Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus Texmaco telah bergulir hampir enam bulan, dan secara tak terduga-duga klimaksnya malah berupa surat penghentian penyidikan perkara (SP3) yang diterbitkan oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. Dengan SP3 itu, Marimutu Sinivasan tidak lagi berstatus tersangka dan tidak dicekal. Baginya, ini kado yang luar biasa.
Tapi, bagaimana Jaksa Agung bisa menerbitkan SP3, padahal alasannya lemah, baik dipandang dari sisi hukum maupun dari sisi akal sehat? Temuan tiga auditor dari BPKPyang menyatakan belum terjadi kerugian negara dalam kaitan dengan kredit Texmacoseperti memanipulasi fakta yang ada. Tampaknya, tiga auditor itu membatasi kajian hanya pada angka. Atau tepatnya pada rasio kewajiban Texmaco per Desember 1999, yang tercatat Rp 8,1 triliun, sedangkan nilai seluruh asetnya Rp 16,2 triliun. Lalu disimpulkanlah bahwa Texmaco tak bermasalah.
Padahal, minimal ada dua masalah: pertama, pelanggaran akad kredit prapengapalan yang dilakukan Sinivasan; kedua, sikap elite politik yang tidak sungguh-sungguh committed pada penegakan hukum. Di mata rakyat, yang dipertaruhkan adalah momentum penegakan hukum, tapi di mata elite politik, barangkali yang dipertaruhkan adalah kekuasaan, kepentingan pribadi/kelompok, juga tiket yang harus diperoleh dalam pemilihan umum 2003. Para wakil rakyat memang membenarkan bahwa rasa keadilan masyarakat harus diutamakan, karena itu kasus kredit Texmaco harus dikaji ulang. Tapi, syaratnya, kajian itu dilakukan kelak, jika ditemukan bukti baru. Jadi, semakin jelas, wakil-wakil rakyat pun tidak benar-benar committed pada penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat itu.
Tapi katakanlah rasa keadilan masyarakat terlalu abstrak, tidak terukur, sehingga tetap diperlukan hal yang lebih konkret. Nah, ketika Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa saham negara di Texmaco sebaiknya dikurangi menjadi 52 persen saja, marilah kita dengan bodoh bertanya, Texmaco yang mana? Kalau yang dimaksud PT Texmaco Perkasa Engineering Tbk., di perusahaan ini tak ada saham pemerintah. Yang ada saham milik PT Multikarsa Investama, Multi Tree Ltd. Hong Kong, dan publik (15,14 persen). Padahal, ketika menyebut-nyebut Texmaco, Gus Dur mengacu pada flag carrier Indonesia di bidang otomotif itu. Nilai aset Texmaco Perkasa Rp 4,27 triliun, sedangkan beban utangnya Rp 3,26 triliun. Bandingkan dengan Texmaco Jaya (bisnis tekstil), dengan nilai aset Rp 1,37 triliun dan beban utang Rp 1,20 triliun. Di perusahaan tekstil inilah, pemerintah memiliki saham 75,8 persen, publik 24,19 persen. Marimutu sendiri tak punya saham di sini. Satu hal lain lagi: digembar-gemborkan bahwa Grup Texmaco mempekerjakan 50.000 orang, padahal jumlah total pekerja di sembilan perusahaan Grup Texmaco, per akhir 1998, paling banyak 15.000 orang.
Dengan piutang pemerintah di Grup Texmaco Rp 16,5 triliun, Gus Dur mengusulkan agar piutang itu disetarakan dengan saham minimal 52 persen. Tentang ini, marilah bertanya lagi: kok cuma sekian, apa tidak semestinya lebih besar? Atau, apa bukan lebih aman kalau pemerintah tetap berada di luarsaham di Texmaco Jaya juga dilepas sajadan Sinivasan dipersilakan mengundang pihak lain masuk. Soalnya, selain birokrasi kita lemah dalam moralitas dan manajemen, nilai riil aset Texmaco juga meragukan. Namun, di luar itu masih ada satu alasan yang jauh lebih kuat, yakni, pemulihan ekonomi perlu dana tunai, pertama untuk rakyat, kedua untuk rakyat, ketiga, juga untuk rakyat. Flag carrier? Ah, nanti saja, kok repot-repot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo