Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Abortus, sebelum hari ke-12

Dr. frans von magnis sy, 42, tak sependapat dengan alm. paus paulus vi, menentang pembatasan kehamilan dan abortus. von magnis cenderung pada pendapat tentang kehidupan manusia & abortus sebelum hari ke-12.

26 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAUS Paulus VI telah menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia. Namun ajarannya yang berhubungan dengan etika kedokteran dan moral kehidupan berkeluarga masih aktuil. Paus yang juga Uskup Roma itu, dikenal sebagai penentang gigih terhadap cara-cara buatan dalam pembatasan kehamilan (kontrasepsi), maupun pengguguran kandungan (abortus). Sikap mendiang itu terkadang memang merepotkan orang Katolik. Apa lagi karena di negeri asalnya sendiri, Italia, abortus maupun alat kontrasepsi telah diterina resmi oleh negara -- walau ditentang keras oleh Paus dan para uskup Italia lainnya. Di tanah air kita, Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), wadah para uskup, memang tak pernah terang-terangan menentang Paus Paulus ke-VI dalam soal itu. Namun dalam hal KB, MAWI sebenarnya telah menyediakan satu "pintu belakang" yang memungkinkan pasangan yang sudah menikah menggunakan alat pencegah hamil. Yakni: dalam surat pastoral MAWI menanggapi Ensiklik (Surat Kepausan) Humanae Vitae (1968) -- di mana Paus melarang penggunaan kondom, spiral, pil dan sebangsanya -- MAWI membolehkan para suami-isteri untuk, "dalam situasi tertentu, sampai pada kesimpulan yang berlainan dengan ajaran Ensiklik." Dengan syarat: yang berkepentingan berkonsultasi dulu dengan pastor dan dokter. RUU Abortus Kini, 10 tahun setelah Humanae Vitae, ada pula terdengar berita tentang kemauan untuk memperjuangkan RUU Abortus yang sebenarnya sudah 8 tahun difikirkan. Alasannya: pertama untuk melindungi pasien dari bahaya abortus gelap. Dan kedua untuk melindungi para dokter sendiri, yang masih diancam sanksi hukum oleh KUHP warisan Belanda yang melarang abortus. Bagaimana kira-kira sikap para pemimpin Gereja Katolik kita? Berpegang kuat pada garis Roma, ataukah -- seperti dalam soal KB -- berpegang sekali lagi pada prinsip casus perplexus? Adapun prinsip ini berarti: bila petunjuk Roma menimbulkan kebingungan umat setempat pimpinan Gereja yang bersangkutan boleh mengambil keputusan yang meringankan. Menurut Dr Frans von Magnis SY (42 tahun), seorang ahli etika Katolik yang ditugaskan mendalami urusan KB dan sebangsanya, "semakin keras alat kontrasepsi dilarang, semakin besar dorongan untuk menggugurkan kandungan." Logikanya: tidak dibolehkannya cara-cara buatan untuk mencegah kehamilan, menyebabkan lebih banyaknya terjadi kehamilan yang tak mereka harapkan. Akibatnya godaan untuk mencari dokter atau dukun yang dapat menggugurkan kandungan semakin besar. Karena itu Pater von Magnis yang juga dosen STF Driyarkara dan Unika Atma Jaya di Jakarta, tak sependapat dengan Almarhum Paus Paulus VI yang hanya membenarkan pantang berkala dan coitus interruptus (jimak terputus). Dalam ceramahnya di Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya yang dikutip koran kampus Atma Jaya, April/Mei 1978, dia menyebut metode itu "bisa menjadi amoral." Sebab menurut penyelidikan kedokteran, gairah seksuil seorang wanita sering berkobar-kobar justru pada hari-hari suburnya. Ini mungkin sudah diatur Tuhan supaya pada saat sel telurnya matang, ada sperma yang menjemputnya di rongga-rongga rahim yang misterius itu. Nah, justru di masa subur itu, suami-isteri dianjurkan berpantang seks. "Dilihat dari segi itulah, saya paling meragukan metode pantang berkala," kata sang pastor. Juga dalam soal penentuan kapan pengguguran kandungan dapat dianggap "pembunuhan", von Magnis berbeda pendapat dengan Vatikan. Katanya kepada George Y. Adicondro dari TEMPO: "Roma sampai sekarang berpegang pada prinsip, bahwa kehidupan manusia dalam kandungan bermula dari saat pembuahan." Prinsip itu memang mirip dengan sumpah Hypocrates, filsuf kedokteran Yunani, yang berjanji akan melindungi kehidupan manusia "dari pembuahan s/d kematian." Padahal, walaupun sumpah Hypocrates terus diucapkan oleh para dokter baru sampai sekarang, anggapan tentang titik pangkal kehidupan manusia itu sudah lama dibuang di lingkungan kedokteran sendiri. Sedikitnya ada tiga pendapat yang populer sekarang tentang pangkal kehidupan sang janin. Pertama: kehidupan manusia itu bermula, pada saat diferensiasi sel menuju satu atau beberapa individu mulai terjadi. Sebelumnya embryo itu hanya mirip buah murbei, sebesar pentol peniti, akibat pembelahan sel telur yang sudah dibuahi. Baru setelah melewati taraf morula ini, embryo memasuki tahap blastula -- pada waktu bola kecil itu mulai membentuk ari-ari serta lapisan luar, tengah dan dalam, yang merupakan cakal-bakal anggota badan dan seluruh organ manusia. Anggapan kedua: janin sudah dapat disebut manusia bila ia sudah memiliki kesadaran, yang ditandai dengan mulai terbentuknya sel-sel otak depan (cortex) berikut susunan syarafnya. Stadium ini, di mana janin sudah disebut fetus, berbarengan dengan mulai terbentuknya susunan pembuluh darahnya berikut pompanya yang vital itu: jantung. Dari sinilah orang sampai pada anggapan lain lagi, yakni anggapan ketiga, yang menyatakan bahwa janin itu "mulai hidup, bila detak jantungnya sudah mulai terdengar." Proses kedua itu melewati beberapa minggu, sedang yang ketiga masuk hltungan bulan. Paus Yang Baru Von Magnis sendiri cenderung pada pandangan pertama. Bagi dia sudah cukup bila morula memasuki stadium blastula, kira-kira 12 hari sesudah pembuahan (adapun pembuahan terjadi sampai kira-kira 24 jam sesudah jimak). Alasannya "Pada saat itulah sang janin bukan lagi sekedar daging tumbuh, tapi sudah menjadi seorang persona, seorang individu yang utuh walaupun dalam ujud yang masih sederhana sekali. Mulai saat itulah hak hidupnya sudah harus dilindungi." Nah. Kalau paus yang akan dipilih nanti mau menerima pandangan awal kehidupan janin pada hari ke-12 sesudah pembuahan, dan meninggalkan ajaran klasik tentang kehidupan yang dimulai di saat pembuahan, bagi von Magnis sudah satu kemajuan besar. "Sebab keberatan Paus Paulus terhadap alat kontrasepsi tertentu juga dilandasi anggapan, bahwa spiral atau pil itu menggugurkan sel telur yang sudah dibuahi. Jadi dianggapnya sama dengan pembunuhan manusia," kata ahli filsafat itu lagi. (Sekedar perbandingan: di kalangan orang Islam ada satu riwayat di mana Nabi Muhammad diyakini sebagai mengatakan, bahwa janin baru dinamakan mendapat ruh setelah waktu 3 x 40 hari sejak pembuahan. Jadi sebelum itu makhluk tersebut tentunya belum seorang manusia yang hidup). Von Magnis sendiri lalu hanya bisa membenarkan pengguguran -- sesudah 12 hari -- semata-mata bila nyawa si calon ibu terancam oleh kelahiran bayi tersebut. Bahkan walaupun bayi itu dikuatirkan akan lahir cacad fisik atau mental, misalnya, sehingga lebih baik digugurkan saja, ditolak von Magnis. Sikap Munafik "Legalisasi pengguguran kandungan di Barat," selanjutnya, "sering merupakan pencerminan dari sikap munafik masyarakat di sana," katanya dengan tajam. Termasuk di Jerman Barat, negeri kelahiran pastor yang fasih berbahasa Jawa itu. Di satu pihak masyarakat di Jerman sangat toleran terhadap kebebasan seks. Tapi di pihak lain risiko kehamilan yang sekali waktu toh terjadi (taroklah karena kondom bocor) tak dapat mereka terima. Padahal kalau seks sudah dibebaskan, mengapa kehamilan tidak? Padahal itu akibat logis? Menurut dugaannya, kebebasan seks ala Eropa Barat itu mungkin juga sudah diidap kelas atas di Jakarta -- lengkap dengan keengganannya kepada kehamilan. Makanya dia lebih-lebih melihat kemauan RUU Abortus itu terutama sebagai "pemenuhan kepentingan kelas atas." Agaknya ia benar. Meskipun barangkali juga tak lengkap. Sebab permintaan untuk aborsi kadang-kadang diterima juga oleh kalangan kedokteran dari anak-anak kelas bawah -- yang mungkin kurang pandai menggunakan alat-alat pencegahan kehamilan -- entah karena "terpengaruh Barat" entah tidak. Tapi bagi von Magnis terhitung aneh: mengapa kandungan harus digugurkan, padahal masyarakat toh bisa menampungnya -- misalnya melalui lembaga adopsi, baik oleh orang luar atau keluarga sendiri? Apalagi di kalangan kita sebenarnya masih lebih banyak orang yang mau memungut anak daripada yang mau melepaskannya. Di atas segala-galanya, soal bayi bukanlah semata-mata soal individuil sang wanita -- seperti yang suka dikampanyekan wanita Eropa, yang bersemboyan: "Jadilah penguasa dalam rahim anda sendiri." Menurut bahasa sana: Baas in je eigen buik!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus