Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

'Tentara Kampus' Sampai di Sini Saja

Setelah berbagai insiden kekerasan di kampus-kampus, Resimen Mahasiswa dibubarkan. Sebuah keputusan yang terlambat.

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAH, pacaran makin asyik nih, kata seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), nyengir. Maklum, Resimen Mahasiswa (Menwa) sudah dibubarkan. Dan menurut mahasiswa UGM yang ogah disebut namanya itu, pada masa lalu tentara kampus di UGM suka usil menangkap mahasiswa yang lagi bermesraan di kampus. Nah, kalau Menwa bubar, tak ada lagi cerita ''tertangkap basah". Adalah Menteri Pendidikan Yahya Muhaimin yang berjasa membubarkan ''polisi antipacaran" itu. Bersama Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono ketika bertemu Kamis lalu, kedua menteri sepakat mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Pendidikan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Dalam Negeri) Tahun 1994, yang mengatur soal Menwa.

Sebetulnya persoalan Menwa bukanlah masalah sepele seperti keterbatasan lokasi pacaran mahasiswa. Konsep Menwa, yang dijuluki ''tentara kampus"—baik karena tingkah maupun seragamnya—adalah sebuah soal kronis yang seharusnya sudah lama dihapus. Bukan saja 'Tentara Kampus' Sampai di Sini Saja

Setelah berbagai insiden kekerasan di kampus-kampus, Resimen Mahasiswa dibubarkan. Sebuah keputusan yang terlambat. karena beberapa insiden di berbagai kampus telah melibatkan kekerasan antara Menwa dan mahasiswa, tetapi juga karena kesan ''militerisasi" di kampus, yang bagi para mahasiswa sudah mengganggu ketenangan kampus.

Contohnya, sebulan silam di Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, terjadi kekerasan yang cukup mengerikan. Nur Huda, mahasiswa fakultas dakwah, ramai-ramai dikeroyok belasan Menwa. Saat itu, Nur, yang bosan menjadi tentara kampus, kepingin bergabung dengan kegiatan karate. Eh, saat pamit, tubuhnya dipukuli dan ditendang beramai-ramai. ''Saya sampai muntah lima kali," tutur Nur.

Ini memang sebuah kasus yang belum tentu mewakili tingkah laku Menwa di kampus lain. Tapi, citra Menwa memang telanjur negatif. Maklum, pake seragam yang mirip-mirip tentara sih, sehingga mau tak mau tingkah lakunya yang ''merasa mengamankan situasi" itu membuat rekan-rekan kampusnya risi. Sebetulnya apa sih gunanya Menwa?

Menurut Brigjen TNI (Purn.) Budi Waluyo, yang menjadi anggota Kelompok Kerja Pengembangan Resimen Mahasiswa, Menwa dibentuk pada masa Orde Lama untuk membendung penyebaran komunisme. Selanjutnya, peran Menwa semakin meningkat terutama karena ABRI (TNI) merasa perlu adanya organisasi kemahasiswaan untuk kepentingan membela negara. Hal ini kemudian dikukuhkan melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menhankam-Pangab/Mendikbud/Mendagri) Tahun 1975 tentang Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa.

Enam tahun silam, terjadi baku hantam di kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta. Saat itu anggota Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam (Himpala) yang didukung ratusan mahasiswa lain bentrok dengan Menwa, hingga terjadi aksi pembakaran markas masing-masing. Peristiwa di Unas itulah yang akhirnya menjadi salah satu pemicu lahirnya SKB Tiga Menteri, pada 1994. Di dalam SKB ini pemerintah malah semakin mengukuhkan peran Menwa dan bahkan menyebutkan bahwa Menwa bertanggung jawab kepada Pangdam atau Komandan Resort Militer (Danrem). Lebih gawat lagi, biaya operasional Menwa menjadi tanggungan perguruan tinggi. ''Sekurangnya, perguruan tinggi harus merogoh uang satu juta rupiah untuk satu orang Menwa per tahun," kata Brigjen TNI (Purn.) Budi Waluyo, yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor Universitas Pancasila.

Akibatnya, Menwa tampak seperti ''warga istimewa" di kampus. Tak mengherankan, peristiwa Nur Huda sebulan silam melahirkan gelombang protes anti-Menwa yang meningkat di Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Sebelumnya, secara diam-diam Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri, telah membentuk kelompok kerja untuk menata organisasi Menwa. Akhir Maret lalu, kelompok kerja mengusulkan perubahan posisi Menwa dari unit kegiatan mahasiswa khusus menjadi unit kegiatan mahasiswa biasa. Semua perlakuan istimewa terhadap Menwa harus dicabut.

Dan hasil dari protes mahasiswa itu—sekaligus hasil tim kerja itu—yaitu itu tadi: SKB Tahun 1994 dicabut. Akibatnya cukup banyak. Misalnya, di kemudian hari pembinaan Menwa diserahkan sepenuhnya kepada Departemen Pendidikan melalui perguruan tinggi masing-masing. Menwa harus melepas semua atribut militernya, termasuk alat-alat yang dipinjam dari militer. Bahkan, seragam hijau dan baret ungu, yang biasa mereka banggakan, silakan dijadikan kenangan saja. Siapa tahu bisa dibuat cerita untuk anak-cucu.

Kepala Dinas Penerangan TNI, Marsekal Madya Graito Usodo, tampak santai menanggapi pembubaran Menwa. Menurut Graito, hubungan militer dengan Menwa sekadar mengajarkan baris-berbaris. ''Tak lebih dari itu," ujar Graito. Persoalan beres?

Tampaknya belum. Seratus anggota Menwa Jakarta mendatangi Menteri Pendidikan, Rabu pekan silam. Menurut Fransiscus Rudi, Menwa Jayakarta dari Kampus Universitas Persada Yayasan Akuntansi Indonesia (YAI), Menwa Jayakarta menolak pembubaran itu, tetapi, ''tidak menutup kemungkinan reevaluasi, redeposisi, dan redefinisi Menwa," demikian tuturnya kepada TEMPO.

Agung Rulianto, Dwi Arjanto, Tiarma Siboro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus