Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERAK senjata laras panjang terdengar dari truk pengangkut pasukan yang membelah keheningan pagi di Jalan Wibisana, Denpasar, Bali. Tak sampai satu menit, 50 polisi yang menenteng senapan serbu menyebar di halaman seluas separuh lapangan sepak bola itu, Rabu pekan lalu, pagi belum lagi sempurna di Pulau Dewata. Di depan rumah bernomor 35 itu, iring-iringan mobil polisi yang datang tanpa sirene parkir berbaris.
Si empunya rumah, I Made Sutama, masih terlelap di lantai dua bangunan itu. Salah seorang dari lima istrinya membangunkan pria yang dikenal dengan panggilan Minggik ini. Tak ada pemberitahuan dari penjaga rumah. Malam sebelum penyerbuan, polisi penyamar sudah menutup kamera pengintai di depan gerbang. Tanpa perlawanan, Minggik membiarkan polisi memborgol kedua tangannya. Selanjutnya, hampir lima jam ia diinterogasi.
Selagi tanya-jawab berlangsung, sebagian polisi menggerayangi semua sudut rumah yang terletak di ujung jalan buntu itu. Hasilnya: sebuah granat, empat pistol Colt, FN, dan revolver, satu pistol gas Fergamy, 770 butir pelor dari berbagai kaliber. Masih ada lusinan pedang dan tombak, catatan toto gelap, alat penghisap sabu-sabu, dan peralatan judi. ”Seperti penangkapan teroris saja,” seorang komandan lapangan membisiki Tempo.
Menjelang tengah hari, Minggik digiring masuk ke mobil petugas. Sosok gempal berkepala botak itu resmi menjadi tahanan Kepolisian Daerah Bali. ”Minggik adalah preman besar,” demikian para polisi selalu berkata. Bapak tiga anak ini adalah pimpinan Forum Peduli Bali, organisasi pemuda yang pendiriannya diresmikan Wali Kota Denpasar, A.A. Puspayoga, enam tahun lalu. Forum ini mendapat ”izin operasi” di Terminal dan Pasar Ubung.
Masih di dalam kota Denpasar, polisi juga mengerahkan tiga regu pasukan dengan kekuatan yang sama. Masing-masing menggeruduk rumah Dewa Ngurah Swastika, Wayan Sudirga, dan I Wayan Suarya. Dua yang terakhir adalah adik Minggik. Keduanya bisa ditangkap polisi, sementara yang pertama lolos dari sergapan. Polisi cuma mendapati beberapa senjata tajam dan senjata api, termasuk sebatang pipa yang diduga dipakai sebagai casing bom.
Menurut Komisaris Besar Wilmar Marpaung, penangkapan direncanakan sejak jauh-jauh hari. ”Ini adalah operasi yang sangat dirahasiakan,” kata Direktur Reserse dan Kriminal Polda Bali, yang memimpin langsung penangkapan Minggik. Hanya beberapa perwira yang terlibat yang tahu tujuan operasi. Tiap regu terdiri dari personel satuan Reserse, Intelijen, Narkoba, Forensik, Lalu Lintas, Brigade Mobil, dan Detasemen Khusus 88 Antiteror.
BARANG bukti yang diperoleh polisi memperkuat desas-desus yang menyebutkan keterkaitan kelompok preman dalam dua ledakan granat pada dua pekan pertama Februari lalu. Pada 5 Februari, granat rakitan menghantam dua mobil yang diparkir di garasi Dirga Bali Transport, Jalan Gatot Subroto, Denpasar Timur. Tiada korban jiwa dalam insiden itu. Sepuluh hari berselang, granat meledak di Jalan Kebo Iwa, tepat ketika sebuah mobil Taft melintas. Akibatnya: dua penumpang terluka.
Kepala Polda Bali Inspektur Jenderal Paulus Purwoko mengatakan, penangkapan Minggik dipakai untuk mengurai dua kasus pembunuhan yang terjadi sebelumnya. Korban pertama adalah Komang Ardhana alias Burik yang tewas di Jalan Kusuma Dewa I, Denpasar, Desember 2007. Korban kedua adalah Ida Bagus Anom Wijaya yang terbunuh di Jalan Cokroaminoto, 15 Januari 2008. Polisi menduga dua kasus itu saling berhubungan dan kelompok Minggik terlibat.
Dua sumber Tempo di kalangan preman menceritakan bahwa pembunuhan Komang merupakan buntut perpecahan Forum Peduli Denpasar (FPD). Pemicunya adalah rencana Dewa Ngurah Swastika alias Dewa Saraf, orang kepercayaan Minggik, keluar dari FPD. Dewa, yang diberi kuasa mengelola judi toto gelap, sudah aktif mengail anggota baru. ”Pengaruh Dewa sangat kuat karena dia merekrut dan aktif membina anggota,” kata sumber itu.
Namun, masih kata sumber itu, Minggik tidak ingin ada ”pengkhianatan”, sesuatu yang bisa membuat ia kehilangan wilayah operasi. Pesan pun dikirim: Burik ”diselesaikan”—sesuatu yang dianggap bisa memukul Dewa. Antara Burik dan Dewa memang ada hubungan istimewa. Selain sebagai tangan kanan Dewa, Burik adalah teman satu bui Dewa setelah keduanya memukuli Direktur PD Pasar Badung pada 2002.
Mata dibalas mata, nyawa di balas nyawa. Pembalasan pun dilakukan. Selanjutnya yang terbunuh adalah Anom yang diyakini sebagai salah satu eksekutor Burik. Konflik makin tajam setelah Wayan Sudirga alias Yan Ketu memberi keterangan bahwa salah satu pembunuh Anom adalah Dewa Dawan, adik bungsu Dewa, tapi Dawan membantah. ”Saya dipaksa mengakui,” katanya. Ia mengaku sempat dipukuli polisi dan direndam di laut agar mengaku. Padahal, saat kejadian, Dawan bersama teman-temannya sedang membuat ogoh-ogoh alias boneka raksasa yang bakal diarak pada malam Nyepi.
Pengacara Minggik, Gde Widiatmika, menyebutkan, kliennya tak tahu soal pembunuhan itu. ”Pertanyaan polisi belum menyentuh itu,” katanya. Pertanyaan hanya difokuskan ke kepemilikan senjata. Adapun mengenai dugaan kliennya adalah raja togel, Widiatmika berkomentar: ”Kok hanya dia yang ditangkap? Padahal banyak juga bandar yang lain.” Tentang senjata api dan tajam, menurut Widiatmika, semua itu cuma koleksi, meski dimiliki kliennya tanpa izin.
KELOMPOK Minggik, dengan keku-atan 5.000 anggota, merupakan satu dari dua kelompok preman terkuat di Bali. Satu kelompok lainnya adalah Laskar Bali yang dipimpin Anak Agung Alit Kusuma Widanta alias Gung Alit. Laskar beroperasi sebagai pelindung tempat-tempat hiburan di Kuta dan Legian. Meski cuma membawahi 500 anggota, dengan ciri-ciri selalu membawa trisula di tangan, Gung Alit dikenal dekat dengan petinggi polisi dan militer.
Kedekatan Laskar dan aparat terungkap dalam penelitian Wayan Suryawan, dosen antropologi Universitas Udayana, yang dimuat situs sekitarkita.com. Menurut dia, setelah perkelahian di Denpasar Moon Karaoke, 30 November 2003, yang menewaskan seorang polisi, Gung Alit sempat ditahan sebagai tersangka. Lucunya, para tersangka dijenguk oleh petinggi militer di sana. ”Sangat ramai dan penuh canda tawa,” kata Wayan.
Seperti FPD, Laskar juga didera perpecahan. Sumber Tempo menuturkan, setelah Gung Alit dipenjara karena terlibat pembunuhan pada 2004, konflik muncul. Kelompok kecil yang dipimpin Endi terus beroperasi. Namun, gerakan Endi ditentang oleh Ketut Mustiada alias Budi, tangan kanan Gung Alit. Bentrok terjadi pada 2005. Salah satu korban tewas adalah Wayan Suparta alias Kayun, yang diplot menjadi pengganti Gung Alit.
Gung Alit enggan dimintai konfirmasi mengenai cerita ini. Berkali-kali dihubungi, teleponnya tak pernah diangkat. SMS pun tak berbalas. Tokoh lain yang disebut-sebut payung kelompok ini adalah A.A. Sumari Agung. Tapi, kakak Gung Alit ini membantah dirinya terkait Laskar. ”Silakan tanya adik saya. Nama saya tak ada dalam struktur mereka. Saya ini politisi,” kata Ketua Partai Karya Peduli Bangsa Bali yang biasa dipanggil Gung Ari itu.
Selain perpecahan, Laskar mengalami tantangan dengan munculnya kelompok baru. Salah satu yang menonjol adalah kelompok Karangasem. ”Mereka berhasil mengambil alih sejumlah tempat hiburan malam,” kata seorang sumber. Soal ini kemudian yang dikaitkan dengan peristiwa peledakan granat di Jalan Kebo Iwa. Komang Suparmadi, pemilik e-X Karaoke dan salah satu tokoh kelompok Karangasem menjadi korban dalam ledakan itu. Menurut polisi, ledakan itu adalah buntut kekecewaan satpam e-X yang tak lain adalah anak buah Gung Ari, yang tak lagi dipekerjakan di sana.
Adek Media, Abdi Purmono (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo