Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pelni di sekitar tampomas Pelni: sebuah kontroversi

Tenggelamnya km tampomas ii & sidang mahkamah pelayaran yang memeriksanya, telah menyingkap berbagai kekurangan dalam tubuh pelni. timbul kesan bahwa pelni dikelola secara buruk. (nas)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELENGAN kepala hadirin dan kernyitan dahi banyak mewarnai sidang Mahkamah Pelayaran yang saat ini memeriksa musibah Tampomas II. Para ABK (anak buah kapal) Tampomas II ternyata tidak menguasai peralatan yang ada. Mualim I M. Ali Hamzah misalnya, orang kedua setelah nakoda yang sedang "cuti" tatkala musibah Tampomas II terjadi, ternyata tak mengerti cara menggunakan peralatan pemadam kebakaran yang ada di kapal. "Saya belum sempat mempelajarinya karena semuanya berbahasa Jepang," ujarnya tatkala ditanya majelis mahkamah. Kepala Kamar Mesin Dedy Haryadi juga mengaku tidak pernah menerima pembagian tugas di kapal dalam pelayaran, khususnya berhubungan dengan usaha pemadaman kebakaran. Yang lebih mencengangkan lagi: Jurumudi Asir Wayoi, 54 tahun, ternyata buta huruf dan hanya bisa menulis namanya sendiri dan angka-angka. Bagaimana mungkin semua itu terjadi? Maka orang pun menoleh ke PT Pelni yang menginduki para pelaut tersebut. Apakah pimpinan perusahaan negara ini tak mengetahui kemampuan karyawannya? Bagaimana manajemennya dalam Pelni hingga keadaan seperti itu bisa terjadi? Dari pimpinan PT Pelni muncul jawahan yang agak defensif. "Kalau ada ABK yang kurang trampil atau kurang berwibawa, itu secara individual. Jadi kurang kena kalau digeneralisasikan," kata Direktur Utama PT Pelni, M. Huseyn Umar. Tentang adanya jurumudi yang buta huruf, seorang pejabat Pelni lain menjawab "Dia kan karyawan angkatan lama. Yang baru semuanya harus berijasah. Kalau sebagai pelaut dia memang berpengalaman, apakah dia harus dipecat?" Bagaimanapun, tengggelamnya Tampomas II serta sidang Mahkamah Pelayaran yang memeriksanya, telah sempat menyingkap berbagai kekurangan dalam tubuh Pelni. Hingga muncul banyak kecaman pedas. Tidak terkecuali yang berasal dari kalangan dalam. "Hampir semua awak kapal tidak mengerti peralatan yang ada di kapal Tampomas II. Apa itu manajemen yang baik?" tanya Harun Rasidi, bekas Direktur Utama Pelni dan, kini menjabat Ketua Umum INSA (Gabungan Pemilik Kapal Indonesia). Menurut dia, untuk suatu kapal penumpang -- apalagi kapal penumpang yang diandalkan dan terbaik seperti Tampomas II -- seharusnya awak kapal benar-benar yang terbaik yang ada di Pelni. "Hal itu saya lakukan ketika saya memegang Tampomas I." Harun Rasidi boleh saja mengecam dan pasti pimpinan Pelni bisa menjawab dengan setumpuk alasan. Namun satu pertanyaan Harun bisa digaris bawahi apakah Pelni saat ini dikelola dengan baik? PT Pelni dibentuk pemerintah RI pada 28 April 1952 dengan melikuidasi Yayasan Pepuska (Penguasaan Pusat Kapal-kapal) dan mengalihkan kekayaanna pada perusahaan baru ini. Armada Pelni dimulai dengan 8 kapal bertonase 4.800 DWT, dengan karyawan sekitar 500 orang. Modal pendirian Rp 200 juta. Waktu itu praktis lautan Indonesia dikuasai kapal-kapal milik KPM (Koninglijke Paketvaart Maatschappij) milik Belanda. Latarbelakang pendirian Pelni memang politis, untuk menyaingi KPM dan kalau mungkin mengambil alihnya. Ini terlaksana pada 1957. Kehidupan Pelni mengalami pasang surut dan secara finansial hampir selalu menderita kerugian. "Pelni mempunyai misi pokok menyelenggarakan angkutan laut yang sistemtis, secara tetap dan teratur, di seluruh Indonesia sebagai pengejawantahan dari Wawasan Nusantara dalam rangka proses pemerataan pembangunan." kata Husseyn Umar. Hingga di samping berfungsi sebagai perusahaan biasa, Pelni juga mempunyai kewajiban sosial-politi: kapal-kapal Pelni bisa direkrut pemerintah dan para pelautnya bisa dimiliterisasikan, misalnya jika negara dalam keadaan darurat. Jika terjadi krisis bahan poko di suatu daerah, kapal Pelni bisa dikerahkan. Kewajiban sosial-politis ini ini terjelma juga dalam bentuk pelayaran perintis yang diselenggarakan Pelni. Di bidang armada, Pelni saat ini yang terbesar di antara 46 perusahaaan pelayaran Nusantara. Persero ini memiliki armada sekitar 105.000 DWT atau sekitar 30% dari jumlah 330.000 DWT. Volume angkutnya sekitar 32% (sekitar 1,5 juta ton/tahun dari 4,8 juta ton/tahun). Di bidang angkutan penumpang Pelni merajai: 90% dikuasai Pelni. Dii samping memiliki 71 kapal -- lebih separuhnya merupakan kapal yang tua -- yang merupakan tulang punggung perusahaannya, Pelni juga memiliki beberapa kegiatan penunjang. Antara lain kegiatan terminal (meliputi pergudangan, bongkar muat, EMKL dan angkutan bandar), galangan, cabang-cabang, keagenan serta sebuah Rumah Sakit. Jumlah karyawannya sekitar 6.000 orang, sekiitar 2.600 di antaranya pelaut. "Pengoperasian kapal-kapal dalam lin RLS (Reguler Liner Service) yang merupakan lin ekonomis tidak ada masalah. Yang menimbulkan kerugian adalah lin nonekonomis termasuk pelayaran perintis," kata Husseyn Umar. Kerugian di lin nonekonomis ini tahun lalu antara Rp 1,5 - Rp 2 milyar. Berbagai langkah penertiban yang dilakukan Dir-Ut Husseyn Umar rupanya telah memperbaiki neraca Pelni (lihat box). Ia lalu menyodorkan angka pada 1978 kerugian Pelni sekitar Rp 3 milyar. Tahun 1979 kerugian turun menjadi Rp 2,4 milyar. Pada 1980 menurut perkiraan sementara jumlah kerugian anjlok menjadi sekitar Rp 500 juta. Para pemimpin Pelni malah boleh tersenyum lebar. Pemerintah sejak tahun anggaran 1980/1981 memberi kompensasi atas kerugian Pelni dalam menjalankan lin nonekonomis. Untuk pertama kalinya kompensasi itu sebesar Rp 1,5 milyar dan telah direalisasikan Rp 1,1 milyar. Hingga banyak yang menduga, untuk pertama kali tahun ini Pelni bakal memperoleh keuntungan, paling tidak mencapai titik impas (break-even). Prestasi Pelni tahun lalu misalnya: mengangkut penumpang 550.000 orang termasuk 38.000 transmigran yang menghasilkan penerimaan Rp 8,3 milyar. Penghasilan terbesar tetap diperoleh dari angkutan muatan 1,5 juta ton yang menghasilkan penerimaan Rp 17,3 milyar. Pada 190 itu Pelni juga membongkar muat 5,7 ton barang, seharga Rp 6,7 milyar. Toh Husseyn Umar tetap menunjukkan sikap hati-hati. "Tenggelamnya Tampomas II serta pengoperasian beberapa kapal Pelni untuk mencari korban telah mempengaruhi penerimaan," katanya pekan lalu. Tampomas II memang sumber keuntungan buat Pelni. Sampai 24 Januari 1981, yaitu keberangkatan terakhir kapal dari Jakarta ke Ujungpandang, Tampomas II telah mengadakan 25 trip pulang pergi dan mengangkut 129.710 penumpang, 4.415 mobil dan 1.070 motor dan 2.200 koli barang. Penerimaan yang diperoleh lebih dari Rp 2,7 milyar. Ditaksir sekitar separuh jumlah itu merupakan surplus berupa uang tunai, termasuk akumulasi dana penyusutan. Dana penyusutan Tampomas II per hari diperhitungkan sekitar Rp 1,78 juta atas dasar perhitungan penyusutan 8 tahun, sedang bunga modal per hari diperhitungkan sekitar Rp 685.000. "Secara finansial pengoperasian Tampomas II sangat feasible," komentar seorang ahli perhubungan. Ada yang menduga besarnya keuntungan itu yang mendorong jadwal operasi kapal Tampomas II yang ketat sehingga menimbulkan kesan "dipaksakan". Dengan kalem Husseyn Umar membantah ini. Kapal itu, katanya, secara teknis didisain untuk mampu beroperasi terus menerus selama 1.000 jam. DIBANDING perusahaan negara di bidang angkutan lain, misalnya PJKA yang defisit sampai melebihi Rp 10 milyar, kondisi Pelni secara finansial memang boleh dibilang lebih mendingan. Namun mengapa Pelni lebih disorot dibanding PJKA misalnya? Sikap masyarakat yang kurang ramah terhadap Pelni tercermin juga dalam poll TEMPO tahun lalu. Dalam pengumpulan pendapat itu, 54,45% responden menginginkan agar perusahaan pelayaran sebaiknya tidak dikelola oleh pemerintah. Artinya dipegang swasta. Agaknya sikap responden didasarkan atas pengalaman dalam pengangkutan penumpang. Apakah ini berarti pamor Pelni, di samping 2 perusahaan negara di bidang pelayaran lain -- PT Bahtera Adhiguna dan Djakarta Lloyd -- di mata masyarakat pudar? Bila poll tersebut dilaksanakan setelah musibah Tampomas II, mungkin sekali hasilnya akan jauh lebih tegas. Setelah tenggelamnya Tampomas II kesan yang kurang simpatik pada Pelni mungkin timbul setelah mengetahui upaya pertolongan yang payah sekali. Sidang Mahkamah Pelayaran yang menyingkap wajah Pelni lebih tak membantu citra perusahaan ini. Ditambah lagi dengan adanya kesan cara penanganan yang "dingin" atas berbagai misteri di balik tragedi ini. Apakah langkah penertiban Husseyn Umar serta situasi keuangan Pelni yang membaik akan mengubah citra masyarakat pada persero ini? Ini yang masih harus ditunggu. Namun banyak kalangan dalam Pelni sendiri yang menganggap langkah Husseyn Umar belum cukup. Misalnya soal perbaikan gaji. "Gaji kecil, tapi mau ke mana lagi? Cari kerja lain susah," keluh Masih, 42 tahun, yang sudah 17 tahun bekerja di Pelni. Jabatannya pengawas buruh muat barang ke kapal. Lelaki dengan 3 anak ini sekarang bergaji Rp 40.000 sebulan. "Tak cukup untuk hidup," katanya. Keluhan masih banyak disuarakan rekannya yang lain. Hingga ada teori: banyak penyelewengan di Pelni terjadi karena gaji yang kurang. Misalnya ABK menyewakan kamarnya atau menyelundupkan penumpang gelap ke kapal. Seorang pejabat Pelni menganggap, mereka yang bekerja di laut perlu memperoleh penghasilan yang lebih besar. Sebagai perbandingan ia menyebut contoh: di Djakarta Lloyd gaji tertinggi (nakoda) Rp 560.000 dan yang terendah Rp 90.000 di Bahtera Adhiguna tertinggi Rp 658.000 dan terendah Rp 65.000. Sedang di Pelni yang tertinggi hanya Rp 224.000 dan terendah Rp 34.000. Semuanya itu pendapatan secara keseluruhan. SEORANG pejabat lain menyebut kekurangan Pelni yang lain kurang adanya sanksi. "Peraturan perusahaan sebenarnya sudah baik. Tapi kurang bisa jalan karena tak disertai sanksi. Seharusnya orang bekerja di Pelni mesti diberi pecut dan roti," katanya. Maksudnya kalau ada yang menyeleweng "pecut" yang harus digunakan. "Soal gaji itu relatif," bantah Husseyn Umar. ABK Pelni katanya selain gaji menerima berbagai premi, misalnya premi mil laut. Perbaikan gaji di Pelni menurut dia dilakukan dengan pengarahan pemerintah. "Tahun lalu ada kenaikan gaji 20%. Mudah-mudahan tahun ini ada kenaikan lagi," janjinya. Penindakan pada karyawan yang menyeleweng menurut Husseyn juga telah dilakukan, tapi dia menolak menyebut angka. Betapa pun, prospek Pelni -- yang asset-nya saat ini sekitar Rp 50 milyar -- tampaknya cukup cerah. Makin lajunya pembangunan mendorong mobilitas penduduk yang meninggi, disertai pertumbuhan angkutan muatan antara 10-11% /tahun. Sekalipun persaingan di bidang angkutan laut belakangan makin seru, Pelni ternyata tak dianggap saingan oleh para perusahaan pelayaran lain. "Pelni merupakan big brother perusahaan pelayaran swasta," ujar Rosihan Nuch Bajumi, Direktur PT Sriwijaya Raya Lines. Perusahaan ini dengan 14 kapal berbobot 17.865 DWT merupakan perusahaan pelayaran Nusantara terbesar setelah Pelni. Alasan Rosihan volume barang dan penumpang saat ini belum bisa dilayani Pelni sendiri. "Artinya tanpa Pelni perusahaan swasta lainnya akan benar-benar repot," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus