COLOMBUS berangkat berlayar, dan menemukan Amerika.
Apa sebenarnya yang ia cari? Ia meminta dari Raja Spanyol dua
hal: kehormatan dan kekayaan. Ia akan mempersembahkan penemuan
-- meskipun menurut sejarah sebetulnya tak jelas benar apa yang
ingin ditemukannya. Ia agaknya, pertama-tama, cuma terbakar oleh
satu keyakinan. Colombus yang membaca tulisan Marco Polo tentang
perjalanannya ke Timur, juga membaca Kitab Edras pertama. Bumi
bulat, kata "nabi" Edras.
Colombus memang manusia abad ke-15 di Eropa. Ia tidak yakin akan
ajaran yang didukung kalangan agama waktu itu, bahwa bumi
berbentuk seperti pinggan, tidak seperti bola. Tapi ia tidak
berniat murtad. Ia justru mengutip satu perbendaharaan
keagamaan, meskipun mungkin tak begitu "resmi". Dengan kata
lain, Colombus bukan seorang skeptis. Ia seorang yang percaya.
Yang menarik ialah bahwa ia ternyata hanya separuh benar. Laut
yang memisahkan "ujung Barat" dunia (Spanyol) dengan "ujung
Timur" (Hindia) ternyata tidak sempit. Benua yang ditemuinya
ternyata bukan "ujung" itu. Tapi barangkali sejarah memang
terdiri dari penemuan-penemuan separuh benar, atau separuh
salah, hingga kemajuan terjadi. Bahkan Colombus sendiri tampil
dari sana. "Tak bisa dibayangkan Colombus begitu bersemangat
menempuh maut membuktikan bumi bulat, seandainya bukan karena
kesalahan yang merajalela bahwa bumi rata kayak pinggan ceper,
seandainya tokoh-tokoh terkemuka dan berkuasa saat itu tidak
menjadikannya semacam kebenaran ilahi."
Kalimat terakhir tadi adalah kalimat dari seorang pengarang yang
memakai nama "Sribulan" dalam majalah Horison, Mei 1978. Kalimat
itu merupakan satu bagian dari sebuah pendapat, bahwa kesalahan,
bukannya "kebenaran", yang jadi satu sendi perjalanan hidup
kita.
Sribulan mengutip kata-kata ahli fikir ilmu pengetahuan, Karl R.
Popper, dalam Conjectures and Refutations: "Aku akan
memperkenalkan pengetahuanku yang secuil ini agar yang lebih
baik dari aku dapat mengkaji kebenaran, dan dengan demikian
membuktikan serta mencela kesalahanku. Dan dalam hal ini aku
akan berbahagia bahwa aku toh masih tetap salah satu alat yang
memungkinkan kebenaran ini muncul."
Karl R. Popper, demikian tulis Sribulan, menandaskan sekali lagi
bahwa manusia bersifat salah. Karena itu manusia paling-paling
hanya dapat melancarkan dugaan-dugaan (atau "conjectures")
terhadap suatu perkara berdasarkan pengetahuannya yang lama.
Dugaan itu adalah dugaan, tak pernah kebenaran atau kepastian.
"Di atas dugaan-dugaan inilah hidup kita berjalan, di atas
kesalahan dan kekeliruannya lah hidup kita berubah."
Maka, dugaan ini tidak akan berarti kalau ia ditampilkan sebagai
kepastian atau kebenaran. Artinya sengaja menghindar dari
kemungkinan dipergoki salah. Dengan demikian, tulis Sribulan
pula mengikuti Popper, "pernyataan semakin baik dan berarti
kalau semakin menyediakan lebih banyak kesempatan untuk
disalahkan, untuk ditolak."
Benarkah Popper? Benarkah Sribulan?
Ada kemungkinan bahwa dengan itu kita akan terjatuh ke dalam
yang lazim dicontohkan sebagai "sophisme". Dengan "sophisme"
seseorang mengatakan bahwa "tidak ada kebenaran". Padahal
pernyataan "tidak ada kebenaran" itu bagi si pembicara adalah
"kebenaran" juga. Popper mungkin agak meleset: kita hidup bukan
untuk merumuskan suatu pernyataan yang salah. Manusia mencari
kebenaran. Hanya ia harus selalu bersedia dengan pengakuan,
bahwa yang ia capai tak pernah bulat.
Bak kata-kata seorang guru yang bijak: "Memang berbahaya usaha
mencari kebenaran, tapi lebih berbahaya lagi bila kita merasa
telah mendapatkannya."
Maka tak ada jeleknya kita merenungkan kata-kata di majalah
Horison itu "Betapa malangnya dia yang ingin agar ucapan, dugaan
dan pernyataannya diterima sebagai kebenaran dan kepastian yang
tak tergugat."
Colombus yang berangkat ke Hindia, ternyata menemukan Amrika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini