KAMPANYE pemilu kini memasuki minggu keempat. Ada yang lucu, ada
yang tak lucu. Yang lucu misalnya gagasan menyusun rambut wanita
dalam bentuk pohon beringin, seperti terjadi di Jakarta beberapa
waktu yang lalu. Atau merias patung dengan poster poster Ka'
bah. Atau menguraikan arti PDI dengan P = Pangan, Papan,
Pakaian, Pendidikan, Pekerjaan, dan D = Duit, dan I = Iman.
Yang tidak lucu bisa seram betul. Laporan kampanye yang direkam
berbagai harian ibukota menunjukkan bahwa suhu politik makin
bergerak ke atas. Bahkan harian sore Sinar Harapan dalam
penerbitannya Jum'at pekan lalu melaporkan telah terjadinya
pembunuhan di Sampang Madura 4 Maret lalu. Korbannya Zaini,
seorang petugas Hansip. Si pelaku pembunuhan adalah Muhidin,
seorang pemuda umur 20 tahun, anggota salah satu partai.
Meski tidak menelan korban sebagaimana di Sampang, kerusuhan
kecil pun terjadi di beberapa daerah lain. Beberapa rumah
penduduk di desa Sawan kecamatan Tejakula kabupaten Buleleng
telah jadi sasaran lemparan batu di malam hari. Sebelumnya
beberapa kandang sapi penduduk setempat mendadak terbakar. Juga
dilakukan pada malam hari. Siapa perusuh itu hingga sekarang tak
di "kenal". Anehnya para pelaku pembakaran dan pelemparan itu
cukup pandai memilih dan mencari sasaran. Umumnya korban adalah
warga PDI.
Perahu Digergaji
Masih dalam daerah Bali, sejumlah nelayan di desa Jimbaran lebih
kurang 11 kilometer selatan Denpasar menemukan beberapa sampan
milik mereka telah digergaji dan terpotong dua. Konandan Korem
163 Wirasatya Kolonel Soepadmo mengakui terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam masa kampanye. Sampai kini
aparat bawahannya belum dikabarkan berhasil menciduk
pelaku-pelaku kerusuhan tersebut. Menyadari situasi dan
kemungkinan perlakuan yang lebih buruk yang akan menimpa
warganya, ketua umum DPD PDI Bali Cok Sayoga memutuskan untuk
tidak mengadakan rapat umum dalam masa kampanye ini.
Sikap menahan diri seperti inl juga dilakukan oleh pimpinan PDI
Kotamadya Cirebon. "Bukan kami tidak aktif, tapi PDI memakai
cara lain", kata ketua PDI Kodya Cirebon kepada TEMPO. Cara lain
yang dimaksud yaitu dengan memasang spanduk. "Dengan paksaan
demokrasi tidak akan tumbuh dan dengan ditakut-takuti demokrasi
akan mati", begitu bunyi salah satu spanduk. Ini tak lain adalah
kutipan pidato Presiden di depan DPR Agustus tahun lalu. Tapi
dengan cara ini pun pihak PDI tetap dapat teguran petugas. Atas
perintah Panitia Pemilihan Daerah, spanduk itu diturunkan.
Lain lagi cerita di Pekalongan. Ini menyangkut seorang tokoh. KH
Syafi'i Abdul Majid, (65 tahun), ketua Majelis Ulama Kabupaten,
ketua Koperasi Ba tik Buaran dan Komisaris GKBI, 11 Maret 1977
diambil dari rumahnya di Pringlangu, Buaran Pekalongan. Seorang
letnan yang sudah dikenal baik jam 6.00 pagi datang dengan mobil
Kabupaten. Ia menyatakan ada panggilan dari Laksus Semarang. Ia
tak membawa surat perintah. Karena itu seorang menantu kiyai
melarang dia menuruti ajakan orang yang sudah dikenal itu. Jawab
Kyai: "Saya justru ingin tahu apa sebenarnya yang mereka
kehendaki".
Ia menolak memakai jip plat merah itu. Dan melapor dulu ke
Kodim, dan juga Bupati. Mereka di sana menyatakan tidak tahu
apa-apa, tapi sebaiknya dipenuhi saja undangan dari Semarang
itu.
Di Semarang satu hari, kira-kira maghrib sang nyonya yang
menemani kiyai dipersilakan pulang - dengan sopir. Wanita itu
sambil menangis bilang, Kyai ada di perumahan Jl. Dr. Cipto.
"Untuk selanjutnya ia tak boleh dijenguk, tapi boleh dikirim
makanan". Ia juga menyatakan, di perumahan itu juga terdapat
orang-orang lain yang senasib. Mungkin juga kyai-kyai, tapi ia
tidak kenal.
Dia "Orang Golkar"
Kyai Syafi'i, termasuk pemimpin yang berpengaruh di Pekalongan.
Ia dulu wakil Masjumi di DPR Daerah. Selama ini oleh para
aktifis Golkar ia dikabarkan sebagai orang Golkar. Tokoh yang
moderat itu (yang dalam banyak hal hampir selalu bersuara paling
akhir) diam saja. Tapi, sebagai pernah dikatakannya sendiri, ia
terus-menerus mendapat pengaduan dari pelosok-pelosok, dari
kalangan santri-santrinya yang merasa "dicabut hak azasinya"
dalam rangka pemilu dan kampanye. Tak ketinggalan dari sementara
orang pemerintah sendiri, misalnya pegawai di satu-dua kecamatan
atau kantor agama.
Itulah barangkali sebabnya ia merasa perlu "memberi petunjuk".
Tidak sekedar menyatakan dirinya bukan warga Golkar, tetapi juga
berdiri di mimbar dalam kampanye-kampanye Partai Persatuan.
Lalu terdengar desas-desus ia akan "diculik". Pemuda-pemuda pun
hampir tiap malam berkerumun berjaga-jaga di jalan di depan
rumahnya. Itulah pula sebabnya ia tak mau dibawa dengan mobil
oleh orang yang tanpa surat itu.
Di Jakarta tak ada desas-desus "culik". Kampanye berjalan dengan
santai dari ketiga peserta pemilu. Dengan berbagai cara,
pembicara dari masing-masing pihak berusaha menarik perhatian
rakyat. Baik lewat prograrn maupun lewat ucapan yang berseloroh.
"Nggak peduli presiden, nggak peduli pesinden, nggak peduli
jenderal nggak peduli kopral, nggak peduli insinyur nggak peduli
tukang bubur, nggak peduli mester, nggak peduli tukang lemper,
semuanya sama di depan Ka'bah", kata Haji Hasyim Adnan dalam
logat Betawi, menjagoi PPP pada rapat di Cengkareng. Pada
kesempatan lain Hasyim Adnan yang pandai pidato itu bertanya
"bukankah kalau beli kecap mesti pilih nomor satu?" Tentu
maksudnya bahwa PPP itu bukan "kecap", tapi punya nomor urut:
satu.
Pada hari yang sama di kelurahan Serdang Kemayoran, Golkar
menampilkan pembicara Cosmas Batubara, nyonya Adam Malik dan tak
ketinggalan penyanyi (pesinden) Sunda Upit Sarimanah. "Pokoknya
tidak usah tengok kanan tengok kiri, tusuk saja yang di
tengah-tengah. Assooooy", kata Upit Sarimanah yang sudah haji
itu.
Mohammad Isnaeni dari Partai Demokrasi Indonesia tak ketinggalan
menjagoi partainya. Dalam kampanye di lapangan Pasar Burung
Jakarta Pusat, bersama tokoh pergerakan nasional yang tangguh,
Bu Tri, dan A.P. Batubara, Isnaeni mengatakan bahwa PDI bukan
hanya kependekan Partai Demokrasi Indonesia. P berarti pangan,
pakaian, pekerjaan dan papan. Sedang D katanya berarti duit.
Tanya Isnaeni:"Siapa yang tidak butuh duit?" Adapun I adalah
singkatan Iman. Sehingga PDI tak ayal lagi menurut Isnaeni
"merupakan harapan rakyat yang tidak bisa diragukan lagi".
Tapi umumnya para peninjau meragukan, bisakah PDI mengembalikan
kejayaan PNI tempo dulu. Ruslan Abdul Bani, bekas tokoh PNI
mengatakan bahwa PDI kini mengalami "kesulitan". Kaum nasionalis
moderat dalam PNI dulu, begitu juga simpatisan PNI dalam
birokrasi, kini sudah disedot Golkar. Tapi ia menambahkan, bahwa
dalam pemilu "ada faktor X" yang sukar diramalkan. Ruslan
sendiri tak menyebutkan apa pilihannya nanti. Ia hanya merasa
prihatin, bahwa sistim feodalisme otoriterisme dan
tradisionalisme sering digunakan kelompok elit untuk mencari
suara.
Surat Roem
Namun agaknya begitulah adat Indonesia. Bahkan tak jarang
doktrin agama disebut-sebut. Pendeta Ds. Susilo Djojosudarmo, 60
tahun, misalnya kepada Phill M. Sulu dari TEMPO mengatakan bahwa
PDI - meskipun di dalamnya ada unsur Kristen - merupakan
gabungan pelbagai ideologi. Domine ini, penulis untuk Sinar
Harapon yang pada pemilu 1971 masih ABRI, kini kampanye buat
Golkar. Alasan? Ia membacakan Surat Roem dalam Perjanjian Baru
(13: I s/d 7). Antara lain: "Hendaklah tiap-tiap orang
menaklukkan dirinya ke bawah segala kuasa yang di atasnya itu...
Sementara itu, di lingkungan Islam, terkenal dukungan K.H.S.
Muhammad Alhabsyi. Di masyarakat Jakarta ia terkenal sebagai
Habib Muhammad. Sejak pemilu 1971 ia menyatakan diri masuk
Golkar. Kini sudah sibuk berkampanye pula. Ulama pemimpin
Islamic Centre Indonesia di Jalan Kwitang Jakarta itu mendatangi
beberapa kota Jawa Timur, Madura, Jambi dan Jawa Barat. "Di
kampung sendiri", katanya kepada DS Karma dari TEMPO, "jangan
kita yang turun".
Habib menyatakan tak berkampanye di pengajian atau di mesjid.
Selain hal itu katanya tak diperbolehkan oleh peraturan, juga
baiknya "jangan campur adukkan agama sama dunia". Dalilnya:
orang datang, urusan dunia, tak boleh di mesjid atau di
pengajian. Bukan haram, tapi tak baik. Dan kampanye adalah
urusan dunia.
Ia juga berseru di mana-mana: "Menusuk Ka'bah haram!". Tapi ia
tak mengatakan yang haram itu "menusuk tanda gambar". Yang
dimaksudkannya adalah Ka'bah yang di Mekah, ujarnya. Bahwa ia
tak menyebutkan terang-terangan begitu, sebab menurut dia orang
toh sudah tahu Ka'bah cuma di Mekkah. Tentang tanda gambar
Ka'bah sendiri, ia kurang setuju bila orang meributkan bahwa itu
hasil shalat istikharah.
Bagi Habib, shalat istikharah cuma bisa buat meminta pilihan
bagaimana berdagang, kawin atau bepergian.
Berbeda dari Habib ialah tokoh Islam internasional, Moh.
Natsir. Bekas pemimpin partai Masjumi itu sejak partainya bubar
tak jadi anggota partai mana pun. Tapi dalam pemilu nanti, "Saya
akan memilih tanda gambar Ka'bah dengan motivasi sendiri",
katanya kepada Syahrir Wahab dari TEMPO. "Dengan memilih Ka'bah,
saya harap tiap yemilih tambah menyadari identitasnya sebagai
Muslim dan Muslimah. Isyhadu bianna Muslimun - saksikanlah,
bahwa kami orang-orang Islam".
Pesan Natsir kemudian: "Juga mereka yang terpilih harus ingat
bahwa mereka dipilih ummat Islam, yang mengharapkan agar mereka
mementingkan juga kepentingan Islam di samping kepentingan
bangsa dan negara pada umumnya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini