Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pagar laut berupa jajaran bambu terlihat ditancapkan di lepas pantai sepanjang 30,16 kilometer di wilayah Kabupaten Tangerang, Banten. Keberadaanya kini menjadi pembicaraan setelah para nelayan mengeluh karena merasa dirugikan. Terlebih, usai diusut, ternyata pagar laut tersebut tak berizin serta belum diketahui siapa pelopor pembuatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok masyarakat yang menamakan diri Jaringan Rakyat Pantura (JRP) kemudian muncul dan mengaku merekalah yang membangunnya. Masyarakat setempat disebut patungan untuk mendirikan pagar pencegah abrasi itu. Di sisi lain, klaim itu diragukan. Sebab, biayanya ditaksir mencapai belasan miliar rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo merangkum sederet fakta pagar laut di perairan Tangerang tersebut:
1. Lokasi pagar laut
Pagar bambu itu melintasi 16 desa di enam kecamatan dan berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai. Terbentang di tiga desa di Kecamatan Kronjo, tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri, tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, dan dua desa di Kecamatan Teluknaga.
Walau diterjang ombak, pagar bambu itu tetap kokoh. Di atas cerucuk bambu ada rakitan bilah-bilah bambu yang diikat tali. Rakitan bambu itu kokoh ketika diinjak. Meski sedikit bergoyang, galar bambu tetap kuat menopang empasan ombak di kaki-kaki cerucuk itu.
2. Diprotes nelayan
Nelayan yang tinggal di Kabupaten Tangerang sempat memprotes pembangunan pagar laut misterius yang belum diketahui pemilik dan pembangunnya. Nelayan tersebut mengatakan keberadaan pagar laut membuat nelayan setempat kesulitan melaut. Bahkan, kata dia, setiap nelayan harus memutar jauh ke lokasi lain agar bisa mencari ikan.
“Saat kami melaut malam, kami takut kalau kena pagar itu. Kami selalu hati-hati banget kalau lewat,” kata salah satu nelayan di Desa Karang Serang, Kabupaten Tangerang yang enggan disebutkan namanya, seperti dikutip Antara.
3. Bakal dicabut
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti (KKP) Wahyu Trenggono menyatakan pihaknya bakal mencabut pagar laut tersebut apabila tidak mengantongi izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Pihaknya sudah meminta Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) untuk melihat langsung ke lokasi.
“Apabila terbukti tidak mengantongi izin, pihaknya akan melakukan pencabutan terkait pelanggaran izin penggunaan ruang laut itu. Pasti dicabut, artinya bangunan-bangunan yang ada di situ ya harus dihentikan,” kata Sakti.
4. Ilegal
Direktur Jenderal PSDKP Pung Nugroho Saksono atau Ipunk mengatakan pemagaran laut di perairan Tangerang ilegal jika merujuk izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Pagar tersebut berada di Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang diatur Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2023.
Dia mengatakan pemagaran juga tidak sesuai dengan praktik internasional di United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Keberadaan pagar itu berpotensi menimbulkan kerugian bagi nelayan dan merusak ekosistem pesisir.
5. Disegel pemerintah
Sejumlah petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP telah memasang spanduk berwarna merah bertuliskan “Penghentian Kegiatan Pemagaran Laut Tanpa Izin” di atas pagar bambu itu. Penyegelan tersebut dilakukan oleh tim dari KKP yang dipimpin Ipunk.
“Saat ini kami hentikan kegiatan pemagaran sambil terus dalami siapa pelaku yang bertanggung jawab atas kegiatan ini,” kata Ipunk pada Kamis, 9 Januari 2025.
6. Pemerintah telusuri motif pemasangan pagar laut
Usai disegel, KKP juga akan menelusuri motif pemasangan pagar laut itu. KKP masih mendalami fakta-fakta yang berhubungan dengan pembangunan pagar tersebut, termasuk pihak yang bertanggung jawab.
“Tentu kita akan melakukan penelusuran, kira-kira siapa yang memasang, lalu miliknya siapa, tujuannya apa, dan seterusnya,” kata Wahyu melalui keterangan video pada Jumat, 10 Januari 2025.
7. Sudah dibangun sejak September 2024
Penjabat Bupati Tangerang Andi Ony Prihartono mengakui pagar laut dari bambu yang terbentang sepanjang 30,16 kilometer itu diketahui keberadaannya sejak September 2024.
“Sudah lama dan itu pun sejak bulan September 2024 kami sudah melaporkan dan berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, dan itu sudah ditindaklanjuti dengan rapat bersama,” kata Andi di Tangerang pada Senin, 13 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.
8. Disebut ada keterlibatan PIK 2
Seorang sumber Tempo di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebutkan terdapat laporan mengenai keterlibatan Pondok Indah Kapuk atau PIK 2 dalam pembangunan pagar laut di Kabupaten Tangerang. Dia mengklaim mendapat laporan dari warga sekitar pesisir, bahwa wilayah laut yang dipagari akan menjadi bagian dari proyek pembangunan PIK 2.
9. PIK 2 beri bantahan
Manajemen pengembang kawasan PIK 2 membantah telah membangun pagar laut tanpa izin di perairan itu. Perwakilan manajemen PIK 2, Toni, mengklaim pembangunan pagar laut yang terbuat dari bilah-bilah bambu itu tidak ada hubungannya dengan kliennya.
“Itu tidak ada kaitan dengan kita,” kata Toni di Tangerang, Banten pada Ahad, 12 Januari 2025 seperti diberitakan Antara.
Toni menyebutkan tim hukum manajemen PIK 2 akan mengambil tindakan terhadap isu yang berkembang bahwa pagar laut di Kabupaten Tangerang dibangun untuk kepentingan proyek tersebut. Namun, Toni tidak merinci tindakan apa yang akan diambil oleh PIK 2.
“Nanti selanjutnya oleh kuasa hukum yang akan menyampaikan untuk tindak lanjut,” ujar Toni.
10. JRP klaim mereka yang bangun pagar laut
JRP kemudian mengklaim merekalah yang membangun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan itu. Koordinator JRP Sandi Martapraja mengaku masyarakat sekitar ikut membangun. Sandi menyebutkan pagar laut itu berguna untuk mencegah abrasi.
“Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat,” kata Sandi di Tangerang, Banten pada Sabtu, 11 Januari 2025 seperti diberitakan Antara.
11. Biaya pembangunan dari iuran masyarakat
Tak hanya itu, Sandi juga mengklaim dana pembanguna pagar laut itu merupakan kerja gotong royong dan patungan warga. Kendati demikian, pihaknya mengakui tak tahu menahu besaran biayanya. Sebab, kata dia, tidak ada rincian pasti soal total biaya yang dibutuhkan membangun pagar itu.
“Waduh, kalau untuk waktu itu (total biaya) saya belum sampai ke situ ya. Saya hanya coba memberikan informasi, gitu kan,” ujarnya kala dihubungi media, Senin, 13 Januari 2025.
Sandi juga menyebut inisiatif berawal dari solidaritas warga di desa-desa tertentu. Namun, ia tak menjelaskan desa mana saja yang terlibat patungan membangun pagar sepanjang itu. Pun soal jumlah kontribusi patungan yang diberikan masyarakat, ia menyatakan bahwa tidak ada nominal khusus yang dipatok.
“Ya, swadaya masyarakat, masyarakat ini kan banyak ya dan itu sih enggak satu-dua masyarakat kemudian membangun yang katanya panjangnya 30 kilometer itu,” katanya.
12. Biayanya ditaksir tembus belasan miliar
Beredar kabar bahwa biaya pembangunan pagar laut itu ditaksir mencapai sekitar Rp420.000 per meter. Selain itu masyarakat sekitar yang turut membantu pengerjaan dibayar antara Rp100.000 hingga Rp200.000 per harinya. Dari jumlah tersebut, total biaya pembuatan pagar laut di perairan Tangerang itu mencapai Rp15 miliar.
13. Pernyataan JRP dinilai kontradiktif
Pernyataan Sandi ditanggapi politikus Partai Keadilan Sejahtera atau PKS asal Banten, Mulyanto. Pembina Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) itu menyebut pagar laut ini membawa dampak negatif bagi para nelayan. Karena itu, kata dia, pernyataan bahwa pagar laut itu bermanfaat justru kontradiktif.
“Keberadaan pagar laut memaksa nelayan untuk memutar lebih jauh saat melaut, yang pada akhirnya meningkatkan biaya operasional. Secara resmi, mereka menyampaikan keluhan ini kepada Ombudsman RI. Bahkan Ombudsman sudah menghitung kerugian nelayan per tahun,” katanya pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Pihaknya turut menyoroti biaya pembuatan pagar laut yang mencapai nyaris Rp500 ribu per meter alias sekitaran Rp15 miliar secara keseluruhan. Menurutnya, sangat tidak mungkin masyarakat mampu mengeluarkan duit sebanyak itu untuk keperluan publik, yang mestinya merupakan tanggung jawab negara. Apalagi saat ini kondisi ekonomi masyarakat sangat memperihatinkan.
“Mengeluarkan uang sebanyak ini untuk keperluan publik, yang seharusnya menjadi tugas negara, sangat kontradiktif dengan kondisi ekonomi nelayan yang saat ini memprihatinkan,” katanya.
14. Rugikan nelayan belasan miliar
Menurut Ombudsman Republik Indonesia, kerugian yang timbul akibat pembangunan pagar laut di Tangerang diperkirakan mencapai Rp16 miliar. Jumlah tersebut merupakan perhitungan awal dari kerugian yang dialami para nelayan dan petambak yang berada di pesisir tempat pagar laut berdiri.
“Total kerugian itu sekitar Rp16 miliar, selama ada kasus itu,” kata anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, melalui sambungan telepon pada Ahad, 12 Januari 2025.
15. Nelayan sambut baik penyegelan pagar laut
Di sisi lain, nelayan menyambut baik penghentian pembangunan pagar di laut di pesisir Tangerang itu. Harun, nelayan Desa Kronjo, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang misalnya. Harun meminta agar penyegelan pagar laut ilegal itu tak hanya menjadi gimik dari pemerintah untuk sekadar meredam situasi.
“Ya bersyukur atas tindakan tegas dari aparat dan berharap pantainya kembali dibuka akses untuk melaut,” kata dia melalui Whatsapp kepada Tempo Sabtu, 11 Januari 2025. “Nelayan sebenarnya ingin agar pagar bambu tersebut langsung dibongkar saja tidak perlu menunggu batas waktu 20 hari. Khawatir (Cuma) gimik.”
Sapto Yunus, Ayu Cipta, Sultan Abdurrahman, Yudono Yanuar dan Rachel Farahdiba Regar berkontribusi dalam penulisan artikel ini