Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebetulnya persoalan Menwa bukanlah masalah sepele seperti keterbatasan lokasi pacaran mahasiswa. Konsep Menwa, yang dijuluki ''tentara kampus"baik karena tingkah maupun seragamnyaadalah sebuah soal kronis yang seharusnya sudah lama dihapus. Bukan saja 'Tentara Kampus' Sampai di Sini Saja
Setelah berbagai insiden kekerasan di kampus-kampus, Resimen Mahasiswa dibubarkan. Sebuah keputusan yang terlambat. karena beberapa insiden di berbagai kampus telah melibatkan kekerasan antara Menwa dan mahasiswa, tetapi juga karena kesan ''militerisasi" di kampus, yang bagi para mahasiswa sudah mengganggu ketenangan kampus.
Contohnya, sebulan silam di Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, terjadi kekerasan yang cukup mengerikan. Nur Huda, mahasiswa fakultas dakwah, ramai-ramai dikeroyok belasan Menwa. Saat itu, Nur, yang bosan menjadi tentara kampus, kepingin bergabung dengan kegiatan karate. Eh, saat pamit, tubuhnya dipukuli dan ditendang beramai-ramai. ''Saya sampai muntah lima kali," tutur Nur.
Ini memang sebuah kasus yang belum tentu mewakili tingkah laku Menwa di kampus lain. Tapi, citra Menwa memang telanjur negatif. Maklum, pake seragam yang mirip-mirip tentara sih, sehingga mau tak mau tingkah lakunya yang ''merasa mengamankan situasi" itu membuat rekan-rekan kampusnya risi. Sebetulnya apa sih gunanya Menwa?
Menurut Brigjen TNI (Purn.) Budi Waluyo, yang menjadi anggota Kelompok Kerja Pengembangan Resimen Mahasiswa, Menwa dibentuk pada masa Orde Lama untuk membendung penyebaran komunisme. Selanjutnya, peran Menwa semakin meningkat terutama karena ABRI (TNI) merasa perlu adanya organisasi kemahasiswaan untuk kepentingan membela negara. Hal ini kemudian dikukuhkan melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menhankam-Pangab/Mendikbud/Mendagri) Tahun 1975 tentang Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa.
Enam tahun silam, terjadi baku hantam di kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta. Saat itu anggota Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam (Himpala) yang didukung ratusan mahasiswa lain bentrok dengan Menwa, hingga terjadi aksi pembakaran markas masing-masing. Peristiwa di Unas itulah yang akhirnya menjadi salah satu pemicu lahirnya SKB Tiga Menteri, pada 1994. Di dalam SKB ini pemerintah malah semakin mengukuhkan peran Menwa dan bahkan menyebutkan bahwa Menwa bertanggung jawab kepada Pangdam atau Komandan Resort Militer (Danrem). Lebih gawat lagi, biaya operasional Menwa menjadi tanggungan perguruan tinggi. ''Sekurangnya, perguruan tinggi harus merogoh uang satu juta rupiah untuk satu orang Menwa per tahun," kata Brigjen TNI (Purn.) Budi Waluyo, yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor Universitas Pancasila.
Akibatnya, Menwa tampak seperti ''warga istimewa" di kampus. Tak mengherankan, peristiwa Nur Huda sebulan silam melahirkan gelombang protes anti-Menwa yang meningkat di Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Sebelumnya, secara diam-diam Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri, telah membentuk kelompok kerja untuk menata organisasi Menwa. Akhir Maret lalu, kelompok kerja mengusulkan perubahan posisi Menwa dari unit kegiatan mahasiswa khusus menjadi unit kegiatan mahasiswa biasa. Semua perlakuan istimewa terhadap Menwa harus dicabut.
Dan hasil dari protes mahasiswa itusekaligus hasil tim kerja ituyaitu itu tadi: SKB Tahun 1994 dicabut. Akibatnya cukup banyak. Misalnya, di kemudian hari pembinaan Menwa diserahkan sepenuhnya kepada Departemen Pendidikan melalui perguruan tinggi masing-masing. Menwa harus melepas semua atribut militernya, termasuk alat-alat yang dipinjam dari militer. Bahkan, seragam hijau dan baret ungu, yang biasa mereka banggakan, silakan dijadikan kenangan saja. Siapa tahu bisa dibuat cerita untuk anak-cucu.
Kepala Dinas Penerangan TNI, Marsekal Madya Graito Usodo, tampak santai menanggapi pembubaran Menwa. Menurut Graito, hubungan militer dengan Menwa sekadar mengajarkan baris-berbaris. ''Tak lebih dari itu," ujar Graito. Persoalan beres?
Tampaknya belum. Seratus anggota Menwa Jakarta mendatangi Menteri Pendidikan, Rabu pekan silam. Menurut Fransiscus Rudi, Menwa Jayakarta dari Kampus Universitas Persada Yayasan Akuntansi Indonesia (YAI), Menwa Jayakarta menolak pembubaran itu, tetapi, ''tidak menutup kemungkinan reevaluasi, redeposisi, dan redefinisi Menwa," demikian tuturnya kepada TEMPO.
Agung Rulianto, Dwi Arjanto, Tiarma Siboro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo