BEBERAPA lukisan, antara lain karya Sadali, Sriyani dan Hassan
Dja'far menghiasi ruang kerjanya. Di luar, sepanjang tangga
sempit menuju kantor Direktur Utama PT Pelni ini, tergantung
pula beberapa sketsa Ipe Maaruf dan Lian Sahar.
"Saya sering sampai malam di sini. Supaya ada keseimbangan, saya
buat tempat kerja ini (sedemikian rupa) hingga menimbulkan kesan
enak, untuk melewatkan waktu," kata Husseyn Umar, 50 tahun,
Dir-Ut Pelni pekan lalu.
Mengumpulkan lukisan, dan "sesekali nongkrong di Pasar Seni",
Ancol tampaknya merupakan sisa masa lalu Husseyn. Dir-Ut Pelni
ini pada tahun 1950-an pernah dikenal sebagai sastrawan: menulis
sajak, cerpen, sandiwara dan kritik seni di berbagai majalah
budaya seperti Mimbar Indonesia, Siasat dan Kisah.
Husseyn Umar juga termasuk salah satu pendiri IPMI (Ikatan Pers
Mahasiswa Indonesia). Semasa mahasiswa, ia pernah ikut duduk
dalam Dewan Mahasiswa UI yang diketuai Emil Salim. Teks lagu
Mars Mahasiswa UI ditulis oleh Husseyn.
Tamat Fakultas Hukum UI pada 1957, Husseyn sebagai penerima
Ikatan Dinas pemerintah, langsung bekerja di Kementerian
Pelayaran. Setelah 5 tahun menjabat Atase Perhubungan di Negeri
Belanda, pada 1974 ia ditunjuk sebagai Dir-Ut PT PANN yang
pertama. Sampai 1979 tatkala ia diangkat menjadi Dir-Ut PT
Pelni.
Yang tetap pada Husseyn, yang pernah memenangkan kejuaraan dansa
ballroom di Jakarta pada 1950-an adalah pakaiannya yang selalu
rapi. Selain busana yang necis, cara bicaranya juga terkendali
dan hati-hati terutama kalau mengenai Pelni.
Berikut adalah sebagian wawancara Susanto Pudjomartono dari
TEMPO dengan Husseyn Umar, pekan lalu.
Bagaimana ceritanya sampai Anda diangkat menjadi Dir-Ut Pelni?
Biar bagaimana saya kan pegawai pemerintah yang bisa saja
mendapat berbagai penugasan. Kami harus menyesuaikan diri dengan
tugas yang diberikan, sedikit banyak seperti kunci Inggris, di
mana-mana harus pas.
Pelni dulu dianggap bobrok dan nyaris bangkrut. Apa langkah
pertama Anda?
Saya waktu itu tidak melihat Pelni sebagai perusahaan yang
bobrok dan semrawut. Sebagai perusahaan yang cukup tua, Pelni
sudah established cukup mempunyai ketentuan sebagaimana layaknya
suatu perusahaan. Hanya saya lihat perlu penataan kembali
tata-kerja dan peningkatan fungsi pengendalian dan pengawasan
perusahaan secara menyeluruh. Saya mencoba menghidupkan kembali
the normal shipping practices dalam Pelni.
Maksudnya?
Saya kira ini terjadi bukan di Pelni saja: banyak peraturan yang
secara sadar atau tidak, telah diabaikan. Misalnya muatan tidak
dihitung atau dihitung secara tidak cermat. Saya menyusun
triprogram. Pertama, meningkatkan pelayanan dan penghasilan
perusahaan semaksimal mungkin, kedua menekan biaya dan yang
terpenting yang ketiga: meningkatkan fungsi pengendalian dan
pengawasan dalam seluruh tubuh perusahaan.
Bagaimana hasilnya?
Sekarang orang mulai tergugah untuk lebih tertib. Semua ini
makan waktu. Dan lagi hal ini tidak tergantung pada Pelni saja.
Keberhasilan suatu jasa angkutan sangat tergantung banyak pihak
lain terutama masyarakat dan instansi-instansi pelabuhn. Ini
merupakan suatu upaya yang terus-menerus.
Dulu disebut-sebut ada yang namanya Mafia pelayaran, yang antara
lain menguasai bidang angkutan laut.
Dalam rangka penertiban, saya turunkan Tim Penertiban dan
Penataan kembali cabang-cabang. Sasaran pertama lima cabang
utama Pelni: Belawan, Tanjungpriok, Surabaya, Ujungpandang dan
Singapura. Ini dimulai sekitar pertengahan 1980. Pendekatannya
menangani masalah tata-kerja. Banyak kelemahan yang
kelihatan, misalnya kekurangjelasan prosedur kerja. Mungkin ada
orang yang kurang trampil atau sudah terlalu lama hingga punya
interest tertentu. Ini yang kami tata kembali.
Jadi kalau dikatakan ada Mafia tadi kami tangani dengan cara
ini. Kami hidupkan praktek-praktek perkapalan yang normal. Dulu
memang terjadi, barang tak diukur sebagaimana mestinya. Dokumen
tak diisi hingga kami kehilangan jejak.
Kami sekarang telah melewati suatu periode di mana yang
menentukan adalah EMKL. Mereka yang membikin dokumen, masuk
dalam gudang, sampai ke dermaga, bahkan sampai ke atas kapal.
Dalam penertiban ini kami tak bisa segera berhasil. Kami perlu
pengertian pihak yang mengirim barang, yakni EMKL.
Sekarang tentang Tampomas II. Sidang Mahkamah Pelayaran
menunjukkan para ABK tidak menguasai peralatan. Malah ada
jurumudi yang butahuruf. Bagaimana? Secara kualitatif pelaut
kami memang harus ditingkatkan. Tapi para personil laut secara
teratur kami beri kesempatan untuk memperoleh ijazah yang lebih
tinggi. Para perwira bisa mengikuti kursus tambahan Ilmu
Pelayaran. Ada juga sarana pendidikan untuk para tamtama dan
pelaut rendahan. Dalam rangka pengadaan kapal, para pelaut juga
dikirim ke luar negeri. Dalam waktu dekat akan diselenggarakan
kursus penyegaran pada semua ABK secara teratur.
Tentang ketrampilan? Secara dinas dan undang-undang sudah
menetapkan harus adanya latihan rutin di atas kapal. Yang
terpenting adalah enforcement (pelaksanaan). Ini memang harus
ditingkatkan. Dan sekarang ini semua sudah dilakukan.
Jadi apa arti musibah Tampomas II buat Pelni? Ini pelajaran
tidak saja buat Pelni, tapi buat semua orang. Kami sendiri telah
mengambil beberapa langkah agar peristiwa seperti itu tidak
terjadi lagi. Misalnya pengetatan pelaksanaan peraturan serta
pengamanan muatan. Dalam hal ini kami tidak bisa melakukannya
sendiri. Masyarakat harus membantu. Setelah musibah ini kami
sebetulnya agak lega: masyarakat tidak memaksa lagi seperti
dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini