Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dagelan Mengais Kursi Parlemen

Partai gurem nekat mengais kursi parlemen. Jabatan Wakil Ketua KPU, yang lagi kosong, segera diperebutkan.

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

URAT malu para politisi partai gurem rupanya sudah putus. Para wakil mereka yang kini duduk di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada masa kritis ini malah getol memainkan jurus-jurus aneh untuk satu tujuan: mendapat kursi yang bisa diduduki di DPR, setidaknya MPR. Tak apa meski cuma sebiji-dua biji. Padahal, perolehan suara partainya tak seberapa. Jauh dari kuota kursi yang ditetapkan. Tapi, "Mereka ngotot minta kursi di DPR," kata Adnan Buyung Nasution, Wakil Ketua KPU dari pemerintah yang kerap bersitegang dengan para dedengkot partai gurem.

Celakanya, tuntutan bertubi-tubi ini malah menghambat proses penghitungan suara, yang seharusnya sudah kelar dan diumumkan pada 8 Juli lalu. Profesor Harun Alrasid, wakil dari Partai Umat Islam, sampai kesal lantaran ulah sejumlah dedengkot partai yang mengintervensi Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). Akibatnya, start penghitungan terhambat. Mereka melarang PPI untuk menghitung sebelum seluruh suara dari semua provinsi masuk. Jadwal penetapan hasil akhir pun molor hingga 21 Juli kelak.

Keruan saja Harun tak habis pikir. "Cara-cara mereka sudah tak sehat. KPU bukan tempat (politik) dagang sapi," kata Wakil Ketua KPU ini kepada TEMPO. Tanpa pikir panjang, guru besar hukum tata negara UI yang menolak fasilitas mobil Kijang ini memutuskan mundur dari komisi yang diketuai Rudini itu. (Lihat boks: Lama-Lama Mental Saya Rusak). Saking susahnya mengendalikan rapat-rapat di komisi, Rudini sendiri sampai berujar bahwa lembaga ini tak ubahnya "taman kanak-kanak".

Ironisnya, kursi yang ditinggalkan Harun justru mereka incar. Diam-diam, mereka—tercatat ada 25 partai gurem—bikin pertemuan di Hotel Wisata, Jakarta, Jumat pekan lalu. Melalui forum ini, mereka tengah merapatkan barisan untuk merebut jabatan Wakil Ketua KPU itu. Rencananya, Sri Bintang Pamungkas dari Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) bakal didorong duduk di kursi lowong tadi. Niatnya jelas. Dengan menguasai posisi itu, segala keputusan akan mudah disetir. Soalnya, wakil ketua berwenang memimpin rapat pleno.

Jika bekas kursi Harun diisi, praktis bisa mengganjal Adnan Buyung Nasution, wakil pemerintah di KPU, agar tak bisa memegang palu sidang. Wakil Ketua KPU itu dinilai kerap memblokir berbagai akal-akalan partai gurem. Sebelumnya, berkali-kali mereka memboikot rapat, jika dipimpin Buyung. Mereka cuma mau masuk ke ruangan jika Rudini yang tampil. Rudini, wakil MKGR, salah satu partai cilik, dianggap berada di front yang sama. Dan jika Bintang lolos, pimpinan sidang praktis sepenuhnya dalam genggaman mereka.

Bintang membenarkan adanya pertemuan tersebut. Tapi, ia menyangkal bahwa agendanya soal kursi wakil ketua itu. Ia cuma mengakui memprakarsai temu partai itu bersama Clara Sitompul dari Partai Kristen Nasional Indonesia (Krisna). Tujuannya, selain untuk meredam tonjokan bertubi-tubi dari pers, juga untuk mematangkan idenya soal fraksi partai gurem. Toh ia bersikeras menyatakan bahwa pengganti Harun perlu segera dicari. Tapi, Sekjen PKP Hayono Isman menolak kehadiran Bintang. "Dia belum dewasa di panggung politik," katanya.

Jika skenario itu berjalan mulus, niscaya upaya mereka menggali terowongan ke Senayan akan makin leluasa. Selama ini, berbagai akal-akalan untuk mengais kursi di parlemen terus-menerus dilancarkan. Salah satunya tergambar dalam kisruh soal stembus accoord. Dalam urusan ini, yang paling anyar adalah upaya sembilan partai gurem menggugat (lagi) keputusan KPU soal penggabungan suara.

Dipimpin Sekjen Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Hayono Isman, Jumat lalu mereka menemui Rudini untuk memprotes. Mereka ngotot agar kesepakatan stembus accoord PKP segera disahkan. Alasannya, semua persyaratan telah dipenuhi, termasuk batas waktu yang ditetapkan KPU, yang jatuh 4 Juni. Jika tidak, mereka mengancam akan memerkarakannya ke meja hijau. Menurut salah satu ketua PKP, Sutradara Gintings, KPU tidak pernah memeriksa dokumen yang ada. "Itu kerjaannya Bintang saja," katanya, gondok. Anehnya, Rudini masih mengakomodasi. Ia berjanji akan menggelar rapat untuk meninjaunya kembali.

Padahal, melalui voting, sidang pleno KPU sudah ketok palu. Cuma dua kelompok yang disahkan stembus accoord-nya: delapan partai Islam dan kelompok Partai Demokrasi Kasih Bangsa. Kesepakatan empat kelompok lainnya—termasuk grup PKP—dianulir karena tak memenuhi persyaratan. Keputusan ini mengukuhkan hasil dua tim verifikasi yang dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia dan KPU. "Kalau sekarang dituntut lagi, ya, gimana?" kata Mustafa Kamal dari Partai Keadilan, jengkel. Mustafa lalu memberi saran. Ibarat main bola, katanya, kalau sudah kalah, jangan terus minta gawang lawan diperbesar.

Kelompok PKP ditebas karena dokumen asli kesepakatannya tak pernah bisa ditunjukkan. Tak lengkapnya sejumlah persyaratan administrasi juga menghadang kelompok Partai Islam Demokrat dan Partai Krisna. Sedangkan kelompok Partai Rakyat Indonesia, Agus Miftah, telak-telak disemprit karena ketahuan belangnya. Agus terbukti melakukan akal-akalan. Kesepakatan stembus accoord baru dimasukkannya ke KPU pada 6 Juni, lewat dua hari dari tenggat KPU. Saat akan diverifikasi, ia menyulap tanggalnya jadi 4 Juni. Ia tak sadar bahwa salah seorang penanda tangan rupanya punya kebiasaan mencantumkan tanggal di bawah tekenannya. "Jadi, ketahuan ngibul-nya, he-he-he ...," kata Andi Mallarangeng, Sekretaris KPU, geli.

Selain itu, ada gagasan aneh lain yang dilontarkan Bintang. Kali ini ia diberi judul: kerja sama politik. Suara partai gurem yang jeblok itu digabungkan secara nasional, lalu dibagi-bagi. Ada-ada saja. Ide liar ini jelas-jelas menabrak Undang-Undang Pemilu, yang menyatakan basis penghitungan suara adalah di tingkat provinsi. Lagi pula, satu-satunya mekanisme penggabungan suara cuma melalui stembus accoord itu. Sebelumnya, bahkan lebih tak masuk akal lagi: ada yang minta pembagian satu kursi gratis DPR untuk setiap partai gurem. "Itu namanya kalap," kata Mustafa Kamal, tandas.

Lagi-lagi Rudini memberi angin. Meski mengakui gagasan Bintang itu tidak memiliki landasan hukum apa pun, ia tetap mendukungnya. Kali ini atas nama gotong royong dan belas kasihan. Tujuannya agar suara partai gurem—konon menurut perhitungan Clara Sitompul mencapai 13 juta—tidak hangus begitu saja. Ia bahkan menganalogikannya dengan model pemilu Orde Baru. Dulu, kata mantan ketua Lembaga Pemilihan Umum itu, di Halmahera Utara, Golkar menang mutlak, yang lainnya nol. Tapi, lewat musyawarah, akhirnya satu kursi sepakat dihibahkan ke PDI.

Tak pelak lagi, ini menyangkut utak-atik soal jumlah kursi. Rudini menampik anggapan bahwa sikap lembeknya itu lantaran perolehan suara partainya, MKGR, juga jeblok. Toh ia lalu mengakui bahwa partainya telah dirugikan dengan dianulirnya penggabungan suaran yang mereka ajukan. "Di Sulawesi Utara, mestinya kami bisa dapat dua kursi," katanya sendu. MKGR adalah sekutu PKP dalam kesepakatan stembus accoord.

Memang, yang paling kena dampak pembatalan stembus accoord adalah PKP. Menurut Hayono Isman, jika diloloskan, PKP akan meraup 10-11 kursi DPR. Mantan petinggi Golkar ini bahkan menuding ada rekayasa di balik penganuliran itu. "Yang diuntungkan adalah Golkar dan PPP," katanya. Hayono dan koleganya pantas uring-uringan. Soalnya, tanpa itu, PKP cuma akan mengais dua-tiga kursi. Tapi, juga bisa berarti sebaliknya. Jika dihitung dengan matematika politik, pelolosan stembus accoord dan kerja sama politik ala Bintang jelas akan menyerobot perolehan kursi kelompok delapan partai Islam dan partai lainnya yang sudah jelas keabsahannya.

Potensi keruwetan berikut adalah soal penetapan 65 kursi utusan golongan di MPR. Sebelumnya, KPU sudah memutus sembilan golongan yang berhak atas kursi itu berikut jatahnya masing-masing (lihat tabel). Sampai akhir pekan ini, KPU sudah menerima usulan dari 160-an organisasi yang mendaftarkan diri. Di sini, jalan buntu juga bisa datang dari luar Gedung KPU. Misalnya, penentuan jatah untuk golongan penyandang cacat, yang cuma dua kursi. Mallarangeng sampai pusing kepala menghadapi protes berbagai organisasi cacat yang minta jatah lebih. Rupanya, mereka menuntut porsinya disesuaikan dengan jenisnya. Ada wakil tunarungu, tunadaksa, tunanetra, tunagrahita, dan lainnya.

Problem dicoba diatasi dengan pembentukan Tim 15. Tugasnya, menetapkan nama-nama penghuni kursi jenis itu. Masalahnya, di sini duduk tokoh-tokoh yang tanpa malu-malu telah pula mengemis posisi penting ini. Salah satunya adalah Agus Miftah. Kepada TEMPO, misalnya, ia pernah terang-terangan menyatakan sangat berminat. Ia tak peduli meski tindakan ini jelas-jelas menyalahi aturan. Di situ disebutkan gamblang: utusan golongan jelas bukan utusan partai.

Anggota KPU dari Golkar, Mahadi Sinambela, sampai terheran-heran. Dulu, pihaknya pernah mengusulkan agar dalam ketentuan soal utusan golongan, diselipkan pasal yang bisa mengakomodasi partai gurem itu. Tapi, waktu itu mereka menolak. "Sekarang, setelah kalah, kok baru minta-minta," katanya, terkekeh. Belum lagi tarik-menarik untuk memasukkan utusan golongan yang seaspirasi dengan para pemilih dari Tim 15. Mahadi usul agar dibuat pagarnya: utusan golongan tidak dipilih dari orang yang sudah berafiliasi ke partai tertentu. Persoalannya, rambu ini belum juga diputuskan.

Jadi, tanpa ada terobosan yang berarti, dan juga kerendahan hati, tampaknya kinerja KPU masih akan compang-camping.

Karaniya Dharmasaputra, Raju Febrian, Rubi Kurniawan, Wenseslaus Manggut


Komposisi Utusan Golongan
KelompokJumlah
  1. Golongan agama (Islam: 15, Protestan: 2, Katolik, Hindu, Buddha: masing-masing 1)
  2. Golongan budayawan, Ilmuwan, cendekiawan
  3. olongan ekonomi, badan-badan kolektif
  4. Golongan veteran, perintis kemerdekaan, pejuang
  5. Golongan perempuan
  6. Golongan etnis minoritas
  7. Golongan pegawai negeri sipil
  8. Golongan mahasiswa/pemuda dan LSM
  9. Golongan penyandang cacat
20

9
9
5
5
5
5
5
2
Total 65

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus