PAUS Paulus VI telah menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia.
Namun ajarannya yang berhubungan dengan etika kedokteran dan
moral kehidupan berkeluarga masih aktuil.
Paus yang juga Uskup Roma itu, dikenal sebagai penentang gigih
terhadap cara-cara buatan dalam pembatasan kehamilan
(kontrasepsi), maupun pengguguran kandungan (abortus). Sikap
mendiang itu terkadang memang merepotkan orang Katolik. Apa lagi
karena di negeri asalnya sendiri, Italia, abortus maupun alat
kontrasepsi telah diterina resmi oleh negara -- walau ditentang
keras oleh Paus dan para uskup Italia lainnya.
Di tanah air kita, Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI),
wadah para uskup, memang tak pernah terang-terangan menentang
Paus Paulus ke-VI dalam soal itu. Namun dalam hal KB, MAWI
sebenarnya telah menyediakan satu "pintu belakang" yang
memungkinkan pasangan yang sudah menikah menggunakan alat
pencegah hamil.
Yakni: dalam surat pastoral MAWI menanggapi Ensiklik (Surat
Kepausan) Humanae Vitae (1968) -- di mana Paus melarang
penggunaan kondom, spiral, pil dan sebangsanya -- MAWI
membolehkan para suami-isteri untuk, "dalam situasi tertentu,
sampai pada kesimpulan yang berlainan dengan ajaran Ensiklik."
Dengan syarat: yang berkepentingan berkonsultasi dulu dengan
pastor dan dokter.
RUU Abortus
Kini, 10 tahun setelah Humanae Vitae, ada pula terdengar berita
tentang kemauan untuk memperjuangkan RUU Abortus yang sebenarnya
sudah 8 tahun difikirkan. Alasannya: pertama untuk melindungi
pasien dari bahaya abortus gelap. Dan kedua untuk melindungi
para dokter sendiri, yang masih diancam sanksi hukum oleh KUHP
warisan Belanda yang melarang abortus.
Bagaimana kira-kira sikap para pemimpin Gereja Katolik kita?
Berpegang kuat pada garis Roma, ataukah -- seperti dalam soal KB
-- berpegang sekali lagi pada prinsip casus perplexus? Adapun
prinsip ini berarti: bila petunjuk Roma menimbulkan kebingungan
umat setempat pimpinan Gereja yang bersangkutan boleh mengambil
keputusan yang meringankan.
Menurut Dr Frans von Magnis SY (42 tahun), seorang ahli etika
Katolik yang ditugaskan mendalami urusan KB dan sebangsanya,
"semakin keras alat kontrasepsi dilarang, semakin besar dorongan
untuk menggugurkan kandungan." Logikanya: tidak dibolehkannya
cara-cara buatan untuk mencegah kehamilan, menyebabkan lebih
banyaknya terjadi kehamilan yang tak mereka harapkan. Akibatnya
godaan untuk mencari dokter atau dukun yang dapat menggugurkan
kandungan semakin besar.
Karena itu Pater von Magnis yang juga dosen STF Driyarkara dan
Unika Atma Jaya di Jakarta, tak sependapat dengan Almarhum Paus
Paulus VI yang hanya membenarkan pantang berkala dan coitus
interruptus (jimak terputus). Dalam ceramahnya di Pusat
Pengembangan Etika Atma Jaya yang dikutip koran kampus Atma
Jaya, April/Mei 1978, dia menyebut metode itu "bisa menjadi
amoral." Sebab menurut penyelidikan kedokteran, gairah seksuil
seorang wanita sering berkobar-kobar justru pada hari-hari
suburnya. Ini mungkin sudah diatur Tuhan supaya pada saat sel
telurnya matang, ada sperma yang menjemputnya di rongga-rongga
rahim yang misterius itu.
Nah, justru di masa subur itu, suami-isteri dianjurkan
berpantang seks. "Dilihat dari segi itulah, saya paling
meragukan metode pantang berkala," kata sang pastor.
Juga dalam soal penentuan kapan pengguguran kandungan dapat
dianggap "pembunuhan", von Magnis berbeda pendapat dengan
Vatikan. Katanya kepada George Y. Adicondro dari TEMPO: "Roma
sampai sekarang berpegang pada prinsip, bahwa kehidupan manusia
dalam kandungan bermula dari saat pembuahan."
Prinsip itu memang mirip dengan sumpah Hypocrates, filsuf
kedokteran Yunani, yang berjanji akan melindungi kehidupan
manusia "dari pembuahan s/d kematian." Padahal, walaupun sumpah
Hypocrates terus diucapkan oleh para dokter baru sampai
sekarang, anggapan tentang titik pangkal kehidupan manusia itu
sudah lama dibuang di lingkungan kedokteran sendiri.
Sedikitnya ada tiga pendapat yang populer sekarang tentang
pangkal kehidupan sang janin. Pertama: kehidupan manusia itu
bermula, pada saat diferensiasi sel menuju satu atau beberapa
individu mulai terjadi. Sebelumnya embryo itu hanya mirip buah
murbei, sebesar pentol peniti, akibat pembelahan sel telur yang
sudah dibuahi. Baru setelah melewati taraf morula ini, embryo
memasuki tahap blastula -- pada waktu bola kecil itu mulai
membentuk ari-ari serta lapisan luar, tengah dan dalam, yang
merupakan cakal-bakal anggota badan dan seluruh organ manusia.
Anggapan kedua: janin sudah dapat disebut manusia bila ia sudah
memiliki kesadaran, yang ditandai dengan mulai terbentuknya
sel-sel otak depan (cortex) berikut susunan syarafnya. Stadium
ini, di mana janin sudah disebut fetus, berbarengan dengan mulai
terbentuknya susunan pembuluh darahnya berikut pompanya yang
vital itu: jantung. Dari sinilah orang sampai pada anggapan lain
lagi, yakni anggapan ketiga, yang menyatakan bahwa janin itu
"mulai hidup, bila detak jantungnya sudah mulai terdengar."
Proses kedua itu melewati beberapa minggu, sedang yang ketiga
masuk hltungan bulan.
Paus Yang Baru
Von Magnis sendiri cenderung pada pandangan pertama. Bagi dia
sudah cukup bila morula memasuki stadium blastula, kira-kira 12
hari sesudah pembuahan (adapun pembuahan terjadi sampai
kira-kira 24 jam sesudah jimak). Alasannya "Pada saat itulah
sang janin bukan lagi sekedar daging tumbuh, tapi sudah menjadi
seorang persona, seorang individu yang utuh walaupun dalam ujud
yang masih sederhana sekali. Mulai saat itulah hak hidupnya
sudah harus dilindungi."
Nah. Kalau paus yang akan dipilih nanti mau menerima pandangan
awal kehidupan janin pada hari ke-12 sesudah pembuahan, dan
meninggalkan ajaran klasik tentang kehidupan yang dimulai di
saat pembuahan, bagi von Magnis sudah satu kemajuan besar.
"Sebab keberatan Paus Paulus terhadap alat kontrasepsi tertentu
juga dilandasi anggapan, bahwa spiral atau pil itu menggugurkan
sel telur yang sudah dibuahi. Jadi dianggapnya sama dengan
pembunuhan manusia," kata ahli filsafat itu lagi. (Sekedar
perbandingan: di kalangan orang Islam ada satu riwayat di mana
Nabi Muhammad diyakini sebagai mengatakan, bahwa janin baru
dinamakan mendapat ruh setelah waktu 3 x 40 hari sejak
pembuahan. Jadi sebelum itu makhluk tersebut tentunya belum
seorang manusia yang hidup).
Von Magnis sendiri lalu hanya bisa membenarkan pengguguran --
sesudah 12 hari -- semata-mata bila nyawa si calon ibu terancam
oleh kelahiran bayi tersebut. Bahkan walaupun bayi itu
dikuatirkan akan lahir cacad fisik atau mental, misalnya,
sehingga lebih baik digugurkan saja, ditolak von Magnis.
Sikap Munafik
"Legalisasi pengguguran kandungan di Barat," selanjutnya,
"sering merupakan pencerminan dari sikap munafik masyarakat di
sana," katanya dengan tajam. Termasuk di Jerman Barat, negeri
kelahiran pastor yang fasih berbahasa Jawa itu. Di satu pihak
masyarakat di Jerman sangat toleran terhadap kebebasan seks.
Tapi di pihak lain risiko kehamilan yang sekali waktu toh
terjadi (taroklah karena kondom bocor) tak dapat mereka terima.
Padahal kalau seks sudah dibebaskan, mengapa kehamilan tidak?
Padahal itu akibat logis? Menurut dugaannya, kebebasan seks ala
Eropa Barat itu mungkin juga sudah diidap kelas atas di Jakarta
-- lengkap dengan keengganannya kepada kehamilan. Makanya dia
lebih-lebih melihat kemauan RUU Abortus itu terutama sebagai
"pemenuhan kepentingan kelas atas."
Agaknya ia benar. Meskipun barangkali juga tak lengkap. Sebab
permintaan untuk aborsi kadang-kadang diterima juga oleh
kalangan kedokteran dari anak-anak kelas bawah -- yang mungkin
kurang pandai menggunakan alat-alat pencegahan kehamilan --
entah karena "terpengaruh Barat" entah tidak. Tapi bagi von
Magnis terhitung aneh: mengapa kandungan harus digugurkan,
padahal masyarakat toh bisa menampungnya -- misalnya melalui
lembaga adopsi, baik oleh orang luar atau keluarga sendiri?
Apalagi di kalangan kita sebenarnya masih lebih banyak orang
yang mau memungut anak daripada yang mau melepaskannya.
Di atas segala-galanya, soal bayi bukanlah semata-mata soal
individuil sang wanita -- seperti yang suka dikampanyekan wanita
Eropa, yang bersemboyan: "Jadilah penguasa dalam rahim anda
sendiri." Menurut bahasa sana: Baas in je eigen buik!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini