Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Senin siang pekan lalu, selarik pesan nongol di telepon genggam Arif Nur Alam, Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran. ”Kami diundang Gayus untuk menjelaskan soal indikasi aliran dana Bank Indonesia ke DPR,” kata Arif. Yang dimaksudnya adalah Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR. Badan ini memang sedang aktif memeriksa kasus suap Bank Indonesia, yang menurut Badan Pemeriksa Keuangan nilainya sekitar Rp 31,5 miliar.
Setelah meminta keterangan dari Koalisi Penegak Citra DPR, gabungan sejumlah lembaga antikorupsi, pada Jumat pekan lalu, Badan Kehormatan mulai pasang ancang-ancang memanggil sejumlah anggota Dewan. Menjelang akhir tahun, tampaknya akan banyak wakil rakyat yang jantungnya berdegub keras.
Beberapa anggota dan mantan anggota Dewan dikabarkan telah mengaku dosa ke partai masing-masing. ”Dari partai saya ada yang sudah mengakui dan siap diberhentikan,” kata seorang petinggi PDI Perjuangan. Sumber itu memberikan sedikit bocoran. Katanya, anggota PDIP yang siap mundur ini sebelumnya bertugas di Komisi Keuangan DPR dan sekarang bekerja di Komisi VII yang membidangi pertambangan.
Bisik-bisik dari Partai Golkar lain lagi. ”Ada yang siap buka-bukaan kalau kena cuma sendirian,” kata seorang pengurus pusat Partai Beringin. Kader yang pernah menjadi anggota Komisi Keuangan ini, menurut dia, mengaku tidak mungkin melakukannya sendirian, tanpa perintah dari atasannya di Komisi Keuangan. Jadi, ”Atasannya, ya, dapat lebih banyak,” kata sumber itu.
Siapa saja mereka? Informasinya masih samar-samar. Tapi Paskah Suzetta termasuk yang banyak ditanyai wartawan tentang hal ini. Soalnya, mantan Ketua Panitia Kerja Amendemen Undang-Undang BI yang kini menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional ini berpendapat berbeda tentang aliran dana BI ke DPR itu.
Ia tak membantah adanya aliran dana dari Bank Indonesia. Tapi, katanya, pengucuran dana bank sentral ke Dewan bukanlah gratifikasi. ”Itu kan diseminasi,” katanya.
Istilah diseminasi ini muncul dalam beberapa salinan dokumen BI temuan Indonesia Corruption Watch. Misalnya dalam surat tertanggal 21 September 2004 yang berjudul ”Pertemuan Pembahasan Anggaran BI”. Nilai ”fulus diseminasi” ini mencapai Rp 540 juta. ”Sebagai apresiasi kepada anggota DPR,” tulis korespondensi antara dua pejabat teras BI.
Menurut temuan ICW, yang sudah dilaporkan ke Badan Kehormatan, pada September 2004 saja, uang semacam ini nilainya mencapai sekitar Rp 5,5 miliar. ”Ini memang sudah menjadi kultur lama di BI,” kata Teten Masduki, Koordinator ICW. Tentang tuduhan Teten itu Kepala Biro Humas Bank Indonesia, Filianingsih, memilih tak menjawab. ”Saya sedang di Inggris, nih,” kata dia.
Meski disebut-sebut akan dipanggil Badan Kehormatan, hingga akhir pekan lalu Paskah mengaku belum menerima surat panggilan. Tapi tak urung ia khawatir juga. Ditemui Tempo di ruang kerjanya pada Jumat pekan lalu, ia menolak keterangan singkat darinya direkam. ”Jangan, deh. Ini masalah yang sensitif,” katanya. Ia berjanji akan bicara jika sudah jelas duduk perkaranya.
Nama lain yang lebih dulu muncul adalah Antony Zeidra Abidin, kini Wakil Gubernur Jambi. Ketika kasus ini terjadi, Antony adalah Ketua Sub-Komisi Perbankan, satu level di bawah Paskah.
Selain Zeidra, sumber Tempo di DPR menyebutkan, sejumlah politikus aktif tengah dibidik Dewan Kehormatan. Sumber itu menyebutkan tiga orang dari Partai Golkar yang bakal dimintai informasi adalah Bobby Suhardiman, Tengku Muhammad Nurlif, dan Hamka Yamdu—ketiganya pernah menjadi anggota Komisi Keuangan. Dari Partai Persatuan Pembangunan ada nama Faisal Baasyir—dulu wakil ketua komisi itu.
Dari PDI Perjuangan ada Max Moein, Emir Moeis, dan Sukowaluyo Mintorahardjo. Yang terakhir adalah pengurus PDIP yang bertikai kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan. Menurut Arif Nur Alam, nama-nama yang muncul mirip dengan temuan koalisi yang dipimpinnya. ”Saya pernah dengar,” katanya.
Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung mengatakan, partainya telah menggelar rapat pleno pada Selasa pekan lalu untuk membahas dugaan politikus partainya ikut kecipratan uang Bank Indonesia. ”Kalau ada anggota kami salah, itu tanggung jawab yang bersangkutan,” katanya.
Max Moein, anggota Komisi Keuangan, mengaku belum mendengar soal keputusan partai itu, termasuk kemungkinan ia diajak bicara oleh pengurus PDIP dalam soal skandal suap Bank Indonesia. ”Undangan yang mana?” katanya dengan nada tinggi. Soal pemeriksaan oleh Badan Kehormatan, ia menjawab siap. ”Tapi, ini benar apa tidak tuduhannya? Mungkin benar, mungkin juga enggak.”
Emir Moeis, Ketua Panitia Anggaran, mengaku akan membeberkan apa yang diketahuinya jika dipanggil Badan Kehormatan. ”Saya ingin masalah ini tuntas,” katanya. Adapun Sukowaluyo mengaku tidak pernah ada dana diseminasi tatkala dirinya menjadi Ketua Komisi Keuangan pada 1999-2001. ”Soal ini saya baru dengar,” katanya.
Ketua Fraksi PPP Lukman Hakiem Saifuddien berjanji, partainya tidak akan melindungi anggotanya yang bersalah. Adapun Faisal Baasyir mengaku siap jika dipanggil Badan Kehormatan. ”Siapa bisa menolak?” katanya.
Bobby Suhardiman, putra sesepuh Golkar Suhardiman, mengatakan dirinya baru masuk menjadi anggota Dewan di Komisi Keuangan pada November 2004, hampir setahun setelah amendemen Undang-Undang BI rampung dibicarakan. Pembahasan UU BI inilah yang ditengarai sebagai salah satu penyebab mengucurnya dana ke DPR.
Hamka Yamdu, anggota Panitia Anggaran, mengatakan bahwa dirinya memang menjadi anggota panitia khusus amendemen Undang-Undang BI, tapi, ”Saya nggak pernah bersentuhan dengan itu,” katanya. Adapun T.M. Nurlif berujar pendek, ”Nggak ngerti saya, belum tahu itu.”
Antony Zeidra Abidin mempertanyakan mengapa hanya dirinya yang menjadi sorotan publik. Ini membuat keluarganya menjadi sangat resah. Menurut dia, posisinya saat itu tidak cukup tinggi untuk bisa menentukan ”kebijakan”. Namun, jika Komisi Pemberantasan Korupsi—yang kini juga tengah mengusut kasus ini—memanggil, ia siap buka-bukaan. ”Saya akan buka semua bukti tertulis yang saya miliki,” katanya kepada Syaiful Bakhori dari Tempo.
Ketua DPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono meminta Badan Kehormatan menuntaskan kasus ini. ”Sudah jadi keputusan semua fraksi. Jadi, tidak boleh berhenti,” katanya. Agung menegaskan,” Partai (Golkar) bukan tempat untuk bersembunyi.”
Budi Riza, Dianing Sari, Kurniasih Budi, Agus Supriyanto, Aqida Swamurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo