Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Teror dan Culik Selepas Demo

Pro dan kontra terhadap RUU Sistem Pendidikan Nasional mulai membawa korban teror dan penculikan.

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYANGAN maut itu masih sering berkelebat di benak Munir Che Anam. Suara tembakan, berganti-ganti dengan bentakan, dan raungan kucing sakit yang diperdengarkan ke kupingnya selama berhari-hari terus saja terngiang-ngiang, menciutkan nyali. Itulah pengalaman Munir, mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, serta salah satu aktivis Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Selama sepekan dia menjadi korban penculikan dan teror seusai berdemo menentang Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Yogyakarta pada pertengahan Mei lalu. Penculiknya kemudian meninggalkan Munir di sebuah jalan di Klaten. "Alhamdulillah, saya tidak disakiti secara fisik," ujarnya kepada TEMPO. Pengalaman seminggu dalam penculikan dia beberkan pada Selasa pekan silam di depan anggota Kelompok Cipayung di Yogyakarta. Menurut Munir, penyekapan terjadi setelah dia turut dalam aksi penolakan RUU Sisdiknas di Yogyakarta pada 19 Mei lalu.

Bersama para anggota Masyarakat Yogyakarta Peduli Pendidikan Nasional (Mata Pena), Kelompok Cipayung menjadi penggalang aksi unjuk rasa besar-besaran tersebut. Melibatkan berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, dosen, guru, dan siswa SLTA, aksi itu berlangsung tertib. Seusai berdemo, para aktivis dihujani teror pesan singkat (SMS) yang mengecam aksi mereka. "Tadinya tidak kami anggap serius. Tapi, setelah Munir diculik, teman-teman ketakutan juga," kata Warjo, salah satu anggota Kelompok Cipayung.

Tersebutlah, dua hari setelah aksi 19 Mei, Munir diciduk orang tak dikenal dari kampusnya di Jalan Solo saat hendak pulang ke tempat kosnya pada pukul 5 pagi. "Saya memang biasa tidur di kampus, pulang subuh. Begitu saya keluar dari kampus, ada mobil Isuzu silver metalik mendekat. Saya pikir ada yang mau ditanyakan. Tiba-tiba pintu dibuka dan tangan saya langsung ditarik masuk ke mobil," tuturnya.

Kejadiannya begitu cepat sehingga Munir tak sempat melihat dan mengenali empat orang yang berada di dalam mobil itu. Mata mahasiswa asal Lampung ini lalu dibalut dengan kain segitiga berwarna gelap. Kedua tangannya diborgol. Setelah kurang-lebih satu jam berada di mobil, ia dimasukkan ke satu ruangan. "Telepon genggam dan dompet saya diambil. Di dalam mobil, mereka tidak saling bicara sehingga saya tak mengenali suara mereka," katanya.

Selama seminggu si penculik menteror mental si Munir. Caranya? Ada suara dua laki-laki yang berbicara soal "ingin memberi pelajaran" kepada Munir. Lalu muncul suara lain meminta dia langsung dihabisi saja—disusul suara tembakan senjata api yang memekakkan telinga serta raungan kucing yang sedang sekarat.

Teror serupa tapi tak sama dialami Suprapto, koordinator pengamanan aksi. Pria ini juga anggota satuan tugas (satgas) salah satu partai politik. Beberapa kali ia menerima teror SMS dan ancaman telepon. Isinya meminta agar dia tidak lagi mengamankan aksi penolakan RUU. Namun Suprapto tidak menggubris. Belakangan, seorang rekannya, juga anggota satgas, disenggol mobil Isuzu Panther berwarna silver metalik. "Kami sudah tahu siapa mereka, tapi kami biarkan saja," Suprapto melanjutkan.

Teror dan culik mewarnai demo penolakan RUU Sisdiknas, yang masih terus berlangsung hinga pekan ini. Aksi-aksi penolakan dibalas pula oleh demo yang mendukung pengesahan RUU. Di Yogyakarta, aksi dukungan terbesar pada RUU tersebut digelar pada 27 Mei silam. Dimotori oleh Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI) Yogyakarta, ribuan orang, termasuk siswa-siswa sekolah muslim—dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi—hadir dalam aksi itu. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin berteriak di sela-sela orasinya, "Bila (RUU) tidak disahkan, umat Islam akan mendatangi Gedung DPR di Senayan untuk mendesak pengesahan itu."

Dukungan terhadap RUU Sisdiknas juga datang dari Majelis Mujahidin Indonesia. Menurut Majelis, penyelesaian pro dan kontra harus disikapi secara adil dan proporsional. "Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan cara paksaan ataupun sikap emosional. Kalau perlu, lakukan debat terbuka," kata Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia.

Di tengah silang sengketa ini, Forum Dialog RUU Sisdiknas melangsungkan diskusi pada pekan lalu untuk mencari titik temu. Sejumlah toko akademisi dan tokoh agama hadir dalam acara tersebut. Mengutip juru bicara Forum Dialog, titik temu ini hanya mungkin lahir bila sikap saling mencurigai dihindarkan sejauh-jauhnya. Apalagi cara-cara teror dan penculikan.

L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus