Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPAT pukul 12.00, bel rehat berbunyi. Para siswa muslim Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Madania berhamburan dari kelas. Seperti dikomando, mereka langsung antre berwudu, kemudian menuju tempat salat—sebuah aula di gedung sekolah itu. Seorang siswa mengumandangkan azan. Sekitar sepuluh menit kemudian, dimulailah salat zuhur berjemaah. Usai salat, mereka mendapat siraman rohani dari guru agama, sekitar lima belas menit.
Pada saat bersamaan, siswa nonmuslim berkumpul di kelas agama masing-masing, menerima siraman rohani dari guru agamanya. Begitulah, sejak berdiri pada 1998, Sekolah Madania yang bernuansa Islam itu membuka pintu bagi calon siswa nonmuslim. Saat ini, dari 843 siswa SD dan SMP Madania yang berlokasi di perumahan mewah Telaga Kahuripan, Parung, Bogor, terdapat 114 siswa nonmuslim. Ada 56 pemeluk Katolik, 46 Protestan, 5 Buddha, 2 Hindu, dan 5 Saksi Jehuwa. Menurut Anggie S. Anggari, Direktur Madania, sekolah yang dipimpinnya menjunjung tinggi pluralisme. Madania tak pernah membedakan siswa muslim dan nonmuslim. "Semua mendapat fasilitas dan perlakuan yang sama," ia menjelaskan. Untuk menunjang pelajaran agama, misalnya, Madania menyediakan kelas khusus untuk semua agama. Di sekolah itu ada kelas Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan itu tadi: Saksi Jehuwa.
Kelas khusus ini memiliki guru agama masing-masing. Jadi, tutur Anggie, kalau siswa muslim belajar agama selama dua jam, siswa nonmuslim juga belajar agama di kelasnya dengan waktu sama. Setelah belajar agama, para siswa kembali ke kelas asalnya masing-masing. Pada Ramadan, kegiatan keagamaan di Madania malah lebih semarak. Para siswa muslim menggelar pesantren kilat, sedangkan siswa Katolik dan Protestan, misalnya, mengadakan retret.
Selama Ramadan, Madania juga mengundang pastor, pendeta, dan biksu untuk berceramah bagi siswa nonmuslim. Yohana M.H. Siahaan, guru agama Protestan, mengaku belum pernah menemui masalah apa pun selama mengajar di Madania. Hal yang sama dirasakan guru Hindu, Gusti Ayu K. Sutini. Meski muridnya hanya dua orang, ia mendapat ruangan dan fasilitas sama dengan kelas Islam yang muridnya banyak.
Ya, boleh dibilang Madania telah menerapkan "pasal agama" dalam Rancangan Undang-Undang Sisdiknas sebelum peraturan itu disahkan. Memang, saat ini baru SD dan SMP Madania yang menerapkan "pasal agama" itu. Tapi, menurut Munif, staf hubungan masyarakat SMU Madania, mulai tahun ajaran 2005/2006 SMU juga akan menerapkannya. Jadi, "Mulai 2005, SMU Madania akan menerima siswa nonmuslim," ujarnya.
Hanya, untuk menikmati suasana majemuk itu, orang tua calon murid mesti merogoh kocek lebih dalam. Tarif uang masuknya saja sekitar Rp 10 juta- 20 juta, dan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) per bulannya Rp 300 ribu-600 ribu. Malah, berdasarkan brosur penerimaan siswa baru, mulai tahun ini Madania mematok uang masuk sekitar Rp 30 juta dan SPP setiap bulannya Rp 600 ribu.
Nurdin Kalim, Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo