20-an anggota Jamaah Islamiyah di sebuah vila di kawasan Cisarua, Bogor, Jawa Barat. ”Yang menggagas Pak Surya dan Pak Nasir Abas,” kata Imron.

Ali menuturkan, dalam pertemuan itu ia menjabarkan kesalahan-kesalahan bom Bali yang telah ia lakukan. Ia mengaku tahu bahwa para anggota Jamaah yang hadir tidak setuju terhadap serangan yang menewaskan 202 orang itu. ”Saya katakan kepada mereka, kalau tidak setuju aksi pengeboman, jangan hanya diam. Mereka harus menyampaikan ketidaksetujuan itu kepada ihwan-ihwan yang lain,” katanya.

Berapa dana yang disiapkan aparat untuk proyek ”penggalangan” ini? Polisi menolak menyebutkannya. Tapi tampaknya tak sedikit. Ambil contoh, polisi setiap bulan ”menyantuni” puluhan terpidana yang tersebar di Medan, Riau, Jakarta, Bandung, dan Semarang. Menurut seorang sumber, besarnya Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per orang setiap bulan. Belum lagi, dana untuk pengobatan tersangka seperti Brekele, membeli telepon genggam untuk Ali Imron, mendatangkan keluarga Noor Din M. Top dari Malaysia, dan menyediakan laptop untuk sebagian narapidana.

Sisno Adiwinoto mengatakan, semua kegiatan itu dibiayai dengan dana operasional Polri. Ia mengakui pertanggungjawaban keuangan proyek ini agak rumit. ”Karena itu, kami telah mengajukan permintaan ke Departemen Keuangan untuk mengubah model pertanggungjawabannya,” ujarnya.

Sepadankah dana yang dikeluarkan itu dengan hasil yang didapat? Belum ada ukuran yang pasti. Tapi operasi penggalangan itu membuat polisi akhirnya berhasil menangkap Abu Dujana, yang dituduh sebagai pemimpin sayap militer Jamaah Islamiyah. Meski demikian, ancaman bom bukan berarti musnah sama sekali.

Kepada para ”pembantu polisi” itu, juga muncul cibiran. Abu Rusdan, mantan pemimpin tertinggi Jamaah Islamiyah, menganggap Ali Imron dan kawan-kawan itu tidak bermoral. ”Aksi Ali Imron mengebom Balilah yang membuat banyak orang tak bersalah, termasuk saya, ditangkap,” katanya. ”Kenapa dia sekarang seolah-olah menjadi pahlawan?”

Abu Rusdan, yang dihukum tiga setengah tahun karena menyembunyikan pelaku bom Bali I, mengatakan sejak awal tak setuju dengan pengeboman. Tapi ia tetap terkena getahnya. Kini, menurut dia, Ali Imron kembali menempatkan para aktivis Islam sebagai korban. ”Seolah-olah dia yang baik dan kami yang jahat. Padahal yang punya kemampuan mengebom itu dia, bukan kami,” katanya meradang.

Abu Bakar Ba’asyir, yang juga pernah terseret kasus bom Bali, pun menyalahkan Ali Imron dan kawan-kawan. ”Seharusnya Ali Imron menasihati polisi agar tidak menangkap orang Islam, bukan membantunya,” kata Amir Majelis Mujahiddin Indonesia itu.

Ali Imron sendiri memilih anteng. Seraya tetap memencet-mencet Nokia Communicator miliknya, ia mengaku tak peduli dengan hujatan itu. ”Kalau memikirkan pertentangan, kita tak akan maju,” katanya kalem.

Budi Setyarso, Ramidi (Johor), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus