MASUK ruang sidang Pengadilan Negeri Medan, Kaber Abdul Wahab Silalahi tampak gagah. Bersepatu laras langkahnya terdengar mengentak. Tapi itu tak lama. Kemudian wajahnya kuyu setelah mendengar vonis Ketua Majelis, Hakim Simanjuntak, S.H., pada Sabtu dua pekan lalu. Kaber, 23, dihukum 6 bulan penjara. Menurut Ketua Majelis, Kaber, yang hari itu mengenakan seragam Menwa, sebagai mahasiswa, "Tak seharusnya membikin permusuhan kepada pemerintah RI." Pertimbangan ini bermula dari tindakan Kaber, mahasiswa Fakultas Teknik Tingkat V USU Medan, yang mempertontonkan dua buah surat yang terdiri dari 10 lembar pada September 1984. Isinya: "Apakah Pemerintah RI Sudah Saatnya untuk Jatuh", dan "Waspadalah Terhadap Asas Tunggal". Antara lain, barang cetakan yang sudah berupa fotokopi itu mengungkap, "Ideologi adalah hak Tuhan dan merupakan aqidah. Tapi ini pulalah yang mau direbut Soeharto". Fotokopi ini akhirnya "beranak-pinak" ke tangan Irwan Amin dan Irman Irawan yang memperolehnya dari Kaber, anak bungsu dari 7 bersaudara ini, di Kantor Tkatan Mahasiswa Mesin (IMM) USU Medan. Dari tangan Irman Irawan menyebar lagi ke tangan Bustanto, Hamdani Piliang, dan Hamid Yusuf -- kelimanya adalah mahasiswa USU. Dari Hamid Yusuf, rupanya, fotokopi surat itu menjalar lagi ke tangan seorang familinya, pelajar SMA di Pematangsiantar, 124 km dari Medan. Akhirnya, Korem setempat menangkap fotokopi itu ketika menyebar di kalangan pelajar SMA di kota itu. Kaber, yang dianggap sebagai biang keladi, dibekuk Laksusda Sum-Ut. Ia ditahan selama 70 hari, sejak November 1984. "Jelaslah maksud Kaber agar dokumen itu diketahui orang lain," kata B. Sihite, jaksa yang menuntut Kaber dengan tuntutan 8 bulan penjara. Menurut Sihite, Kaber melanggar pasal 155 (1) KUHP. Dia diancam 41/2 tahun penjara. Ketua Majelis sependapat dengan jaksa. "Jika dia tak mempertontonkannya kepada Irman dan Irwan, tak akan menyebar ke mana-mana," kata Hakim yang juga Humas PN Medan itu kepada TEMPO. Memperkuat pertimbangannya, Hakim mengatakan Kaber telah meminta duit Rp 100 untuk memfotokopi surat itu dari Irwan dan Irman. "Jadi, peranan Kaber aktif," kata Hakim. Kaber tak menerima vonis itu dan banding pada 10 September. "Kapan saya mempertontonkannya," katanya kepada TEMPO. Dia mengaku, Irman dan Irwanlah yang tertarik meminta fotokopi itu. "Saya berikan saja," katanya. Dia menyangkal minta duit Rp 100 itu. "Mana cukup duit Rp 100 memfotokopi 10 lembar dokumen dalam rangkap 2," katanya, tertawa. Maklum, jika pun betul, mestinya memerlukan duit Rp 500 dengan hitungan 1 lembar fotokopi harganya Rp 25 di Medan. "Saya tak memungut duit". Bahkan, sejak itu, Kaber tak lagi memiliki dokumen itu dan tak tahu-menahu, menyebar ke mana-mana. Fotokopi itu sendiri sebenarnya baru dua jam berada di tangan Kaber. Dia menerimanya dari Heldi Mustawa, seorang mahasiswa Fisipol USU. "Saya tak tahu dari siapa Heldi memperolehnya," kata Kaber. Heldi memang tak pernah memberi tahu Kaber dari siapa fotokopi itu berasal. Heldi sebagai sumber pertama tak ikut diadili. "Dia melarikan diri waktu itu," kata Sihite. Melarikan diri? "Ah, dia hingga kini masih kuliah di Fisipol USU," kata Kaber. Mendengar itu Sihite kaget. "Nantilah saya lapori atasan," katanya kepada TEMPO. Menurut Kaber, Heldi tak diadili karena mempunyai seorang famili perwira menengah, di Medan. "Sedang saya hanya anak petani kopi di Pulau Samosir, Danau Toba, sana," kata Kaber, tertawa berderai. Menurut Sihite, tadinya kasus ini hendak dideponir "Dampak politiknya tak bagus jika diadili secara terbuka," katanya. Lalu, kok, diadili? "Atasan kami terpaksa bertoleransi kepada polisi yang menyidik kasus itu," kata Sihite, mengutip alasan atasannya di Kejaksaan Tinggi Sum-Ut. Kaber yang dinilai memusuhi pemerintah itu hanya dihukum ringan 6 bulan. Untuk ini Ketua Majelis punya dalih. "Memusuhi pemerintah, di sini, bukan bermakna subversi," katanya. Melainkan lebih berbentuk perasaan tak senang belaka. "Saya tak pernah memusuhi pemerintah," kata Kaber. Ia telah ikut penataran P4 pola 120 jam pada September 1985. Waktu itu, dia meraih nilai di atas 70. Ini berarti, ia berhak menjadi penatar P4. "Kok, gara-gara dua jam memegang dokumen itu, lalu saya dibilang memusuhi pemerintah," kata Kaber, terkakak-kakak. Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini