SAYA percaya bahwa udara Bali yang segar akan membawa pengaruh
menenangkan pada para pejabat dan menteri yang kecapaian."
Begitu kata Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pada
Konperensi Puncak Asean di Bali bulan Pebruari 1976 lalu. Pekan
depan, udara Bali yang segar itu akan dihirupnya lagi waktu ia
bertemu dengan Presiden Soeharto dalam suatu kunjungan tidak
resmi. Ini adalah pertemuan tidak resmi kedua antara keduanya
sejak pertemuan pertama di Singapura tahun lalu.
Lee Kuan Yew dan rombongannya, menurut rencana akan tiba di Bali
25 Juni mendatang dan akan tinggal sampai 27 Juni. Tiga kali
pembicaraan direncanakan akan berlangsung dengan Presiden
Soeharto, diselingi pertunjukan kesenian dan tentu saja main
golf bersama di padang golf, Bedugul.
Semua pembicaraan akan dilangsungkan di Pertamina Cottage di
mana kedua rombongan akan menginap. Presiden Soeharto sendiri
tidak akan membawa banyak pejabat. Rombongan resmi mungkin hanya
terdiri dari tujuh atau delapan orang termasuk Menteri Sesneg
Sudharmono, Waka Bakin Majen Benny Murdhani dan Sekmil Presiden
Marsda Sugiri. Dari Deplu hanya Dirjen Protokol dan Konsuler
Alexander Marentek.
Apa saja yang akan dibicarakan? "Dalam suatu pertemuan informil,
tidak ada agenda pembicaraan yang dipersiapkan lebih dulu," kata
seorang pejabat yang akan menyertai rombongan Presiden. "Apa
saja bisa dibicarakan tergantung siapa yang mau mengemukakan."
Agaknya, itu pula sebabnya mengapa pemimpin-pemimpin Asean
umumnya lebih menyukai pertemuan tidak resmi yang bebas dari
tata cara protokoler.
Lamban
Setelah pertemuan tidak resmi antara Presiden Soeharto dan
Perdana Menteri Malaysia Hussein Onn di Labuan, negara bagian
Sabah bulan lalu, pertemuan Soeharto-Lee ini menjadi makin
menarik. Bukan suatu rahasia lagi kalau masih ada semacam
"ganjelan psikologis" dalam hubungan Indonesia-Singapura.
Beberapa hal yang telah dirembug Soeharto dan Hussein Onn di
Labuan bukan tidak mungkin akan muncul dalam pembicaraan di
pantai Kuta nantinya.
Salah satu daripadanya adalah masalah Brunei. Singapura konon
kurang menyukai munculnya Brunei sebagai suatu isyu di kawasan
Asean, apa lagi untuk menjadi bahan perdebatan. Hubungan
Singapura dengan Brunei cukup erat. Wilayah Brunei cukup ideal
sehingga dipakai sebagai tempat latihan prajurit Singapura.
Hingga, kalau waktu batalyon Gurkha yang ditempatkan Inggeris di
Brunei direncanakan akan ditarik, Brunei pertama kali
memalingkan mukanya ke Singapura untuk mencari penggantinya.
Menjelang kemerdekaan Brunei wajar kalau daerah kecil tapi kaya
dalam lingkungan kawasan Asean ini menjadi perhatian
negara-negara tetangganya.
Semuanya ini tentunya tidak terlepas dari kerangka kerjasama
Asean. Dan Singapura juga yang selama ini dianggap paling kurang
puas dengan hasil kerjasama ekonomi Asean yang dianggap terlalu
lamban. Sikap Singapura ini dapat dimengerti mengingat kondisi
negerinya yang harus mendasarkan politiknya pada pertimbangan
ekonomi untuk bisa survive.
Batam
Masalah bilateral yang akan dibahas kedua kepala negara adalah
mengenai kerjasama ekonomi, termasuk partisipasi Singapura dalam
pembangunan pulau Batam. Rencana pendirian suatu penyulingan
minyak di pulau ini, yang akan merupakan usaha patungan Kuwait,
Malaysia dan Indonesia, diperkirakan akan menguntungkan
Singapura. Banyak perusahaan Singapura yang merencanakan untuk
ikut tender kalau proyek itu dimulai. Faktor jarak yang dekat
dengan Batam, yang dulu pernah dianggap ancaman, sekarang ini
malahan dimanfaatkan Singapura. Mungkin malahan Singapura akan
menanamkan modal untuk membangun hotel dan bidang pariwisata di
Batam bagi pelancong-pelancong yang ingin berbelanja di
Singapura.
Menarik para turis untuk tidur di Batam, memang merupakan cara
yang baik untuk membuat Kota Singa yang sesak itu sedikit
bernafas. Dibekali pengalaman pariwisata, pembangunan
hotel-hotel di Batam itu dengan sendirinya akan bisa menyerap
tenaga kerja dari Singapura.
Di samping itu 'Lee Kuan Yew kabarnya akan membicarakan
permintaan bagi dihapuskannya pajak berganda terhadap
barang-barang ekspor Indonesia. Juga tuntutan "hak menangkap
ikan tradisionil" bagi nelayan Singapura di perairan Indonesia
sebagai kelanjutan pengakuan prinsip Singapura pada Wawasan
Nusantara.
Soal penyelundupan Indonesia-Singapura masih merupakan duri di
mata Indonesia. Walaupun Singapura belakangan sudah bersedia
memberikan statistik perdagangannya dengan Indonesia, masih
banyak hal-hal yang perlu dibereskan. Misalnya soal
penyelundupan timah yang menyebabkan Singapura yang tidak
menghasilkan timah dapat mengekspor timah ke negara lain.
Masalah lain yang tentunya masuk agenda pembicaraan, menyangkut
anak-anak dari Indonesia yang belajar di Singapura. Dubes Her
Tasning, ketika datang melapor kepada Presiden baru-baru ini,
mengemukakan kepada pers betapa makin banyaknya anak-anak orang
berduit -- sampai pun di taman kanak-kanak -- yang dikirim
sekolah ke Singapura. (lihat Pendidikan ).
Kedua kepala negara mungkin sekali juga akan membicarakan hasil
pertemuan para Menlu Asean di Pattaya pekan lalu, yang
menyinggung kemungkinan perlunya Konperensi Puncak Asean sekali
lagi. Sikap Singapura sendiri tercermin dari ucapan Menlu S.
Rajaratnam yang beranggapan "konperensi tingkat puncak itu
perlu, tapi tidak urgen."
Di atas segalanya, jelas hubungan Indonesia-Singapura makin
bertambah erat beberapa tahun terakhir ini. Salah pengertian dan
hambatan-hambatan psikologis makin jauh berkurang, sekalipun
dalam beberapa isyu bilateral masih nampak adanya perbedaan yang
sulit untuk dipecahkan karena masing-masing pihak tetap
bersikeras mempertahankan kepentingan nasionalnya.
Dari pengalaman diketahui, banyak masalah kedua negara yang baru
dapat dipecahkan melalui pertemuan puncak Soeharto-Lee Kuan Yew,
tapi proses penyelesaiannya oleh pejabat bawahan cenderung untuk
terulur berkepanjangan. Apakah udara Bali yang segar akan dapat
menguraikan keruwetan masalah-masalah kedua negara, masih harus
ditunggu hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini