Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>Pesantren Liar </font><br />Pesantren Gelap di Desa Sanolo

Pesantren di Bima diduga mendidik santrinya membunuh polisi. Ada jejak Abu Bakar Ba’asyir.

18 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masuk asar di Masjid Al-Ikhsan, Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Senin pekan lalu. Fuadin, 42 tahun, baru hendak mengangkat takbir ketika mendengar ledakan keras. Arahnya dari Pesantren Umar bin Khattab, tak sampai setengah kilometer dari Masjid Al-Ikhsan. Sekretaris Desa Sanolo itu berlari menuju pesantren.

Setiba di sana, ia menemukan seorang santri di luar pagar. Orang ini membantah ledakan itu berasal dari Pesantren Umar bin Khattab. Tapi, setelah didesak, "Santri itu bilang ada kompor meledak di pesantren," kata Fuadin kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Fuadin tak langsung percaya. Tak lama kemudian, pasukan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat dan Kepolisian Resor Bima mendatangi desa yang berjarak 34 kilometer dari ibu kota Kabupaten Bima itu, dan mengepung pondok pesantren.

Sebetulnya, polisi telah lama mengintai pesantren itu. Pada akhir Juni lalu, seorang santri bernama Sa’ban Arrahman, 18 tahun, membunuh Brigadir Rokhmad Saipudin, anggota Kepolisian Sektor Bolo. Sa’ban disebut-sebut sebagai anggota Jamaah Ansharut Tauhid—organisasi yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir, yang kini mendekam di penjara. Amir Jamaah Wilayah Nusa Tenggara, Abdul Hakim, membantah tuduhan itu.

Sekitar 200 santri menghadang kedatangan polisi dengan senjata tajam. Menghindari bentrokan, polisi memilih tak masuk ke pesantren yang dipimpin Abrori itu. Polisi berjaga di luar pesantren. "Kami masih berupaya persuasif," kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Nusa Tenggara Barat Ajun Komisaris Besar Sukarman Husein.

Esoknya, satu mobil angkutan kota—biasa disebut bemo—berwarna kuning keluar dari Pesantren Umar bin Khattab. Tiga belas santri berada di dalam bemo. Polisi menyetop mobil itu sekitar 200 meter dari pesantren, dan menahan para santri yang membawa panah dan senjata tajam. Sebagian besar penumpang adalah petani, buruh, tukang ojek, dan pelajar.

Di dalam bemo terdapat jenazah Riyanto alias Ustad Firdaus. Sebagian wajah dan lengannya hancur. Firdaus adalah bendahara Pesantren Umar bin Khattab. Sumber di kepolisian menyebutkan laki-laki 31 tahun ini juga pengajar sekaligus ahli perakit bom di pesantren itu. Polisi menduga jenazah itu akan dikembalikan ke tempat kelahiran Firdaus di Desa O’o, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu.

Rabu pagi, Kepala Kepolisian Nusa Tenggara Barat Brigadir Jenderal Arif Wachyunadi menggelar pertemuan di Bandara Sultan Hasanuddin bersama Direktur Reserse Kriminal Komisaris Besar Heru Pranoto dan Direktur Intelkam Komisaris Besar Gunawan. Hadir juga Bupati Bima Ferry Zulkarnain dan Abdurahim Haris, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bima.

Keputusannya, polisi harus segera masuk ke pesantren yang hanya berpagar bambu itu. Pejabat Majelis Ulama dan Kantor Kementerian Agama Bima diminta bernegosiasi dengan pengurus pesantren. Tapi pengelola pesantren tak merespons.

Di luar pesantren, lebih dari 300 polisi masih berjaga. Termasuk Detasemen Khusus 88 dari Kepolisian Nusa Tenggara Barat dan Kepolisian Bali serta sepuluh penyidik dari Markas Besar Kepolisian RI. Sebelum azan asar, sejumlah tokoh masyarakat Bolo memasuki pesantren. Tak lama kemudian, mereka keluar. Pesantren ternyata kosong.

Polisi akhirnya memasuki kompleks berbentuk "L" dengan luas sekitar 80 are itu. Mereka menemukan delapan ruang kelas dan enam rumah pengajar yang terkunci. Abrori dan sekitar 200 santri telah kabur. Ruangan yang diduga tempat ledakan bom terlihat rusak. Ajun Komisaris Besar Sukarman Husein mengatakan polisi menghadapi kemungkinan ledakan di semua ruangan yang digeledah.

Bahan-bahan pembuatan bom pun ditemukan polisi. Juga sebelas bom molotov dalam kemasan botol kecap, yang tersebar di dalam pesantren. Senapan angin, 30-an senjata tajam, dan 300-an anak panah juga ditemukan. Ada puluhan cakram padat dan buku jihad. Polisi menemukan pula kaus serta rompi Jamaah Ansharut Tauhid.

Sejumlah dokumen yang ditemukan antara lain berisi daftar anggota Kepolisian Resor Bima yang menjadi target pembunuhan. Dalam sebuah buku harian yang diyakini polisi ditulis oleh Adnan Firdaus, anggota jemaah Pesantren Umar bin Khattab, disebutkan ada dua brigadir satu dan empat ajun inspektur yang harus dibunuh, lengkap dengan alamat rumah mereka. Dalam buku catatan itu juga ditemukan denah lengkap Kepolisian Sektor Madapangga yang berisi jumlah personel, senjata yang digunakan, serta aktivitas para personelnya.

Jumat pekan lalu, polisi menangkap Abrori di rumah orang tuanya, di Kecamatan Bolo. "Abrori diduga terlibat kasus bom dan penusukan polisi di Bolo," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Ketut Yoga Ana.

l l l

FUADIN masih ingat, sejak berdiri di desanya pada 2004, Pesantren Umar bin Khattab sudah bermasalah. Para pengajarnya memang sempat beberapa kali menjadi penceramah di masjid desa. Tak sampai setahun, pesantren itu menjadi sangat tertutup dan juga menutup akses warga ke ladang. "Warga juga tak boleh menonton santri yang bermain bola di halaman pesantren," katanya.

Ia beberapa kali meminta pengelola pesantren melaporkan data jumlah dan asal santri. Jawaban yang diterimanya saban menagih, "Insya Allah." Pengelola tak pernah membayar pajak bumi dan bangunan. Tiga bulan terakhir, pihak pesantren semakin menutup diri. Jalan masuk menuju pesantren benar-benar tertutup. Penduduk telah melapor ke pemerintah daerah, tapi tak mendapat tanggapan.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bima Yaman Mahmud justru menilai Umar bin Khattab bukan pesantren karena tak tercatat di instansinya. Yaman juga tak mengetahui aktivitas di pesantren itu. "Yang saya tahu, di tempat itu hanya ada kegiatan mengaji dan latihan bela diri," ujarnya.

Sumber Tempo menyatakan pesantren itu pernah didatangi utusan Abu Bakar Ba’asyir. Abrori dikenal sebagai pengurus Jamaah Ansharut Tauhid. Ba’asyir pun diketahui menjadi donatur dan pernah berceramah di pesantren itu, pada April tahun lalu. Sumber Tempo lain menyebutkan pesantren itu menjadikan polisi sebagai target pembunuhan. Mereka mengambil santri dari luar Bima, seperti dari Sumbawa, Dompu, dan beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur. "Hanya ada beberapa orang dari Desa Rato, Kecamatan Bolo," katanya.

Keterlibatan Ba’asyir dalam jaringan teroris di Pesantren Umar bin Khattab dibantah Achmad Michdan, pengacaranya. "Bagaimana mungkin terlibat? Ba’asyir ada di penjara," ujarnya. Ia juga menyangkal Ba’asyir pernah berceramah di pesantren itu, meski pernah berkunjung ke Bima.

Pramono, Riky Ferdianto (Jakarta), Jalil Hakim, Supriyanto Khafid (Mataram)


Struktur Ponpes Umar Bin Khattab Desa Sanolo - Bima

Ketua Yayasan
Ust. Muhammad, S. Pd

Ketua Pondok
Ust. Abrori

Bendahara
Riyanto Als Ust. Firdaus(alm)

Sekretaris
Ust. Mujahidul Haq

Pengajar

  • Ust. Anas
  • Ust. Taqiyudin
  • Ust. Zulkifli

    Seksi Pengajaran
    Ust. Hery

    Seksi Dakwah
    Ust. Amirullah

    Seksi Latihan Beladiri

  • Abu Sofian ( Wera )
  • Arif ( Risa )

    Santri

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus