MAHASISWA tidak mengalami frustrasi. Menurut
WS Rendra. Tapi menjawab pertanyaan seorang mahasiswa dalam
sebuah diskusi halal bihalal mahasiswa se DKI, 23 Oktober yang
lalu, penyair itu menilai, apa yang menjadi sebab keresahan di
kalangan generasi sekarang adalah karena salahnya sistim
pendidikan yang ada. "Generasi 45 telah gagal mendidik
anak-anaknya untuk menjadi calon pemimpin baru", katanya,
"generasi 45 telah gagal menciptakan sistim yang mengontrol
kekuatan mereka".
Dan Direktorat Kemahasiswaan P&K juga mengakui adanya keresahan
itu. Tentu saja dalam versi yang lain. Dalam hasil evaluasi
bidang kemahasiswaan yang disampaikan pada Lokakarya dan Rapat
Kerja Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Perguruan Tinggi se
Indonesia di Malang, 20 sampai 25 Oktober kemarin, disebutkan
bahwa keresahan terjadi, baik di kalangan mahasiswa maupun staf
pengajar. Bahkan sampai ke kalangan pimpinan perguruan tinggi.
Sumber keresahan itu antara lain: fanatisme yang sempit dan
adanya kepentingan pribadi antara golongan, serta masalah
pemilihan Dewan Mahasiswa (DM), Senat Mahasiswa dan keanggotaan
Majelis Permusyawarahan Mahasiswa (MPM).
Berdasarkan evaluasi itu, 25% mahasiswa menyatakan adanya
keresahan di dalam kampus. Menurut jawaban-jawaban dari kalangan
mahasiswa keresahan tersebut meliputi kalangan antara mahasiswa
sendiri (34,06%), antara staf pengajar (2,19%), antara pimpinan
(2,19%), antara mahasiswa dan staf pengajar (24,17%), antara
mahasiswa dan pimpinan (13,18%), antara mahasiswa, staf
pengajar, dan pimpinan (20,87%) dan antara staf pengajar dan
pimpinan (3,29%). Faktor-faktor yang menimbulkan keresahan, baik
yang datang dari dalam maupun dari luar kampus antara lain:
kegiatan sospol dalam masyarakat, campur tangan pemerintah,
larangan demonstrasi, larangan diskusi, SK Menteri P&K No. 028,
kegagalan olahraga dan lain-lain.
Tidak Stabil
Penilaian Direktorat yang dipimpin Kolonel drs. R. Soedjoko itu,
selain berisi pendapat DM tentang faktor penyebab keresahan,
juga penilaian terhadap kemampuan organisasi DM. Keresahan,
menurut kira-kira 33% DM yang merasakannya, antara lain
disebabkan oleh kekurang-lancaran pembinaan, kurang solidaritas
dan toleransi antara pimpinan, staf pengajar dan mahasiswa,
kurang fasilitas untuk pimpinan dan mahasiswa, serta kurikulum
tidak stabil dan kurang disetujui mahasiswa. Sementara
penilaiannya tentang organisasi DM, selain menyebutkan para
pimpinan DM itu hampir semuanya memiliki jabatan di luar tugas
DM (42,26% pengurus organisasi ekstra universitas, 38,35%
pengurus organisasi kegiatan mahasiswa), juga kemampuan staf DM
dinyatakan 6,8% baik, 80% cukup mampu dan 12,76% kurang mampu.
Tentu saja kertas kerja yang berupa evaluasi itu tidak melulu
menyinggung tentang keresahan. Di samping penilaian terhadap
pelaksanaan program pembinaan kemahasiswaan di masa lalu, target
yang hendak dicapai Lokakarya adalah pembinaan mahasiswa sebagai
sub-sistim dari sistim pendidikan tinggi, identifikasi dunia
kehidupan mahasiswa, serta usaha-usaha yang relevan dengan
pelaksanaan tugas Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan dalam
pelaksanaan tugas pembinaan.
Awam & Amatir
Keempat masalah pokok itu memang telah ditetapkan sebagai topik
yang perlu dibahas pada waktu Rapat Kerja terbatas Pembantu
Rektor III di Yogyakarta, bulan Maret yang lalu. Baru dua kali
menyelenggarakan pertemuan lengkap serupa itu, pihak Pemerintah
masih memerlukan waktu yang banyak dalam mencari pola pembinaan
mahasiswa yang ideal. Meskipun sebenarnya, pihak Direktorat
Kemahasiswaan sudah punya patokan tentang pembinaan mahasiswa --
yang kira-kira dimaksudkan sebagai usaha sadar, berencana,
teratur dan terarah, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
ketrampilan mahasiswa.
Memang belum jelas bentuk pelaksanaan yang bagaimana yang bisa
cocok untuk maksud tersebut. Yang pasti, hal tersebut bukan
merupakan tugas yang ringan. "Tugas yang berat karena berbagai
faktor", tulis M. Soenardi Djiwandono, Pembantu Rektor III IKIP
Malang dalam kertas kerjanya. Menurut Soenardi faktor-faktor
tersebut antara lain adalah bahwa pembinaan itu belum tentu
dimengerti apalagi diterima oleh yang memerlukan pembinaan. Pola
dan pedoman pembinaan masih harus dicari disusun dan
dikembangkan. Kemudian petugas-petugas pembina yang merupakan
tenaga-tenaga awam, amatir dan sering masih berada dalam tingkat
perkembangan serta usia yang tidak berbeda banyak dengan yang
harus dibina. Sementara pada pandangan mahasiswa, titik sentral
seluruh karya pembinaan, "rasanya secara jujur tidak selalu kita
fahami secara mendalam dan tepat mengenai apa siapanya,
potensinya, aspirasinya dan lain-lain", tambah Soenardi. Karena
itu Purek III IKIP Malang berpendapat akan lebih baik bila orang
melakukan tinjauan dan interpretasi terhadap mahasiswa.
Sebagai Mahasiswa
Banyak yang disarankan Soenardi untuk pembinaan mahasiswa itu.
Salah satu alternatif yang dapat ditinjau kemungkinannya adalah
menempatkan unsur pimpinan mahasiswa dalam organisasi pembina,
dengan kedudukan, tugas dan kewajiban yang jelas. Misalnya
dengan menempatkan pimpinan mahasiswa seperti Ketua DM atau
Ketua MPM, atau keduanya, secara ex-officio sebagai asisten
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan.
Saran ini memang belum tentu disepakati mahasiswa. Tapi Menteri
P&K Sjarif Thajeb yang diwakili Dirjen Pendidikan Tinggi Dody
Tisna Amidjajadalam rapat Kerja itu berpendapat, kepada
mahasiswa hendaknya diberikan kesibukan-kesibukan yang dapat
membina mereka dalam pertumbuhan baik sebagai manusia maupun
calon ilmiawan. Menteri juga mengakui, kampus pada hakekatnya
tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Namun pengaruh masyarakat
yang kurang baik perlu dijaga. Itulah sebabnya, menurut Menteri,
SK 028 keluar. "SK 028 itu hanya sekedar formulasi dari keadaan
yang ada", ucap Soedjoko, Direktur Kemahasiswaan P&K. Diakui
dengan adanya SK itu rektor seperti diktator. Dan usaha untuk
menghilangkan gambaran tersebut bukan tidak ada. Misalnya dengan
pertemuan rektor se Indonesia setiap tahunnya. "Tapi kalau
rektornya sendiri tidak mampu menciptakan iklim yang baik, yah
bagaimana", tambah Soedjoko kepada Anshari Thayib dari TEMPO.
"Jadi pimpinan perguruan tinggi nampaknya memang harus siap
dimaki-maki", sela Dr. Ir. Harsono Taroepratjeko, peserta Raker
dari ITB.
Masa Berawan
Dapatkah mahasiswa mengerti maksud pemerintah yang mestinya
bertujuan baik itu? Menurut Soenardi, mahasiwa yang sudah
mendapatkan pendidikan dan pengajaran minimal 12 tahun itu, pada
usia yang minimal 18 tahun, mestinya sudah dewasa dan matang.
Pada taraf perkembangan ini, pada mahasiswa bisa diketemukan
kemauan keras dan idealisme yang tinggi, yang memungkinkan
mereka menjangkau tujuan yang maksimal. Sikap kritis akan
membikin mereka mampu membedakan yang benar dan keliru.
Keberanian yang masih tebal mendorong mereka mengemukakan apa
yang benar. "Dan harapan yang tebal akan masa depannya
memberikan tambahan gairah dan semangatnya untuk berusaha", ujar
Soedjadi.
Pendapat Soedjadi itu ada benarnya, sepanjang memang masa depan
mahasiswa di negeri ini bisa terjamin. Ini bisa dihubungkan
dengan pendapat Prof. Soemitro Djojohadikusurno, Menteri Riset,
yang pernah menyebut, banyak mahasiswa yang berkeinginan cukup
untuk mengembangkan pengetahuannya, terganggu oleh kurang adanya
gambaran yang cukup terperinci mengenai masa depannya serta
perkembangan nasional. Menteri Riset yang pernah menyebut
frustrasi di kalangan mahasiswa hanya sekedar mode itu, memang
menganjurkan agar mahasiswa berusaha mengembangkan diri menjadi
ahli paling baik, paling trampil dalam bidang masingmasing.
"Sebab mereka diperlukan" katanya. Apakah ada jaminan? Soemitro
dengan tegas menjawab tidak ada jaminan-jaminan. "Sebab hal
semacam itulah yang justru dapat menimbulkan frustrasi", katanya
pertengahan bulan lalu. Jadi, nampaknya frustrasi atau keresahan
itu, bukankah bersumber pada masa depan yang berawan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini