Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sukarni Kartodiwirjo pada 7 November 2014. Sukarni adalah tokoh pejuang kemerdekaan yang namanya tak bisa dipisahkan dari peristiwa Rengasdengklok yang memaksa Soekarno - Hatta memproklamasikan kemerdekaan lebih cepat, pada 17 Agustus 1945. Lelaki kelahiran Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1916 itu juga pendiri Partai Murba.
Menukil dari buku Sukarni Kartodiwirjo “Hidup Bersahaja Sepanjang Hayat”, semangat kebangsaan Sukarni ditempa di sekolah antiBelanda Mardisiswo, milik seorang nasionalis, Mohammad Anwar asal dari Banyumas, Jawa Tengah. Semangat nasionalisme Sukarni terus tumbuh saat remaja. Dia mulai menunjukkan ketidaksenangannya kepada pemerintah kolonial Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat di Meer Vitgebried Lager Onderwijs atau MULO, misalnya, Sukarni mengajak teman-temannya di Blitar berkelahi dengan anak-anak Belanda. Tak hanya mengajak berkelahi, di sela kesibukannya bersekolah, Sukarni juga menyempatkan diri mengajari anak-anak belajar membaca dan bahasa Belanda meski hanya menggunakan lampu tempel sebagai penerang. Mereka belajar antara pukul 19.00-21.00.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang dewasa, Sukarni mulai aktif berorganisasi. Dia mendirikan Persatuan Pemuda Kita dan diangkat sebagai ketua Indonesia Muda cabang Blitar. Sukarni kerap mengorganisasikan pertemuan-pertemuan pemuda dan pemudi di bidang kebudayaan dan olahraga.
Diawasi Polisi Rahasia
Agenda itu hanya tedeng belaka, sebab Sukarni dan organisasinya sebenarnya tengah mengumpulkan massa. Kegiatan sosial dan rapat-rapat umum untuk mengerahkan massa mulai sering diadakan. Akibatnya Sukarni mulai menjadi incaran Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Polisi Rahasia Belanda.
Aktivitas ekstra-sekolah yang menyita waktu, Sukarni dikeluarkan dari sekolahnya di MULO. Dia tak dapat menamatkan pendidikannya. Meski begitu, Sukarni tidak pernah surut semangat. Dia melanjutkan sekolah di Yogyakarta sebelum akhirnya hijrah ke Jakarta untuk sekolah guru.
Berkat bantuan Wardoyo Soekarmini atau Bu Wardoyo, kakak Bung Karno, Sukarni dapat belajar jurnalistik di Bandung, Jawa Barat. Kendati sibuk menempuh pendidikan, dia tetap aktif di organisasi Indonesia Muda. Inilah yang membuat Sukarni terus diburu oleh PID karena dianggap bakal mengganggu stabilitas dan membahayakan kekuasaan Belanda.
Karier politiknya melonjak cepat. Pada 1931, dia menjadi anggota Indonesia Muda. Dua tahun kemudian PID berkali-kali menangkapnya karena aktivitas politiknya. Untuk menghindari penangkapan, Sukarni kabur dari Kota Batavia. Berdasarkan situs Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), ikpni.or.id, Sukarni lari ke Jawa Timur. Ia sempat bersembunyi di Pondok Pesantren di Kediri, kemudian di Pondok Pesantren di Banyuwangi. Kepemimpinan PB Indonesia Muda dialihkan kepada Ruslan Abdulgani.
Dalam pelariannya, Sukarni dari Banyuwangi menyeberang ke Kalimantan pada 1938. Ia menggunakan nama samaran Maidi. Pada 1941, ia ditangkap PID di Balikpapan. Dari penjara Balikpapan, Sukarni dipindahkan ke penjara Samarinda, Surabaya dan Batavia. Di pengadilan, ia dihukum buang ke Boven Digul.
Sukarni berhasil bebas dari pengasingannya setelah pemerintah pendudukan militer Jepang membebaskan seluruh tahanan politik. Sukarni ketika itu tergabung sebagai pegawai Sendenbu (Departemen Propaganda) dengan pangkat Yong-te Gyoseikan (pegawai tinggi tingkat empat).
Menteng 31
Para tokoh muda yang direkrut oleh pemerintah pendudukan Jepang akhirnya direkrut untuk membentuk Angkatan Baru Indonesia dengan sekretariat di Jalan Menteng 31. Ketika itu Pemerintah Jepang mengangkat Sukarni sebagai Ketua Asrama Menteng 31.
Penghuni Asrama Menteng 31 kerap mengadakan kegiatan yang mengundang para pemuda dengan menghadirkan penceramah dari para tokoh perjuangan kemerdekaan di antaranya adalah Bung Karno, Bung Hatta dan Sultan Sjahrir. Topik yang sering menjadi pembahasan perkembangan perang Asia Timur Raya.
Dari sekretariat itu Sukarni bersama tokoh golongan muda lainnya merencanakan penculikan Bung Karno dan Bung Hatta agar bersedia mempercepat proklamasi. Penculikan itu berjalan lancar karena mendapat dukungan dari komandan PETA di Jakarta dan Purwakarta. Mereka membawa Soekarno dan Hatta ke luar dari Jakarta menuju Rengasdengklok yang merupakan wilayah komando PETA Purwakarta.
Ketika rapat tentang persiapan proklamasi di rumah Laksamana Muda Maeda, Sukarni yang mengusulkan agar teks proklamasi hanya ditanda-tangani Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Pascakemerdekaan Indonesia, Sukarni memprakarsai untuk mengambil alih Jawatan Kereta Api, Bengkel Manggarai, dan stasiun-stasiun kereta api menjadi milik pemerintah RI pada 3 September 1945.
Sukarni turut mengambil alih kantor berita radio yang digunakannya untuk menyiarkan kebijakan pemerintah.
Sukarni pernah bekerja sebagai jurnalis di kantor berita Antara (Domei) menikahi Nursyiar Machmud, gadis Minang, puteri kepala Perusahaan Kereta Api Negara di Lhokseumawe, Aceh. Dari pernikahan itu, Nursyiar dan Sukarni dikarunia lima orang anak. Mereka adalah Luhantara, Kumalakanta, Parialuti Indarwati, dan Goos Murbantoro, serta Emalia Iragiliati.
HENDRIK KHOIRUL MUHID