SULIYEM bingung dan lantas meradang. Sudah sebulan ini ia dilarang oleh petugas ketertiban kota untuk berjualan es serut dan nasi, barang dagangannya selama ini, di trotoar depan THR Yogya. "Tidak ada penjelasan, kenapa kami dilarang," katanya. Selama 6 tahun berjualan di depan THR, dari pukul 6 pagi hingga pukul 23.00, Suliyem setiap harinya bisa mengantungi Rp 5.000 kotor -- dengan perhitungan untungnya hanya Rp 500 yang harus pula dipotong Rp 50 untuk retribusi siang hari dan Rp 100 retribusi malamnya. "Sekarang, setelah sebulan nganggur, mau makan apa kami ini, apa disuruh makan beling?" Punya tanggungan dua anak yang belajar di SD, Suliyem, 40, adalah satu di antara 30-an pedagang kaki lima depan THR yang Selasa pekan lalu berombongan mengadu ke Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogya. Melalui lembaga ini mereka menuntut penjelasan dan keadilan dari Wali Kota Djatmikanto bekas Dandim Semarang, yang baru lima bulan ini memimpin Kodya Yogya. Rujito, dari LBH UII, kepada Pemda menyodorkan tiga alternatif: membiarkan mereka tetap jualan di tempat, Pemda mencarikan tempat lain yang memadai, atau disediakan kios yang cicilannya murah. "Kalau ini tidak berhasil, kami akan langsung ke Pak Sudomo," kata Rujito. Kabag Pemerintahan Kodya R. Soewarso, seperti dituturkan kembali oleh Rujito, beranggapan tawaran itu masih terlalu dini. Soewarso menghadapi kasus ini tetap bersenjatakan Perda No. 10/1968, tentang tata tertib di sekitar THR -- antara lain, boleh berjualan, tapi kalau ada penggusuran Pemda tak bertanggung jawab. Agak janggal, memang. Mengingat THR pada dasarnya bukanlah kawasan yang terlalu sibuk atau ramai dikunjungi turis, apalagi setelah terminal bis sudah tak lagi di situ. Sementara itu, Malioboro-kawasan padat lalu lintas dan selalu menjadi perhatian para pendatang tetap diramalkan pedagang kaki lima dan kalau malam sampai fajar masih saja penuh dengan warung makan lesehan. Tak pernah ada penjelasan, kenapa ada perbedaan penanganan antara Malioboro dan THR. Penggusuran di THR tersebut menjadi janggal, karena pemerintah pusat sendiri tengah prihatin terhadap sektor informal. Maskan dari kalangan Umwan, budayawan, seniman, dan tokoh masyarakat, juga dari Pusat Penelitian Kebudayaan UGM yang dipimpin Umar Kayam, konon, juga tak disetujui. Kepada Pemda mereka, beberapa bulan lalu, menawarkan penanganan kaki lima secara lebih arif. Dan, dalam kasus THR, Wali Kota Djatmikanto tidak menjelaskan secara tegas alasan penggusuran itu. Kepada TEMPO, Djatmikanto cuma menegaskan, "Kami sadar, kaki lima adalah sektor informal yang menyerap banyak tenaga kerja. Kami sedang mengupayakan pembenahannya secara lebih baik." Di Yogya sejak lima tahun lalu ada Perkumpulan Pedagang Kaki Lima, beranggota 5.000 orang, 500 di antaranya menjadi anggota koperasi. Ketua perkumpulan adalah Cak Fa'i, pemilik warung sate ayam di Jalan Sudirman. Kalau ada peristiwa penggusuran, biasanya Cak Fa'i dilapori, "untuk kemudian kami bereskan," katanya. Artinya, si pedagang akhirnya boleh jualan lagi. Tapi kali ini, orang-orang dari THR itu tidak melapor ke perkumpulan. "Kami sudah kepepet dan bingung, sampai lupa adanya perkumpulan," kata Suliyem. Sampai pekan ini persoalan Suliyem dan kawan-kawan belum tuntas. Pembicaraan LBH UII dengan Pemda belum menghasilkan kata sepakat. Mohamad Cholid, Laporan Syahril Chili & Yuyuk Sugarman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini