Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=#FF0000>Agus Harimurti Yudhoyono:</font><br /> Saya harus Punya Mentalitas Kuda Hitam

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM belas tahun berkarier di militer, Agus Harimurti Yudhoyono menanggalkan pangkat mayornya untuk mengikuti pemilihan Gubernur Jakarta. Ia kini menyulap seragam hijau tentara menjadi setelan hitam bertulisan "AHY"—inisial namanya—di dada kiri, "#JakartaUntukRakyat" di dada kanan, serta emblem merah-putih di lengan kanannya.

Agus, lulusan terbaik Akademi Militer 2000, diusung koalisi Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Ia berpasangan dengan mantan Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni.

Putra sulung mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini memasuki arena baru, yang jauh dari garis komando. Ia pun menitikkan air mata ketika mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum pada 23 September lalu. "Ini murni keputusan saya sendiri, tidak ada paksaan, apalagi dijerumuskan orang tua," kata lelaki 38 tahun ini.

Kamis pekan lalu, selama dua jam, Agus berkunjung ke Tempo. Ia didampingi anggota timnya, antara lain pengusaha Wisnu Wardana, aktivis Rachland Nashidik, dan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno. Terlihat pula dosen Ilmu Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung.

Sewaktu mendaftar ke KPU, Anda menitikkan air mata. Ada beban berat?

Keputusan yang saya ambil ini fundamental. Kalau kita pindah rumah secara dadakan saja susah. Apalagi ini, pindah jalur profesi dan kehidupan. Saya tentu tidak dapat menutupi rasa haru. Enam belas tahun berdinas di militer, saya mencoba menapaki setiap jenjang karier, jabatan, pangkat itu dengan melakukan yang terbaik.

Jadi keputusannya mendadak?

Pada 22 September, saya masih berada di Darwin, memimpin pasukan latihan bersama dengan tentara Angkatan Darat Australia. Saya mendapat telepon dari Jakarta, yang menyampaikan situasi politik di Jakarta begitu cairnya. Ketika anggota lain pesiar, saya tinggal di barak. Saya bilang, sejak kapan gagasannya. Dijawab, baru-baru saja. Katanya, sampai detik terakhir mencari tokoh dan figur yang disepakati bersama. Kebetulan, ketika nama saya diangkat, semuanya sepakat.

Siapa yang menelepon?

Bapak dan Ibu. Bapak berat sekali menyampaikannya, sehingga menyampaikannya hati-hati sekali. Akhirnya, saya pikirkan, dan kembali ke Tanah Air pada 23 September 2016. Pukul 00.00 sampai di Cikeas, saya masuk ke perpustakaan. Di sana sudah menunggu para ketua umum partai politik, yaitu Pak Zulkifli Hasan, Pak Romahurmuziy, dan Pak Muhaimin Iskandar, serta Pak SBY. Tapi, sebelumnya, saya ambil kesempatan berdua dengan istri saya, Annisa Pohan.

Saya dibiasakan mengambil keputusan sendiri. Ini hampir dikatakan tidak ada waktu transisi, bahkan keputusan diambil dalam waktu beberapa jam saja. Tapi itulah, tidak ada paksaan, apalagi dijerumuskan, karena tidak ada orang tua yang punya hati untuk menjerumuskan anaknya sendiri.

Apakah ini pilihan yang tak bisa ditolak?

Bapak menyampaikan, "This is your call." Saya pikir tujuan utama setiap lulusan Akademi Militer adalah bintang empat, menuntaskan kariernya di militer. Tapi saya berdiskusi dengan diri sendiri, me-review tujuan masuk Akmil. Sebetulnya tidak pernah ada kata-kata dipersiapkan untuk menjadi jenderal di masa depan. Lembah Tidar mempersiapkan para pemimpin masa depan. Saya menganggap ini panggilan yang lebih besar.

Mengapa bukan adik Anda, Edhie Baskoro, yang maju?

Kita tidak pernah tahu kapan seseorang harus mengambil keputusan besar. Ya, mungkin, momentum ini jatuhnya ke saya. Bapak tidak mengatakan dari awal: Agus saja. Justru begitu dimunculkan nama saya, Bapak tertegun, diam. Bahkan sedikit dingin: masak Agus, sih?

Bagaimana Anda pamitan dengan Edhie Baskoro?

Saya suka pertanyaan ini, supaya menghapus kesan ada masalah di keluarga saya. Tidak sama sekali. Saya menyadari suka dibenturkan. Kalau kita jujur, punya kakak-adik, pasti kadang seperti itu, apalagi di jalur yang sama. Tapi tidak sama sekali. Justru adik saya orang ketiga yang menelepon saat itu, untuk berdiskusi. Alhamdulillah, kami keluarga kecil, tapi cukup terbuka satu sama lain.

Anda tumbuh di militer yang tak lagi berpolitik. Bagaimana Anda belajar masuk ke bidang baru ini?

Banyak yang tidak menyangka di militer ada demokrasi. Prinsip kepemimpinan dalam militer itu bersifat universal: bagaimana memenangkan hati dan pikiran orang lain. Orang mengatakan memenangi pemilihan adalah tujuan, bagi saya bukan. Itu hanya cara menuju prosperity, keamanan, dan keadilan.

Tidak ada yang mengharapkan orang bisa mengerti semua hal. Kembali kepada goodwill, effective leadership, and good management. Saya belajar leadership dan manajemen dari swasta. Yang tidak kalah penting, saya punya mentor yang baik, yang tidak hanya memiliki ilmu, tapi juga berpengalaman memimpin negara sepuluh tahun.

Sampai gaya bicaranya mirip, ya?

Iya gitu…? Ha-ha-ha….

Benarkah sebenarnya Anda mengalami cedera yang mungkin menghambat karier militer?

Di militer, jatuh dan bangun itu biasa. Tapi saya tidak pernah terhenti gara-gara cedera. Saya paham, isu itu untuk menimbulkan polemik dan menjadi warna-warni dalam konstelasi politik. Terbukti juga, pada waktu Independence Day Run 2013, saya menggunakan beban, lari 17 kilometer, membawa bendera. Jadi, enggak ada cedera itu.

Atau barangkali karier Anda terhambat karena rezim berganti?

Kalau ada persepsi seperti itu, saya tidak menjadi komandan batalion paling muda.

Bukankah komandan batalion seharusnya berpangkat letnan kolonel?

Teman saya mayor juga. Bisa dicek, di TNI Angkatan Darat, banyak komandan batalion masih mayor.

Faktor Yudhoyono akan Anda manfaatkan untuk memenangi pemilihan?

Saya pikir natural, namanya orang tua pasti ingin anaknya berhasil. Bahwa bapaknya ketua umum partai, ya, itu jadi satu paket. Sama halnya kalau orang tua kita guru matematika, ya, pasti akan mengajari anaknya agar mengerti. Tapi tidak dengan mengintervensi dan duduk di kelas. Analoginya sesederhana itu.

Banyak yang menilai Anda hanya mendompleng nama Yudhoyono.

Begini, mendompleng itu kalau dalam segala hal saya meminta petunjuk. Bapak bukan seperti itu dan saya bukan seperti itu. Mungkin orang menyangsikan, tapi tidak apa-apa. Saya tidak mungkin melepas nama Yudhoyono, bisa kualat saya. Kalau ada yang tidak suka Bapak wajar. Nabi Muhammad juga tidak disukai seratus persen.

Apa yang membedakan Agus dan Ahok dalam memimpin Jakarta lima tahun ke depan?

Tiap calon punya bayangan ideal untuk Jakarta. Yang membedakan bagaimana mengeksekusinya. Pembangunan infrastruktur itu penting. Tapi yang tidak boleh ditinggalkan adalah pembangunan jiwa dan roh dari kota itu sendiri, yaitu manusia. Pendekatan teknis penting, tapi etik juga penting. Bahkan kadang-kadang itu yang fundamental.

Apa contohnya?

Kita tidak berbicara hanya tempat tinggal, tapi bermukim. Artinya, hati dan pemikirannya bermukim di sana. Interaksi sosial antarmanusia terjadi setiap saat. Ketika orang dicabut dari habitatnya, tentu cukup menyakitkan. Nenek kita saja, kalau kita suruh pindah agar lebih dekat, rumahnya lebih bagus, dekat sama anak-anak, dia bilang tidak. Identitas sulit dipotong begitu saja.

Ini Anda berbicara soal penggusuran, ya?

Dalam pembangunan apa pun. Saya tidak berbicara substansi secara teknis. Bahwa yang perlu dibangun jiwanya juga. Makanya, Indonesia Raya itu "bangunlah jiwanya" dan baru "badannya". Itu bukan tanpa alasan. Pada akhirnya, manusia yang hidup diperlakukan dan diperhatikan kebahagiaannya di tengah hiruk-pikuk Ibu Kota, gedung menjulang tinggi, dan kemewahan. Kita harus memperhatikan mereka yang kurang mampu, untuk dipelihara kebahagiaannya.

Apa mungkin?

Mungkin tidak akan pernah terjadi semua pada level yang sama. Sulit untuk dilakukan, tapi setidaknya tidak terjadi perbedaan atau pertentangan antarkelas. Itu berbahaya. Apalagi dimasukkan unsur SARA. Ini butuh kepemimpinan yang bervisi, realistis, tapi bukan berarti pragmatis.

Anda setuju reklamasi Teluk Jakarta?

Saya selalu melihat setiap isu secara utuh. Enggak boleh terburu-buru memberikan penilaian atau komentar, karena akan berbalik ke saya. Prinsipnya, lihatlah apakah masih ada opsi lain. Kalau itu satu-satunya jalan, lihatlah aspek hukumnya, ekologi, ekosistem, dampak sosial, ekonomi. Tidak ada yang absolut dalam benar dan salah, baik dan buruk. Semuanya harus dipertimbangkan masak-masak. Saya ingin melibatkan semua sebelum mengambil keputusan.

Anda berpasangan dengan Sylvi untuk menggaet aparat birokrasi?

Saya bersyukur bisa menentukan pilihan sendiri. Walaupun tidak pernah bekerja sama, setelah saya lihat profilnya secara singkat, sepak terjangnya di birokrasi 31 tahun, wali kota perempuan pertama, pernah jadi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, None Jakarta jadi birokrat, asli Betawi, lalu setelah berbicara sebentar, saya langsung klik.

Sekaligus menyasar pemilih perempuan?

Pastinya. Ibu Sylvi bisa dianggap sebagai representasi wanita.

Seberapa besar peran Bu Ani dalam pencalonan Anda?

Saya bersyukur Ibu terlibat dalam proses kebatinan ini. Tentu awalnya juga berat, membayangkan bagaimana saya bisa menjalani ini sesuai dengan yang diharapkan orang-orang. Apa yang saya pikirkan pasti dipikirkan ibu saya. Tapi, kembali, Ibu selalu memberikan kesempatan bagi saya pribadi untuk mengambil keputusan dengan jernih.

Beberapa survei menempatkan Anda di posisi terendah dibandingkan dengan dua pesaing. Apa strategi Anda?

Membaca hasil itu, saya mengucapkan alhamdulillah. Jangan lihat posisi saat ini, tapi lihat starting point-nya di 0,19 persen pada 23 September lalu. Jadi, tidak ada yang mengapresiasi kandidasi saya. Semua underestimate. Dan itu saya senang. Please underestimate me more. Saya harus punya mentalitas sebagai kuda hitam, saya ingin punya mentalitas sebagai underdog, karena saya harus bekerja keras.

Ini membakar semangat tim, juga relawan. Bahwa kita punya baseline, itu yang dituju. Strateginya nanti akan terbukti satu per satu. Bagi saya, tidak ada segmen yang lebih penting daripada yang lainnya.

Anda sudah meninggalkan militer. Kalau menang, jadi gubernur. Kalau kalah, jadi apa?

Memang sulit memprediksi hasil. Dalam pertempuran juga begitu. Kita jarang membicarakan bagaimana kalau kalah bertempur. Saya sudah jelas tidak mungkin kembali ke militer. Saya akan terus mengembangkan potensi saya. Juga melakukan banyak hal di wilayah pengabdian dengan cara-cara yang berbeda. Menang atau kalah, bagi saya tetap menang, karena bisa belajar kehidupan. Ini proses luar biasa. Mendewasakan saya dengan cepat, ini tidak terjadi sebelumnya.

Benarkah pencalonan Anda ini langkah awal keluarga Yudhoyono membuat dinasti politik?

Saya tunggu pertanyaan ini. Apa kata dinasti itu? Konotasinya pasti negatif, karena dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak melalui proses sebenarnya. Sekarang ini, justru saya melakukan perubahan fundamental untuk mengikuti semua prosesnya. Saya adalah warga negara yang punya hak dan kewajiban sama dengan yang lain. Kalau dianggap dinasti politik, dinasti seperti apa?

Ini bukan pemberian, ini kontestasi. Kalau saya kalah, apa akan dibilang dinasti? Tapi saya paham, politik tentang persepsi, isu. Kita harus me-manage isu ini dengan baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus