KAPAL Tampomas I yang bersandar di Pelabuhan Tanjungpriok
Senin siang lalu kelihatan resik. Sampah dan sisa muntah manusia
yang biasanya berserakan di sana-sini sama sekali tak kelihatan.
Lantai dek, bagian kapal yang biasanya paling jorok, tampaknya
baru saja dipel. Sekoci dan perahu penyelamat yang melengkapi
kapal juga masih mengkilat karena dicat.
Sebelum kapal berangkat baju renang diperiksa semua," ujar
Prajogo P. Koesno, Kepala Cabang Pelni Tanjungpriok. Beberapa
mobil yang akan diangkut tangki bensinnya tampak diperiksa para
petugas keamanan, padahal sebelum masuk pelabuhan tangki itu
sudah diperiksa petugas EMKL (Ekspedlsi Muatan Kapal Laut)
yang mengurus pengiriman. Bukan saja, tangki bensin kini harus
kosong, kabel aki juga harus dilepas dan diisolasi.
Begitu kapal berangkat, 6 tv berwarna 17 inci yang ada di kapal
menyajikan acara pertamanya pemutaran film video tentang
peragaan cara pemakaian baju renang serta sarana penyelamatan
diri lain yang ada di kapal seandainya terjadi kecelakaan.
"Sekarang memang jauh lebih tertib," kata Maxi Mapasa, seorang
penumpang pada TEMPO. Hari itu, 23 Maret, Tampomas I beranykat
ke Belawan dengan 1500 penumpang. Sebelum musibah Tampomas II
jumlah penumpang Tampomas I bisa mencapai 2500 orang. "Kami
biasanya tak bisa mandi di kapal karena air habis disikat
penumpang gelap yang dianak-emaskan awak kapal," tambah pekerja
bengkel yang sering naik kapal Pelni itu.
"Sekarang bisa mandi dan catu nasi tak pernah kehabisan,"
sambung Sudi, karyawan Ditjen Perhubungan Laut yang hari itu
menjadi penumpang.
"Selain penumpang gelap, kami juga sudah membersihkan calo dan
copet," kata Prajogo. Menurut pejabat Pelni ini, calo yang dulu
sering menjadi biang kericuhan sekarang mati kutu sebab
penumpang diwajibkan mengisi formulir tatkala membeli tiket.
Hingga identitas penumpang mudah diketahui.
Semua langkah penertiban dan pengetatan tadi agaknya merupakan
"hikmah" musibah Tampomas II. Banyak peraturan yang dulu hanya
tertulis di atas kertas sekarang mulai benar-benar dijalankan.
Sampai kapan, itu akan tetap menjadi pertanyaan.
Itu tidak berarti bahwa setelah tenggelamnya Tampomas II
pelayanan di kapal-kapal Pelni kontan menjadi mulus. Tiap
Selasa, KM Bogowonto yang melayani rute Teluk
Bayur-Tanjungpriok, selalu diserbu ratusan penumpang. Setelah
bergulat setengah mati untuk bisa naik ke kapal, sesampai di
ruang dek, perjuangan untuk memperoleh tempat belum berhenti.
Ruangan dek itu biasanya sudah "dikapling": digarasi kapur,
ditandai tali atau tikar. Itu berartl tempat itu sudah ada yang
punya, sekalipun yang empunya belum naik. Tidak jarang terbaca
nama-nama instansi resmi dan kesatuan ABRI. Tak pelak lagi
tempat itu sudah dipesan "oknum".
Maka seperti dedak yang hanyut dipusing air, para penumpang
mencari tempat kosong sembari putar sana putar sini sampai
akhirnya koper ditumpuk dan tikar dikembangkan -- sekalipun itu
empat terlarang. Buat penumpang memang, tidak ada pilihan lain.
KM Bogowonto, berbobot 1630 DWT, adalah satu-satunya kapal
penumpang yang secara teratur melayani lin Jakarta-Padang.
Memperoleh tiket bukan hal yang mudah. Di loket Pelni di Teluk
Bayur selalu ada orang yang siap membantu menguruskan dengan
imbalan "sukarela" antara Rp 500 sampai Rp 1000. Kegiatan
mereka diketahui juga oleh petugas Pelni. "Mereka bukan calo.
Mau apa kami kalau ada yang berusaha mencari uang untuk membeli
rokok," kata Arisman, pimpinan Pelni Cabang Padang.
Keadaan di Pelabuhan Bitung, Manado, lebih parah lagi. Ratusan
penumpang biasanya terpaksa menginap diruang tunggu pelabuhan
ataupun di emper-emper gudang sambil diamuk kegelisahan. Mereka
menunggu kepastian berangkat. Misalnya: KM Sawu, 4200 DWT, yang
Kamis pekan lalu bertolak dari Bitung hanya mendapat dispensasi
untuk mengangkut 450 penumpang dari syahbandar. Padahal calon
penumpang ditaksir 800 orang.
Yang lebih sengsara adalah penumpang kapal perintis yang
melayani pelayaran lokal. Ada yang harus menginap dan menunggu
berminggu-minggu.
Hasman Katili, 18 tahun, dari Kotamobagu yang berniat menuju
Palu sudah seminggu di Bitung menunggu KM Tindahia. Ia sudah
membeli tiket, bahkan sudah naik ke kapal. "Tiba-tiba saja kami
diturunkan lagi menyusul pengumuman kapal akan mengadakan lin
ekstra ke Gorontalo," keluhnya. "Apa boleh buat, kapal yang
menuju Sulawesi Tengah hanya satu," sambung Marten Pananggung,
calon penumpang lain.
Ketidakpastian berangkat kapal-kapal Pelni dari Bitung rupanya
karena kapal yang dioperasikan umumnya jenis cargo passanger
yang sekaligus mengangkut penumpang dan barang. Keberangkatan
kapal karenanya tergantung selesainya bongkar-muat barang.
"Saya heran. Negara kita kan negara maritim. Mengapa hanya punya
satu kapal yang betul-betul kapal penumpang seperti Tampomas,"
kata Frits Napitupulu, Kepala Bagian Operasi Pelni Cabang
Manado. "Pesawat DC 10 seperti yang tergelincir di Ujungpandang
itu, meski harganya US$30 juta -- tiga kali lipat harga kapal
penumpang jenis Tampomas -- kok bisa dibeli. Itu kan tidak bisa
dipakai rakyat kecil," tambah Frits, adik tokoh Golkar David
Napitupulu itu.
Calon penumpang yang berjubel juga merupakan pemandangan yang
biasa di Pelabuhan Ujungpandang. Kantor tua cabang Pelni
Ujungpandang di Jalan Martadinata selalu diluberi calon
penumpang yang cemas berharap untuk dapat memperoleh tiket.
Sebagai pengganti Tampomas II, Pelni telah menarik KM Salayar
yang semula melayani lin Sorong-Tanjungpriok didampingi KM
Tokala yang ditarik dari jalur Ujungpandang-Bitung, ke jalur
Ujungpandang-Tanjungpriok. Kedua kapal itu ternyata tak bisa
menyerap arus penumpang yang ada. Apalagi setelah KM Tokala
"dipinjam" untuk Latihan Gabungan ABRI. Tinggal KM Salayar dan
KM Ilmamui yang kewalahan melayani jalur Ujungpandang-Jakarta.
Setiap trip ratusan penumpang tak terangkat.
Jadwal pelayaran juga tidak tetap hingga calon penumpang
gelisah. Apalagi jumlah penumpang makin bertumpuk. Biro
perjalanan yang mendapat jatah tiket biasanya menggencet calon
penumpang yang tidak membeli tiket melalui mereka. "Saya sudah
empat hari mau menyetor formulir isian, tapi selalu ditolak
petugas," ujar Muslimin, seorang calon penumpang. Alasan
petugas yang didahulukan adalah keluarga Pelni. Menurut
Muslimin ia sering melihat nota yang "gentayangan" di sekitar
meja petugas. Calon penumpang, katanya, juga sering digoda calo.
Toh Kepala Cabang Pelni Ujungpandang B. Sumarto membantah.
"Kalau ada isu calo, itu bohong. Kalau ada karyawan yang
main-main, laporkan saja, nanti diusulkan dipecat," katanya.
Bagaimanapun, tampaknya usaha pengetatan yang dilakukan Pelni
sedikit banyak berhasil, sampai sekarang. Namun masih banyak
lubang tertinggal. Di Belawan misalnya, banyak buruh bagasi yang
dengan bisik-bisik sanggup mengantarkan calon penumpang gelap ke
Tampomas I dengan tarip Rp 15.000. Lebih murah dari harga tiket
dek Belawan-Jakarta yang sekitar Rp 19.000.
Musibah Tampomas II selain dianggap membawa "hikmah", rupanya
belum cukup membawa berkah buat rakyat kecil. Buat mereka
pengangkutan lewat laut praktis merupakan transpor satu-satunya
di nusantara ini. Selama sarana angkutan laut kita belum
memadai, nasib mereka selalu akan begitu: seperti ikan asin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini