KONSULAT RI di Amsterdam ter letak di Brachthuijstraat. Jalan
ini tidak panjang, hanya sekitar 100 meter saja. Tidak jauh dari
taman Vondel yang kini tidak mempunyai penghuni karena semua
tanaman gundul dan cuaca dingin menusuk tulang. Gedung konsulat
mempunyai lantai 4. Dipakai untuk Sekolah Indonesia (SD dan
SMP), Nitour, Intras dan konsulat sendiri. Palin atas ada aula
di mana sering diadakan pesta-pesta untuk kepentingan konsulat
atau perusahaan yang berkantor di situ.
Kejadian penyanderaan 7 orang Maluku ini cepat sekali. Bustomi
yang baru pertama kali ditempatkan di luar negeri oleh Deplu
memang mendengar ada yang berkata: "Eh, lihat ada orang mbon
kemari". Bustomi menjawab: "Ah, di sebelah situ kan juga ada
Ambon". Berkantor di tingkat II, sekitar jam 12.00 siang itu
baru saja mereka selesai mengadakan patungan untuk beli lotre.
Pembajak masuk dan yang ada di dalam tidak bisa keluar. Dua
orang anaknya yang bersekolah di situ turut tersekap, tapi
Bustomi sendiri berhasil keluar lewat jendela dengan
mempergunakan talirami pengikat surat-surat. Selamat dengan
tulang telapak kaki retak. Frans Maramis, pegawai lokal
konsulat, yang sekitar jam 10.00 pagi sudah berangkat untuk beli
lotre ("karena takut habis") kembali lagi ke kantor sekitar jam
12.00. Belanda di seberang konsulat berteriak: "He, jou, komt
hier! Niet naar binnen". Frans malah maki-maki Belanda tersebut
Setelah membuka pintu konsulat tidak bisa terbuka, ia berteriak
kembali: "What is er?" Si Belanda mengatakan bahwa konsulat
sudah diduduki oleh orang RIS. Sepuluh menit kemudian banyak
orang sudah tahu bahwa konsulat RI diduduki orang-orang RMS.
Sampai 361 Jam.
Toko Mati Rezeki
Daerah sekitar konsulat terus ditutup. Polisi, 150 marine, 12
penembak ulung, pasukan anti gerilya, tank, aparat pendengar
semua dipasang dan berjaga-jaga mirip ada perang. Daerah
tersebut adalah daerah tempat tinggal di pertokoan. Toko mati
rezekinya dan mereka yang tinggal di sekitar konsulat diliputi
ketakutan. Polisi melarang gerakan mereka keluar masuk rumah,
kain tirai harus ditutup, lampu tak boleh dinyalakan pada malam
hari. Bagi mereka yang mempunyai jendela strategis ke arah
konsulat, asal saja tidak dimonopoli oleh pihak keamanan, bisa
menyewakan jendelanya pada para wartawan. Hotel atau katakanlah
losmen Cok tiba-tiba jadi terkenal. Di losmen ini keluarga yang
disandera menanti. Siang dan malam. Bahkan ada yang menginap.
Juga para wartawan dari beberapa negara. Bar Cok jadi laris.
Pesawat telpon apalagi. Semua menanti peristiwa menyerahnya
ketujuh RMS tersebut. "Kita semua hanya menanti kejadian 5 menit
saja", kata wartawan Het Parool. Di dalam losmen Cok bosan dan
jenuh, di luar cuaca dingin bukan kepalang.
Tanggal 19 Desember jam 12.00 penyanderaan selesai. Keluarga
dan yang disandera berderai air mata. Tujuh RMS digiring ke
kantor polisi dan 75 orang yang jadi sandera selama 16 hari
dibawa ke Jawatan Kesehatan Kota. "U mau apa lagi? Mau minum
apa?" tanya Pegawai Kesehatan pada semua yang hadir dalam
ruangan besar. Mereka adalah yang disander dan para keluarga.
Orang-orang RMS memperlakukan mereka baik sekali", kata Dubes
Sutopo Yuwono. "Bahkan ketika Saka dibawa ke rumah sakit ada di
antara mereka yang menangis dan berkata: kamu jangan mati ya".
Tambah Sutopo: "Ini buktinya mereka tidak mempunyai organisasi
yang baik. Maksud saya kalau orang-orang PLO tidak pernah
mengadakan hubungan dengan yang disandera, sebab sebagai
manusia, dia nanti akan lemah". "Saya sembunyi di kantor saya,
tingkat III", kata Panji Ashari, pegawai bagian Penerangan
konsulat. Panji bisa sembunyi sampai 3 hari. "Lemes-sih, tapi
kalau haus saya tahan", katanya. Saking capenya Panji tertidur.
Bujang yang akan menikah dengan gadis Belanda ini ngorok
mungkin ngoroknya keras sekali, sampai dia ketahuan. "Keadaan
yang sudah baik, jadi tegang lagi". Kata nyonya Nunuk Rahardjo,
"gara-gara mereka menemukan Panji". "Kami dikumpulkan dalam satu
kamar besar. Kamarnya Pak Konsul", kata Suhirman manager Nitour
Belanda. "Yang perempuan dibaris di dalam dan yang laki dibaris
dekat jendela. Katanya biar kalau ada apa-apa laki-laki dulu
yang berada di depan. Kami cukup makan. Bahkan ada yang tanya:
siapa mau tambah ? Rokok boleh minta apa saja, toh mereka
tinggal pesan lewat polisi". Dua kali mereka bisa merasakan nasi
goreng karena ada dua sandera yang ulang tahun." Tapi brengsek,
masa kita disuruh cuciin bajunya mereka", kata Nunuk. Nus
Sumarno yang dijadikan kepala dari yang disandera bahkan harus
mengatur kebersihan ruang dan kamar mandi. "Kami boleh mandi
selama 10 menit, 2 orang", kata Nunuk.
Sulit Dijaga
Kantor konsulat ini memang sulit dijaga. "Karena ada kantor lain
di situ juga", kata Sutopo Yuwono. rambah Pak Topo:
"Mudah-mudahan saja Jakarta akan memberikan kami biaya setelah
kejadian ini, sebab unluk beli tralies saja kami tidak ada
biaya. Padahal penyanderaan itu hanya persoalan beberapa menit
saja. Kalau si penyandera sudah masuk, biar di luar ada satu
batalyon, toh tidak bisa apa-lpa. Di samping pemerintah Belanda
teledor, sebab sudah ada Beilen, kita kok tidak dijaga". Sampai
Januari ini, konsulat belum lagi kembali bekerja. Semua
mengadakan kegiatan di rumah Konsul Jenderal yang kini dijadikan
kantor. Tentu dengan penjagaan tentara dan karung pasir dan
tank. Konon pegawai lokal -- baik yang disandera naupun yang
selamat berada di luar - hingga akhir Desember belum digaji
penuh. Tidak ada uang, dengan janji nanti akan digaji sisanya
kalau uang dari Jakarta sudah tiba. Sementara di setiap rumah
pegawai home staff setiap hari dan malam dijaga oleh paling
tidak 2 orang polisi Belanda. Setiap jam 11 00 dan 11.00 malam,
ganti jaga. Rumah-rumah di Belanda jarang yang luas. Jadi bisa
dibayangkan bagaimana rikuhnya memr nyai ruang duduk yang
selalu ada Polisi siang malam. Pak Slamet sekretaris Dubes
Sutopo Yuwono dengan guyon berkata: "Rasanya malah kita yang
jadi tawanan sekarang". Sampai kapan rumah homestaff diinapi
polisi? Jawab yang lain: "Sampai keadaan dirasa aman".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini