Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir dua tahun M. Rais berperang bersama Taliban di Afganistan. Ia menghuni sebuah kamp di Kandahar, wilayah selatan negeri itu, bersama 300-an milisi lainnya. Ia pulang ke Indonesia, malam pada hari penyerangan pencakar langit WTC di New York, Amerika Serikat, 11 September 2001. ”Pulang dari Afganistan, semangat jihad saya masih sangat panas,” kata lelaki 33 tahun itu kepada Tempo, Rabu pekan lalu. ”Saya benci sekali setiap kali melihat orang Barat.”
Dari Afganistan, Rais tinggal di Riau. Beberapa bulan kemudian, Noor Din Mohammad Top mengajaknya pindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Bersama kakak iparnya itu, ia membuka bengkel shock breaker mobil. Keduanya mempekerjakan rekan mereka di Pesantren Luqmanul Hakiem, Malaysia, Ismail.
Sebulan setelah bom meledak di Bali, 12 Oktober 2002, Dr Azahari Husin bergabung bersama mereka. Noor Din dan Azahari mulai diburu karena dianggap terlibat bom yang membunuh 202 orang itu. Polisi pun gencar mencari para pelaku lainnya, termasuk menyisir wilayah Sumatera Utara.
Toni Togar, anggota Jamaah Islamiyah di Medan yang menyimpan bahan peledak sisa pengeboman malam Natal 2000, mulai panik. Ia pun menghubungi Noor Din, memberitahukan niat untuk membuang semua barang simpanannya itu. Toni ketika itu belum mengenal Noor Din, tapi pernah satu tim dengan Azahari.
Dalam berita acara pengadilan disebutkan, Noor Din melarang Toni membuang bahan peledak karena masih bisa dipakai. Ia berjanji mengatur pengambilan barang-barang itu. Tapi Toni ternyata telah memindahkannya ke tempat seorang anggota Jamaah di Dumai, Riau. Di sinilah Rais mulai berperan. ”Saya ikut mengambil barang itu dari Dumai,” tuturnya kepada Tempo.
Menurut Rais, bahan peledak itu ia kemas dalam tiga kardus rokok. Bersama Azahari, ia lalu mengangkutnya ke Bengkulu dengan bus antarkota, Februari 2003. Di kota ini, mereka tinggal bersama anggota Jamaah, termasuk Asmar Latin Sani, sahabat sekelas Rais di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Noor Din dan Azahari lalu berencana ”memanfaatkan” bahan-bahan peledak itu. Rais aktif membantu menyediakan bahan lainnya, tapi ia mengaku tak ikut merencanakan sasaran pengeboman. Polisi ternyata tak terlalu sulit mengendus jejaknya. Ia ditangkap pada April 2003.
Ditahan sekitar tiga bulan di Markas Kepolisian Denpasar, Bali, Rais lalu dipindah ke Bengkulu. Di sinilah ia mendengar berita peledakan bom di halaman Hotel Marriott, Jakarta, 3 Agustus 2003. ”Saat tahu ada bom meledak di Marriott, saya langsung berpikir, ini pasti dari bahan-bahan yang saya bawa,” ujarnya.
Bom pada jam makan siang itu membunuh 11 orang. Alih-alih orang Barat yang jadi sasaran ”jihad”, sebagian besar korban adalah sopir taksi dan petugas keamanan hotel. ”Melihat korban ternyata orang-orang muslim, saya terpukul. Saya menangis,” kata Rais. ”Bagaimanapun saya merasa ikut berperan menyediakan bahan bom itu.”
Ia semakin terpukul karena Asmar Latin Sani adalah pelaku bom bunuh diri itu. Raislah yang mengenalkan Asmar dengan Noor Din dan Azahari. Karena perannya dalam pengeboman itu, pada 18 Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Rais tujuh tahun penjara.
Di dalam penjara, anggota Satuan Tugas Bom Kepolisian Negara RI banyak mengajaknya berdiskusi. Ia juga membaca berbagai buku tentang jihad. ”Dulu saya hanya membaca buku yang sepaham dengan Jamaah Islamiyah. Tapi di tahanan saya membaca buku lain,” kata mantan pengajar di Pondok Pesantren Luqmanul Hakim, Johor ini.
Sebelum masa pembebasan bersyarat yang kini ia jalani, Rais menghuni sel tahanan di Polda Metro Jaya. Di sinilah ia bertemu dengan terpidana kasus terorisme lainnya, antara lain Ali Imron, Hutomo Pamungkas alias Mubarok, dan Jhoni Hendrawan alias Idris.
Selama di penjara, dengan dibiayai Satgas Bom, Rais mengobati saraf tulang belakangnya yang terjepit. Dua belas kali ia menjalani terapi di Canadian Chiropractic di Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan. ”Dokternya dari Kanada, dia nggak tahu kalau yang diterapi seorang teroris,” kata Rais tertawa.
Rais kini sedang menjalani masa pembebasan bersyarat. Ia diwajibkan melapor ke kantor polisi sekali sebulan. Ia kini sedang merintis usaha penjualan telepon seluler di Pekanbaru. Tapi ia masih sering bolak-balik ke Jakarta, termasuk untuk menghadiri acara buka puasa sejumlah terpidana kasus terorisme bersama Brigadir Jenderal Surya Darma Salim, Komandan Satgas Bom, 12 Oktober lalu.
Sikap Rais dalam soal jihad kini total berubah. Ia kini tak lagi setuju Indonesia dijadikan tempat ”berperang melawan kaum kafir”. Ia juga tak lagi membenci semua orang Barat. ”Tak ada yang harus diperangi di sini,” ujarnya. ”Kalau jihad di Irak, saya setuju, karena di sana dengan mudah bisa dibedakan mana musuh mana teman.”
Seperti Rais, Ali Imron juga sudah mengalami ”metamorfosis” jihad. Kepada Tempo, ia menyatakan telah mengevaluasi pengeboman Bali, 12 Oktober 2002, segera setelah Amrozi ditangkap. Ia menganggap penangkapan kakaknya itu menunjukkan ada kesalahan pada penyerangan Bali. ”Ada tiga adab jihad yang kami langgar,” tuturnya. (lihat wawancara dengan Ali Imron).
Sejak awal, Ale, panggilan akrabnya, sudah berniat bekerja sama dengan polisi. Itu sebabnya, berbeda dengan dua kakaknya, Amrozi dan Ali Ghufron, yang dihukum mati, ia divonis penjara seumur hidup. Ia juga sering dilibatkan dalam dialog dengan para tersangka kasus terorisme, terutama yang baru saja ditangkap polisi.
Pada awal-awal Ali Imron menjalani masa hukuman, polisi memperlihatkan kepadanya foto-foto korban bom Bali. ”Mungkin untuk membuka hati saya,” ujarnya. ”Sejak saat itu saya menyatakan siap membantu agar tidak ada lagi kekerasan seperti bom Bali.”
Pada 1 September 2004, Inspektur Jenderal Gorries Mere—saat itu Komandan Satgas Bom dengan pangkat brigadir jenderal—mengajak Ale ke Kafe Starbucks, Ex Plaza, Jakarta. Di situ, menurut Ale, Gorries juga mengajaknya berdiskusi mengenai tempat-tempat yang biasanya menjadi target pengeboman.
Dari para tersangka bom Marriott yang ditangkap, menurut Ale, polisi memperoleh informasi bahwa bom akan meledak lagi ketika itu. ”Pak Gorries bertanya, tempat seperti apa yang biasanya jadi sasaran?” tuturnya. ”Saya katakan, sasaran biasanya semua tempat yang dianggap antek Barat seperti kedutaan, hotel, sekolah, dan restoran.”
Gorries, menurut Ale, juga memintanya berdoa agar bom tak meledak lagi. Ternyata, delapan hari setelah ngopi-ngopi di Starbucks yang dipergoki wartawan itu, bom mengguncang kantor Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta.
Baik Rais maupun Ale mengaku tak dimanfaatkan polisi. Ale mengaku memang dari awal ia berniat bekerja sama dengan siapa pun untuk mencegah ”kesalahan jihad” itu terulang. ”Jadi, ini untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi saya atau polisi,” katanya.
Adapun Rais mengatakan, semua informasi sudah ia berikan pada saat pemeriksaan. Jika polisi hanya memanfaatkan dirinya untuk memperoleh informasi, katanya, mestinya polisi tak lagi bersikap baik setelah menerima info darinya. ”Tapi sampai sekarang mereka tetap baik pada saya,” tuturnya.
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo