Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan empat usulan terkait materi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) penundaan pemilihan kepala daerah (pilkada) akibat wabah Corona.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, Titi mengatakan perpu tersebut harus mengatur implikasi teknis penundaan yang mengakibatkan perubahan aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Titi mencontohkan, salah satu implikasi dari penundaan tersebut ialah ketentuan ihwal masa kerja petugas pemungutan suara (PPS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di UU Pilkada kita, PPS dibentuk enam bulan sebelum hari pemungutan suara. Dengan penundaan ini otomatis juga bergeser," kata Titi dalam diskusi virtual, Ahad, 5 April 2020.
Kedua, Titi mengatakan perpu harus memuat soal jadwal tahapan pilkada setelah penundaan. Namun dia mengusulkan agar penentuan jadwal tahapan pilkada pasca-penundaan diserahkan kepada KPU.
Menurut Titi, perpu sebaiknya mengatur klausul umum saja. "Agar tersedia fleksibilitas terutama di tengah kondisi Covid-19 yang tidak menentu agar kita tidak sering gonta-ganti peraturan," ujar Titi.
Titi mengatakan, Perludem memperhitungkan pilkada paling memungkinkan digelar setelah Juni 2021. Hal ini berdasarkan kalkulasi logis dari segi anggaran, teknis, dan lainnya.
Ketiga, lanjut Titi, perpu juga harus mengatur mekanisme penundaan, misalnya terkait pengembalian anggaran kepada negara. Ia mengatakan pengembalian ini tidak sederhana karena mungkin saja ada proses lelang pengadaan yang sudah berlangsung.
Masih terkait anggaran, Perludem juga mengusulkan agar sumber dana pilkada mendatang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bukan bersandar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, dukungan APBD pun masih dimungkinkan untuk optimalisasi pelaksanaan pilkada.
Titi beralasan, mekanisme penyusunan APBD tidak mudah, apalagi jika terkendala politik di daerah. "Oleh karena itu untuk membuat kebijakan satu pintu, APBN bisa menjadi sumber pilkada, tapi tidak ditutup ruang dari APBD," kata Titi.
Keempat, Titi berpendapat perpu juga bisa memuat ihwal penggabungan pilkada 2021 dan 2022 serta pilkada 2023-2024. Titi menilai hal ini bisa sekaligus mengantisipasi potensi kekacauan elektoral yang mungkin timbul jika wacana pilkada serentak 2024 jadi dilakukan.
"Penundaan ini bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi potensi kekacauan elektoral akibat kebijakan pilkada serentak secara nasional di November 2024," ucap Titi.
Titi mengusulkan, Pilkada 2020 yang mencakup 270 wilayah digabung dengan daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir Juli 2022. Menurut catatan Perludem, setidaknya ada enam provinsi dan 49 kabupaten/kota yang pilkadanya bisa digelar bersamaan.
Adapun daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya setelah Juli 2022 hingga 2024, Titi mengusulkan agar pilkada digelar setelah pertengahan 2022 atau paling lambat awal 2023.
"Ini relevan masuk perpu karena bisa mengatasi situasi genting kalau kita paksakan 2024. Dengan skenario ini lebih efektif, juga bisa menghindari potensi bencana politik 2024," kata dia.
Titi pun mengingatkan agar penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu proaktif ikut memikirkan materi perpu. Sebab, dua lembaga itu yang paling terdampak dari isi perpu penundaan pilkada tersebut.
Titi mengatakan perpu penundaan pilkada ini dibutuhkan dalam kondisi kegentingan wabah corona. Maka dari itu, ia menilai sebaiknya tak terlalu banyak yang hendak diatur lewat perpu, melainkan hal yang mendesak saja. "Karena kemendesakan dan kegentingan, tidak boleh lama dan berlarut-larut, maka ekspektasi soal substansi itu kita harus batasi secara logis," ucap Titi.