Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT menyongsong tamu jauh, berbagai sekolah swasta kini tengah berbenah dan mematut diri. Ada yang sudah siap menyambut dengan antusiasme luar biasa, tapi ada pula yang, meski bersiap, masih mencoba meminta tunda. Kalau bisa, kedatangan sang tamu bernama Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) itu diundurkan barang dua-tiga bulan. Agar lebih siap, barangkali.
Bagi SMU Muhammadiyah I Yogyakarta, penerapan undang-undang baru ini tak akan jadi masalah. Sejak lima tahun lalu, mereka sudah menyatakan siap menerima siswa nonmuslim dan memberikan pelajaran agama sesuai dengan agama siswa, meski hingga kini belum ada siswa nonmuslim yang mendaftar. "Akan kami sediakan guru agama mereka dan kami ikutkan ke lembaga keagamaan bersangkutan," kata Slamet Purwo, juru bicara SMU favorit itu.
SMU Islam Al-Azhar 3 Jakarta pun siap mendukung pelaksanaan UU Sisdiknas. Tapi, sampai kini, mereka belum berencana menempatkan guru agama nonmuslim. Memang tak ada larangan tertulis bagi umat agama lain bersekolah di Al-Azhar. "Tapi, karena identitas kami sekolah Islam, dalam seleksi murid kami memiliki filter seperti membaca Al-Quran dan salat," kata H. Amliwazir Saidi, sang kepala sekolah, kepada Nunuy Nurhayati dari Tempo News Room.
Th. Sukristiyono, Kepala SMU De Britto, Yogyakarta, juga menyatakan sekolahnya pasti melaksanakan beleid baru itu jika telah disahkan. Itu sudah menjadi kebijakan yayasan. Tapi mereka akan tetap menyeleksi guru agama itu, seperti mereka menyeleksi guru untuk pelajaran matematika, biologi, dan sebagainya. "Tentu saja kami tetap akan mencari guru yang bisa memahami visi dan misi kami," katanya.
Selama ini, menurut Sukristiyono, De Britto tak pernah memaksakan pendidikan agama Katolik kepada siswa muslim, yang jumlahnya 10-15 orang per angkatan. "Retret dan ke gereja hanya untuk siswa Katolik," katanya. Untuk siswa non-Katolik, diberikan pendampingan semacam geladi rohani dengan peribadatan sesuai dengan agama siswa. Pada bulan Ramadan, mereka menyelenggarakan buka puasa bersama dan menghadirkan kiai untuk memberikan siraman rohani kepada siswa muslim.
Keterbukaan sekolahnya diakui Gludhug Ariyo Purnomo, siswa kelas II-6 di SMU De Britto. Anak lelaki pelawak Maryoto ini mengaku tidak kesulitan menjalankan ibadah sebagai muslim. Ia merasa mendapat kebebasan mengemukakan pendapat tentang berbagai permasalahan, termasuk soal kepercayaan. "Teman-teman dan guru-guru di sini tetap menghargai saya sebagai muslim," ujarnya
Di SMU Kanisius Jakarta, siswa muslim pun diperbolehkan melakukan salat Jumat di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang berjiran dengan sekolah itu. Tapi, meski menganggap tak ada masalah dengan pelajaran agama Katolik yang diberikan dua jam seminggu, Darmayuda, siswa kelas 2, berharap agama Buddha yang dianutnya juga diajarkan. "Perlu juga, sih," katanya.
Sukristiyono mengakui, sebenarnya mereka masih berharap ada perubahan dalam RUU Sisdiknas, terutama dalam beberapa pasal menyangkut tujuan dan fungsi pendidikan serta tenggang waktu setelah diputuskan. "Soal mencerdaskan bangsa sangat perlu, juga persoalan peran swasta," ujarnya. Tapi palu tampaknya memang tinggal diketuk. Menurut Ketua Panitia Kerja RUU Sisdiknas, Prof. Dr. Anwar Arifin, meski masih ada yang mengganjal, mekanisme di DPR tetap dijalankan. Ia tak menyangkal, beberapa kendala akan muncul setelah RUU itu disahkan. "DPR sebatas membuat undang-undang. Pelaksanaan ada di tangan pemerintah," kata anggota Fraksi Partai Golkar ini kepada Yandi M. Rofiyandi dari Tempo News Room.
Karena itu, tak hanya sekolah swasta, pemerintah pun kini berbenah. Departemen Agama, misalnya, saat ini menyiapkan 70 ribu guru sebagai antisipasi permintaan guru agama dari sekolah-sekolah setelah disahkannya RUU Sisdiknas. "Persiapan dan penempatan puluhan ribu guru agama adalah jawaban atas pro-kontra terhadap UU Sisdiknas," kata Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, Farouk Zein Badjabir, mengutip ucapan Wakil Presiden Hamzah Haz pekan lalu.
Uniknya, mereka yang menolak RUU itu menganggap kesiapan pemerintah sebagai langkah pertama upaya etatisme—campur tangan pemerintah terhadap urusan agama dan sekolah. "Jika melaksanakannya dalam keterpaksaan, proses pendidikan tidak akan berjalan," kata Romo Baskoro Poedjinoegroho, S.J., Kepala SMU Kanisius Jakarta. Sedangkan Sukristiyono menduga ada gerakan sistematis untuk mencampuri urusan agama oleh negara.
Namun, kata Anwar Arifin, penyediaan guru agama bukanlah upaya etatisme dan intervensi pemerintah atas otonomi sekolah. Penyediaan guru agama, kata dia, semata-mata mengatasi kemungkinan kesulitan sekolah tertentu dalam menerapkan pasal 13. "Jika sekolah itu mampu memenuhi kebutuhan peserta didik dengan mengupayakan sendiri guru agama, itu malah lebih baik," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Dr. Din Syamsuddin, mencoba meyakinkan bahwa tak ada keinginan umat Islam mensistematisasi gerakan, apalagi dalam upaya menerapkan semangat Piagam Jakarta dalam UU Sisdiknas. Tapi ia menegaskan, bagi umat Islam, pengaturan oleh negara juga penting. "Kalau tidak diatur, justru akan terjadi konflik," katanya.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Heru C. Nugroho, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo