Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Lama-Lama Mental Saya Rusak"

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia memang kekurangan tokoh teladan. Meski tak banyak, seorang Harun Alrasid, 69 tahun, mantan wakil ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), adalah salah satunya. Pria kelahiran Pendopo, Sumatra Selatan, ini membuktikan janjinya mundur dari KPU jika lembaga yang banyak disorot masyarakat itu tak juga memenuhi keinginan rakyat. "Jika tanggal 8 Juli (1999) penghitungan suara nasional belum selesai, saya mundur," ucap wakil dari Partai Umat Islam itu sehari sebelum tenggat.

Menurut jadwal yang telah ditetapkan, Kamis pekan lalu itulah penghitungan suara secara nasional sudah harus final, ditetapkan hasil-hasilnya. Tapi nyatanya molor lagi. Tanpa banyak cingcong, Harun langsung menyerahkan kunci ruang kerjanya ke seorang pegawai KPU. Ia lalu melangkahkan kakinya meninggalkan gedung KPU selamanya. "Sikap ini bisa mengajarkan kepada anggota KPU agar menaati apa yang sudah diputuskan," kata mantan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang selalu bepergian dengan kendaraan umum itu.

Berikut petikan wawancara Raju Febrian dari TEMPO dengan Harun seputar KPU.


Apakah Anda mundur karena molornya penghitungan suara semata?

Dari awal saya sudah mengatakan, kalau tugas KPU selesai, saya akan berhenti. Tugas itu selesai kalau tahap penghitungan suara dan penentuan kursi dilalui. La, kalau molor terus, ya, sudah, bertele-tele.... Sudah lebih dari satu bulan rakyat menunggu, kok, hasil pemilu nggak keluar-keluar. KPU harus menjaga opini publik.

Mengapa kerja KPU bertele-tele?

Karena banyak mengalami gangguan, seperti pembentukan tim ini-itu..., ngurusin segala macam yang sebenarnya tidak ditugaskan oleh Undang-Undang Pemilu. Pembentukan Tim 11, misalnya, untuk mencatat kecurangan, untuk apa? Itu urusan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).

Apa sebenarnya yang harus mereka lakukan menurut paraturan?

Jika KPU hanya mengurus yang diamanatkan Undang-Undang Pemilu, tidak akan ada masalah. KPU sudah menyusun jadwal, penghitungan suara di Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), mulai 21 Juni. Berdasarkan itu, penetapan hasil penghitungan suara dilakukan KPU pada 8 Juli. Jadi, KPU belum boleh mengintervensi PPI. Tapi KPU melarang PPI menghitung suara dengan alasan undang-undang mengatakan (Pasal 62 ayat 1) bahwa PPI melakukan penghitungan jika semua suara sudah masuk. Karena undang-undang bilang "semua", menurut mereka (sebagian anggota KPU dari partai gurem), kalau belum "semua"-nya (masuk), penghitungan tidak bisa dimulai.

Anda menyalahkan penafsiran itu?

Ini penafsiran secara gramatikal, tata bahasa. Penafsiran picik dan dicari-cari dengan tujuan untuk mengatakan pemilu tidak jurdil. Padahal, dalam ilmu hukum diajarkan penafsiran dengan melihat tujuannya atau teologis. Karena tujuannya agar PPI segera melakukan penghitungan suara, jadi, walaupun datanya belum semua, sudah bisa dimulai.

Kenapa soal stembus accoord saja sampai dibahas berlama-lama?

Itulah, buang hari untuk soal yang kecil. Mestinya KPU bicara soal yang besar, bukan sisa-sisa "makanan" yang diperebutkan. Ngapain, sisa-sisa satu atau dua kursi diributkan, not worth. Stembus accoord ini jadi tumpuan partai gurem untuk mempertahankan eksistensinya.

Bagaimana dengan ide kerja sama politiknya Sri Bintang?

Itu apa-apaan...? Yang lazim itu stembus accoord, yang mestinya dilakukan sebelum pemilu. Ketika tahu nggak dapat kursi, baru kalang-kabut. Sudah tidak sehat, cara berpikirnya.

Bukankah partai gurem ngotot minta kursi di DPR atau setidaknya MPR?

Tidak mungkin parpol duduk di MPR, itu bukan wadah untuk parpol. Kursi yang diperebutkan parpol di pemilu itu untuk DPR.

Apa yang harus diperbaiki dalam tubuh KPU?

Baca itu fatwa dari Mahkamah Agung, apa KPU itu. ''…dalam kedudukan demikian, Komisi Pemilihan Umum merupakan badan yang menjalankan sebagian tugas pelayanan umum administrasi pemerintahan di bidang penyelenggaraan pemilihan umum…''. Tidak lebih dan tidak kurang.

Bagaimana sebaiknya format KPU mendatang?

Seharusnya KPU terdiri dari para ahli dan orang-orang independen, administrator, karena KPU bukan badan politik. Anggota KPU bukan pejabat negara, walaupun diangkat berdasarkan keputusan presiden. Kalau ada yang merasa pejabat negara, ini hanya "gede rasa" saja.... Mereka menganggap dirinya seperti anggota DPR. Ini nggak betul. KPU bukan perwakilan partai-partai. Ketika duduk di KPU, dia tidak mewakili partai lagi. Adanya anggota KPU yang ketua umum partai mempengaruhi pembuatan keputusan.

Jadi, Anda stres di KPU?

Pak Rudini yang sabar saja sampai emosi dan bilang, "KPU ini taman kanak-kanak". Anda bisa melihat bagaimana suasana sidang. Lebih-lebih sidang tanggal 21 Juni itu—jadwal dimulainya penghitungan suara. Rapat seperti itu membuat tekanan batin, lama-lama mental saya rusak gara-gara itu. Hari itu bikin saya sedih. Mau apa, sih, mereka itu? Mau cari kursi? KPU bukan tempat dagang sapi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus