TIGA dentuman meriam menggema di udara, menyambut kapal Phinisi Nusantara ketika memasuki perairan False Creek, alur pelayaran Ekspo 86 Vancouver, di Kanada. Senin 15 September ini, tepatnya pukul 04.00 dinihari WIB, kapal yang dirancang Dr. Ing. Sularto Hadisuwarno itu benar-benar menarik perhatian pengunjungnya. Banyak pengunjung, terutama warga Kanada, seakan tak percaya kalau kapal layar tradisionil itu akan tiba dengan selamat. Bahkan Laksamana (pur) Sudomo, menyambutnya dengan penuh haru. Tapi, setelah menghabiskan 59 hari, sejak keberangkatannya dari pelabuhan Muara Baru, Jakarta, 9 Juli lalu, Phinisi Nusantara akhirnya dijual. Presiden Soeharto sendiri sudah menyetujui kapal layar motor itu dijual kepada pihak yang berminat, seperti dikatakan Menteri Tenaga Kerja, Sudomo, seusai melapor di Cendana. Dan, kapal berbobot mati 200 ton itu ditawarkan dengan harga US$ 550 ribu, termasuk peralatan telekomunikasi dan perangkat navigasinya. Namun, jika mau dlbeh tanpa kedua perlengkapan itu, harganya hanya US$ 450 ribu. Ternyata, sudah ada calon pembelinya. Menurut Bondan Winarno, Direktur PT Phinisi Indonesia Raya, calon pembelinya yang serius adalah California Universities of Sailing Institute (CUSI). Kapal itu akan dipakai untuk melatih mahasiswanya dalam mengendalikan kapal layar. "Baru CUSI ini yang cukup kongkret, karena tertulis," katanya. Masih ada peminat lainnya, yakni Royal Vancouver Yacht Club, Hotel Western Bayshore yang ingin mengomersialkan kapal itu. Hotel itu, kata Bondan, sebenarnya sudah punya kapal kayu yang diberi nama Ilaria. Karena banyak sekali peminat yang menyewanya, maka dia ingin membeli sebuah lagi. Tapi, tampaknya, belum ada kepastian dari calon pembeli Phinisi. "Padahal, seharusnya perahu itu laku selambat-lambatnya akhir bulan Oktober depan," kata Bondan Winarno. Jika belum laku, berarti harus nongkrong sampai dengan April tahun depan, menunggu angin baik untuk berlayar pulang. Bondan Winarno agaknya optimistis CUSI-lah pembeli Phinisi Nusantara. Kalau benar, kapal yang bentuknya diambil dari perahu layar suku Bugis, Sulawesi Selatan, ini akan diletakkan di Intercontinental Hotel Marine, sebuah pelabuhan terbaik di San Diego. Hal ini, tentunya, banyak menguntungkan Indonesia. Sebab, orang sana sudah barang tentu ingin lebih mengetahui Indonesia, pembuat Phinisi itu. Sekalipun peminat sudah ada, harga kapal nampaknya terguncang juga oleh devaluasi pekan lalu. "Dengan adanya devaluasi, tentunya akan kita tinjau lagi harganya," kata Bondan. Sambil menaikkan harga, menurutnya, Phinisi bisa ditambahi modal US$ 20 ribu lagi untuk memperindah interiornya. Dengan begitu, Phinisi Nusantara akan berubah menjadi kapal mewah, yang tak kalah dengan yacht-yacht milik raja kapal. Phinisi Nusantara ini model kapal tradisional yang biasa dipakai orang Bugis. Memakai kayu ulin pada bagian dasar yang menjadi sambungan dinding kapal, Phinisi menjadi lebih kukuh. Pakunya pun bukan pasak kayu seperti perahu aslinya, melainkan memakai paku putih terbuat dari pernekel yang antikarat. "Tanpa itu, mungkin Phinisi Nusantara tak bakal sampai di Vancouver," ujar Bondan Winarno. Selain itu, sistem menyambung kayu yang dulu dikenal lelaki dan perempuan, sekarang dibuat menindih. Sehingga, tak lagi terjadi kebocoran yang dulu sering muncul di sambungan yang tradisional. Lebih jauh lagi, Phinisi yang sudah menghabiskan biaya Rp 390 juta itu irit BBM. Sehingga, kalau dioperasikan untuk angkutan penumpang, barang, bea angkutnya menjadi lebih murah ketimbang kapal lainnya. Hanya saja, Phinisi satu ini bukan untuk itu, melainkan sejak semula memang direncanakan untuk dijual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini