Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ada Kampanye Yang Lucu, Ada Yang Tak ...

Suhu politik dalam kampanye kali ini makin memuncak. Kerusuhan terjadi dimana-mana AL.L, pembunuhan yang membawa korban, banyak keanehan dan hal-hal yang lucu.

19 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPANYE pemilu kini memasuki minggu keempat. Ada yang lucu, ada yang tak lucu. Yang lucu misalnya gagasan menyusun rambut wanita dalam bentuk pohon beringin, seperti terjadi di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Atau merias patung dengan poster poster Ka' bah. Atau menguraikan arti PDI dengan P = Pangan, Papan, Pakaian, Pendidikan, Pekerjaan, dan D = Duit, dan I = Iman. Yang tidak lucu bisa seram betul. Laporan kampanye yang direkam berbagai harian ibukota menunjukkan bahwa suhu politik makin bergerak ke atas. Bahkan harian sore Sinar Harapan dalam penerbitannya Jum'at pekan lalu melaporkan telah terjadinya pembunuhan di Sampang Madura 4 Maret lalu. Korbannya Zaini, seorang petugas Hansip. Si pelaku pembunuhan adalah Muhidin, seorang pemuda umur 20 tahun, anggota salah satu partai. Meski tidak menelan korban sebagaimana di Sampang, kerusuhan kecil pun terjadi di beberapa daerah lain. Beberapa rumah penduduk di desa Sawan kecamatan Tejakula kabupaten Buleleng telah jadi sasaran lemparan batu di malam hari. Sebelumnya beberapa kandang sapi penduduk setempat mendadak terbakar. Juga dilakukan pada malam hari. Siapa perusuh itu hingga sekarang tak di "kenal". Anehnya para pelaku pembakaran dan pelemparan itu cukup pandai memilih dan mencari sasaran. Umumnya korban adalah warga PDI. Perahu Digergaji Masih dalam daerah Bali, sejumlah nelayan di desa Jimbaran lebih kurang 11 kilometer selatan Denpasar menemukan beberapa sampan milik mereka telah digergaji dan terpotong dua. Konandan Korem 163 Wirasatya Kolonel Soepadmo mengakui terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam masa kampanye. Sampai kini aparat bawahannya belum dikabarkan berhasil menciduk pelaku-pelaku kerusuhan tersebut. Menyadari situasi dan kemungkinan perlakuan yang lebih buruk yang akan menimpa warganya, ketua umum DPD PDI Bali Cok Sayoga memutuskan untuk tidak mengadakan rapat umum dalam masa kampanye ini. Sikap menahan diri seperti inl juga dilakukan oleh pimpinan PDI Kotamadya Cirebon. "Bukan kami tidak aktif, tapi PDI memakai cara lain", kata ketua PDI Kodya Cirebon kepada TEMPO. Cara lain yang dimaksud yaitu dengan memasang spanduk. "Dengan paksaan demokrasi tidak akan tumbuh dan dengan ditakut-takuti demokrasi akan mati", begitu bunyi salah satu spanduk. Ini tak lain adalah kutipan pidato Presiden di depan DPR Agustus tahun lalu. Tapi dengan cara ini pun pihak PDI tetap dapat teguran petugas. Atas perintah Panitia Pemilihan Daerah, spanduk itu diturunkan. Lain lagi cerita di Pekalongan. Ini menyangkut seorang tokoh. KH Syafi'i Abdul Majid, (65 tahun), ketua Majelis Ulama Kabupaten, ketua Koperasi Ba tik Buaran dan Komisaris GKBI, 11 Maret 1977 diambil dari rumahnya di Pringlangu, Buaran Pekalongan. Seorang letnan yang sudah dikenal baik jam 6.00 pagi datang dengan mobil Kabupaten. Ia menyatakan ada panggilan dari Laksus Semarang. Ia tak membawa surat perintah. Karena itu seorang menantu kiyai melarang dia menuruti ajakan orang yang sudah dikenal itu. Jawab Kyai: "Saya justru ingin tahu apa sebenarnya yang mereka kehendaki". Ia menolak memakai jip plat merah itu. Dan melapor dulu ke Kodim, dan juga Bupati. Mereka di sana menyatakan tidak tahu apa-apa, tapi sebaiknya dipenuhi saja undangan dari Semarang itu. Di Semarang satu hari, kira-kira maghrib sang nyonya yang menemani kiyai dipersilakan pulang - dengan sopir. Wanita itu sambil menangis bilang, Kyai ada di perumahan Jl. Dr. Cipto. "Untuk selanjutnya ia tak boleh dijenguk, tapi boleh dikirim makanan". Ia juga menyatakan, di perumahan itu juga terdapat orang-orang lain yang senasib. Mungkin juga kyai-kyai, tapi ia tidak kenal. Dia "Orang Golkar" Kyai Syafi'i, termasuk pemimpin yang berpengaruh di Pekalongan. Ia dulu wakil Masjumi di DPR Daerah. Selama ini oleh para aktifis Golkar ia dikabarkan sebagai orang Golkar. Tokoh yang moderat itu (yang dalam banyak hal hampir selalu bersuara paling akhir) diam saja. Tapi, sebagai pernah dikatakannya sendiri, ia terus-menerus mendapat pengaduan dari pelosok-pelosok, dari kalangan santri-santrinya yang merasa "dicabut hak azasinya" dalam rangka pemilu dan kampanye. Tak ketinggalan dari sementara orang pemerintah sendiri, misalnya pegawai di satu-dua kecamatan atau kantor agama. Itulah barangkali sebabnya ia merasa perlu "memberi petunjuk". Tidak sekedar menyatakan dirinya bukan warga Golkar, tetapi juga berdiri di mimbar dalam kampanye-kampanye Partai Persatuan. Lalu terdengar desas-desus ia akan "diculik". Pemuda-pemuda pun hampir tiap malam berkerumun berjaga-jaga di jalan di depan rumahnya. Itulah pula sebabnya ia tak mau dibawa dengan mobil oleh orang yang tanpa surat itu. Di Jakarta tak ada desas-desus "culik". Kampanye berjalan dengan santai dari ketiga peserta pemilu. Dengan berbagai cara, pembicara dari masing-masing pihak berusaha menarik perhatian rakyat. Baik lewat prograrn maupun lewat ucapan yang berseloroh. "Nggak peduli presiden, nggak peduli pesinden, nggak peduli jenderal nggak peduli kopral, nggak peduli insinyur nggak peduli tukang bubur, nggak peduli mester, nggak peduli tukang lemper, semuanya sama di depan Ka'bah", kata Haji Hasyim Adnan dalam logat Betawi, menjagoi PPP pada rapat di Cengkareng. Pada kesempatan lain Hasyim Adnan yang pandai pidato itu bertanya "bukankah kalau beli kecap mesti pilih nomor satu?" Tentu maksudnya bahwa PPP itu bukan "kecap", tapi punya nomor urut: satu. Pada hari yang sama di kelurahan Serdang Kemayoran, Golkar menampilkan pembicara Cosmas Batubara, nyonya Adam Malik dan tak ketinggalan penyanyi (pesinden) Sunda Upit Sarimanah. "Pokoknya tidak usah tengok kanan tengok kiri, tusuk saja yang di tengah-tengah. Assooooy", kata Upit Sarimanah yang sudah haji itu. Mohammad Isnaeni dari Partai Demokrasi Indonesia tak ketinggalan menjagoi partainya. Dalam kampanye di lapangan Pasar Burung Jakarta Pusat, bersama tokoh pergerakan nasional yang tangguh, Bu Tri, dan A.P. Batubara, Isnaeni mengatakan bahwa PDI bukan hanya kependekan Partai Demokrasi Indonesia. P berarti pangan, pakaian, pekerjaan dan papan. Sedang D katanya berarti duit. Tanya Isnaeni:"Siapa yang tidak butuh duit?" Adapun I adalah singkatan Iman. Sehingga PDI tak ayal lagi menurut Isnaeni "merupakan harapan rakyat yang tidak bisa diragukan lagi". Tapi umumnya para peninjau meragukan, bisakah PDI mengembalikan kejayaan PNI tempo dulu. Ruslan Abdul Bani, bekas tokoh PNI mengatakan bahwa PDI kini mengalami "kesulitan". Kaum nasionalis moderat dalam PNI dulu, begitu juga simpatisan PNI dalam birokrasi, kini sudah disedot Golkar. Tapi ia menambahkan, bahwa dalam pemilu "ada faktor X" yang sukar diramalkan. Ruslan sendiri tak menyebutkan apa pilihannya nanti. Ia hanya merasa prihatin, bahwa sistim feodalisme otoriterisme dan tradisionalisme sering digunakan kelompok elit untuk mencari suara. Surat Roem Namun agaknya begitulah adat Indonesia. Bahkan tak jarang doktrin agama disebut-sebut. Pendeta Ds. Susilo Djojosudarmo, 60 tahun, misalnya kepada Phill M. Sulu dari TEMPO mengatakan bahwa PDI - meskipun di dalamnya ada unsur Kristen - merupakan gabungan pelbagai ideologi. Domine ini, penulis untuk Sinar Harapon yang pada pemilu 1971 masih ABRI, kini kampanye buat Golkar. Alasan? Ia membacakan Surat Roem dalam Perjanjian Baru (13: I s/d 7). Antara lain: "Hendaklah tiap-tiap orang menaklukkan dirinya ke bawah segala kuasa yang di atasnya itu... Sementara itu, di lingkungan Islam, terkenal dukungan K.H.S. Muhammad Alhabsyi. Di masyarakat Jakarta ia terkenal sebagai Habib Muhammad. Sejak pemilu 1971 ia menyatakan diri masuk Golkar. Kini sudah sibuk berkampanye pula. Ulama pemimpin Islamic Centre Indonesia di Jalan Kwitang Jakarta itu mendatangi beberapa kota Jawa Timur, Madura, Jambi dan Jawa Barat. "Di kampung sendiri", katanya kepada DS Karma dari TEMPO, "jangan kita yang turun". Habib menyatakan tak berkampanye di pengajian atau di mesjid. Selain hal itu katanya tak diperbolehkan oleh peraturan, juga baiknya "jangan campur adukkan agama sama dunia". Dalilnya: orang datang, urusan dunia, tak boleh di mesjid atau di pengajian. Bukan haram, tapi tak baik. Dan kampanye adalah urusan dunia. Ia juga berseru di mana-mana: "Menusuk Ka'bah haram!". Tapi ia tak mengatakan yang haram itu "menusuk tanda gambar". Yang dimaksudkannya adalah Ka'bah yang di Mekah, ujarnya. Bahwa ia tak menyebutkan terang-terangan begitu, sebab menurut dia orang toh sudah tahu Ka'bah cuma di Mekkah. Tentang tanda gambar Ka'bah sendiri, ia kurang setuju bila orang meributkan bahwa itu hasil shalat istikharah. Bagi Habib, shalat istikharah cuma bisa buat meminta pilihan bagaimana berdagang, kawin atau bepergian. Berbeda dari Habib ialah tokoh Islam internasional, Moh. Natsir. Bekas pemimpin partai Masjumi itu sejak partainya bubar tak jadi anggota partai mana pun. Tapi dalam pemilu nanti, "Saya akan memilih tanda gambar Ka'bah dengan motivasi sendiri", katanya kepada Syahrir Wahab dari TEMPO. "Dengan memilih Ka'bah, saya harap tiap yemilih tambah menyadari identitasnya sebagai Muslim dan Muslimah. Isyhadu bianna Muslimun - saksikanlah, bahwa kami orang-orang Islam". Pesan Natsir kemudian: "Juga mereka yang terpilih harus ingat bahwa mereka dipilih ummat Islam, yang mengharapkan agar mereka mementingkan juga kepentingan Islam di samping kepentingan bangsa dan negara pada umumnya".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus