KEGEMARAN Presiden Abdurrahman Wahid membentuk berbagai dewan atau tim untuk mengatasi masalah yang dihadapinya terus saja bergulir. Rabu pekan lalu, misalnya, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dilantik Jaksa Agung Marzuki Darusman di Istana Negara. Kelompok berkekuatan 25 orang ini dipimpin oleh bekas Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo Soetjipto, dan diberi wewenang penyidikan yang cukup besar melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000.
Wewenang itu di atas kertas sungguh hebat: tim dapat meminta keterangan dari bank tentang keuangan tersangka, mengeblok simpanan itu, membuka dan menyita surat, melakukan penyadapan, mengusulkan pencekalan, dan memberi rekomendasi untuk memberhentikan sementara seorang tersangka dari jabatannya.
Selain dipimpin oleh seorang tokoh yang dikenal integritasnya, TGPTPK mempunyai sederetan bintang di dalam tubuhnya. Tokoh masyarakat yang terkenal vokal, seperti Prajoto dan H.S. Dillon, tercatat sebagai anggota. Acara pelantikannya pun dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan para anggota Kabinet Persatuan Nasional dan—tentu saja—juga para kuli tinta, yang kemudian memberitakan peristiwa ini besar-besar di media massanya masing-masing. Sebagian besar di antaranya dilengkapi dengan komentar yang menyiratkan harapan tinggi pada kinerja tim yang terdiri dari para tokoh terhormat dan teruji integritasnya itu.
Harapan tinggi. Adakah yang salah dari sikap seperti itu? Tentu tidak, asal siap mental juga untuk kecewa. Masalahnya, pembentukan tim antikorupsi seperti ini bukanlah yang pertama kali. Pada awal Orde Baru, 1967, Presiden Soeharto pernah membentuk Tim Pemberantasan Korupsi di bawah pimpinan Jaksa Agung Soegih Arto. Tiga tahun kemudian, dibentuk Komisi Empat yang terdiri dari Wilopo, Anwar Tjokroaminoto, Prof. Ir. Johannes, dan Mayjen Sutopo Yuwono untuk tugas serupa. Beberapa tahun kemudian, para aktivis mahasiswa saat itu, seperti Akbar Tandjung dan Asmara Nababan, membentuk Komite Antikorupsi. Bahkan, pada 1977, sempat digelar Operasi Tertib (Opstib), yang dibentuk dengan publikasi tinggi tapi kemudian tak terdengar lagi kegiatannya hingga dianggap perlu menghidupkan kembali Tim Pemberantasan Korupsi, pada 1982.
Lantas, bolehkah diramalkan bahwa nasib TGPTPK akan sama seperti berbagai tim antikorupsi sebelumnya itu? Jawabannya tergantung pada kemampuan kelompok ini, dukungan pemerintahan Gus Dur, dan kerendahhatian untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Salah satunya adalah keyakinan bahwa tim ini tak akan berfungsi tanpa bantuan masyarakat luas melalui mekanisme pemberdayaan, antara lain dengan membuat perangkat hukum yang tidak hanya melindungi saksi, tapi juga memberikan hadiah bila kesaksiannya itu menyelamatkan harta publik, seperti yang diatur oleh Whistle Blower Act di Amerika Serikat. Selain itu, juga keberanian moral untuk memberi maaf serta kekebalan hukum bagi pelaku korupsi kelas teri yang mau bertobat dan bersedia menjadi saksi untuk membawa koruptor kelas kakap ke pengadilan.
Soalnya, ada pepatah, untuk memancing ikan besar, harus mau memasang umpan ikan kecil. Ibarat kata para pakar manajemen, kalau hanya mau memberi umpan kacang, yang didapat juga hanyalah seekor kera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini