MUSIM angin barat yang tahun ini lebih jelek, seperti 3 tahun
lalu, mestinya berakhir pertengahan Pebruari. Sampai-sampai para
nelayan pulau Seribu hampir tak bisa melaut. Perahu-perahu
pinisi dari Sulawesi Selatan pun, yang biasanya berlabuh di
Kalibaru, minggu-minggu terakhir ini hampir tak kebagian tempat
lego jangkar. Banyak perahu lain menambat ke kade, tak berani
berlayar.
Sebagian merapat ke pelabuhan Pengasingan, wilayah instalasi
Pertamina, sebagian dianjurkan pindah ke Sampur. Ini untuk
menghindari kebakaran, seperti yang pernah terjadi tahun 1971.
Sebuah kapal yang Minggu 6 Maret kemarin angkat sauh dari
Tanjungpriok, di pintu pelabuhan mengurungkan niatnya dan
kembali ke kade. Cuaca memang buruk.
Barangkali itulah sebabnya KM Klingi yang Mestinya berlayar hari
Minggu menunda angkat sauh. Seraya menunggu cuaca baik, mungkin,
buruh-buruh tetap saja men1unggah muatan, selain menurut salah
seorang awak, "kapal sedang ditambal seng karena bocor". Tapi
kapal sudah tampak sarat, bahkan nungging dan miring ke kanan.
Meski begitu, sampai tengah malam muatan dijejal terus, hingga
hampir mencapai pintu kamar awak kapal.
Bir Dan Mobil
Kapal penuh: ratusan peti bir, 600 motor, 15 mobil. Palka pun
penuh terigu, sementara di geladak belakang bertimbun
tiang-tiang besi dan botol-botol angin. Kamar nakhoda pun penuh,
penumpang tak bebas bergerak. Sepasang suami-isteri berikut anak
terpaksa tinggal di kamar mualim.
Senin dinihari jam 01.00, tambang di kade dilepas, sauh
diangkat: KM Klingi milik PT Sriwijaya Raya Lines berlayar dari
Tanjungpriok menuju Belawan. Kapal berbobot 1880 ton DWT
bermuatan 1.520 ton - menurut daftar muatan resmi. Berpenumpang
20 orang ABK (anak buah kapal) yang terdaftar sejumlah 32
(seorang lagi tak terdaftar), 7 kadet pelaut dan 5 calon kelasi
(tak terdaftar).
Berjalan lambat, sekitar subuh, kapal barang ini terpaksa
istirahat dekat pulau Nirwana, mil dari pintu pelabuhan, di
alur pelayaran berkedalaman 40 meter lebih. Jangkar pun dilego.
Agar keseimbangan kapal kembali normal, tangki minyak kelapa
sawit diisi dengan air laut. Sementara para penumpang tidur
lelap, awak kapal sibuk. Seorang koki menyatakan
kekhawatirannya.
Sampai siang, kapal belum lagi berangkat. Penumpang diliputi
rasa jemu dan cemas. Sekitar jam 14.15, O. Dalentang, sang
nakhoda, memutuskan kembali ke pelabuhan. Kapal belok ke kanan.
Tapi pada saat itulah, ombak besar menerjang lambung kanan. Dan
KM Klingi bekas milik KPM yang sudah berusia 39 tahun itu lebih
miring lagi, kemudian terbalik. Lunasnya berada di atas. Dan
perlahan-lahan tenggelam . . .
"Pahlawan Pelaut"
Usaha penyelamatan dilakukan oleh team SAR, terdiri dari kapal
patroli Bea Cukai, Divisi Kepanduan dan KPLP (Kesatuan Penyangga
Laut dan Pantai). Sebuah kapal lepas-pantai milik Amerika
berbendera Panama juga membantu. Empat orang penyelam alam dari
Timor yang bergabung dengan SAR berhasil menemukan jenazah
Mualim Haji Husin, yang oleh para penumpang diangkat sebagai
"pahlawan pelaut", karena "dia banyak menolong penumpang dan
tenggelam bersama kapalnya", ujar mereka.
Hampir semua orang menuding penuhnya muatan sebagai biang-kerok
musibah ini. Tapi syahbandar Tanjungpriok Azwar Nadlar
membantahnya. "Sebelum bertolak, petugas sudah memeriksa segala
dokumen, termasuk berat muatannya", katanya kepada Zulkifly
Lubis dari TEMPO. "Menurut daftar, muatannya hanya 1.520 ton.
Tak mudah mengambil kesimpulan penyebab tenggelamnya kapal
tersebut", tambahnya. Dia pun menguraikan beberapa faktor:
cuaca, jumlah muatan dan cara penyusunan muatan. Yang terakhir
ini penting karena menyangkut stabilitas kapal.
Tentang miringnya kapal yang diduga muatannya lebih, bagi Azwar
"itu tak benar". Katanya, pemeriksaan muatan bukan hanya oleh
Syahbandar tapi juga Bea Cukai - tentu saja secara
administrasi. Dengan kata lain bukan pemeriksaan fisik. "Kalau
setiap kapal yang akan bertolak diperiksa secara fisik,
bisa-bisa kami nanti dituduh overacting", katanya. "Pokoknya
kapal yang sudah clearance, bisa keluar dari pelabuhan".
Sampai Kamis 10 Maret, di antara 20 penumpang, 13 selamat dan 6
orang hilang (seorang sulah ditemukan). Sedang awak kapal yang
berjumlah 45 orang, 2 orang hilang dan 1 orang, yaitu Mualim I
Haji Husin, sudah ditemukan. Mungkinkah nakhoda mendapat hukuman
badan akibat kecelakaan ini?
"Menurut kebiasaan, dia akan dibawa ke Mahkamah Pelayaran
berdasarkan perkara yang diajukan oleh Dirjen Perla", sahut
Azwar. Dan di mahkamah itu, yang disebut hukuman badan tak ada.
kecuali pencabutan izin berlayar. "Itu pun kalau nakhoda jelas
bersalah", tambahnya.
Malapetaka Terbesar
Seminggu sebelumnya, juga terjadi kecelakaan laut: di kawasan
pulau Natuna, kabupaten kepulauan Riau. Kali ini menimpa KM
Terusan Jaya (600 DWT) milik PT Tarempa Jaya yang digeni oleh
PT Pelayaran Cuaca Terang, Tanjung Pinang. Dari 49 penumpang
dan 23 awak kapal, hanya 6 penumpang dan 3 awak yang ditemukan
dalam keadaan selamat. Malapetaka 27 Pebruari itu tak pelak lagi
merupakan yang terbesar dan banyak menelan korban jiwa.
KM Terusan Jaya yang melayari alur tetap Semarang - Pulau Tujuh
- Tanjung Pinang pp, minggu terakhir Pebruari bertolak dari
Semarang, membawa kebutunan sehari-hari hampir seberat 200 tom
Ada beras, gula, barang-barang kelontong, semen. Dari Semarang
mampir Serasan, terus ke Midai menuju Sedanau - pulau-pulau
kecil. Sekitar jam 5 sore, 27 Pebruari itu, Terusan Jaya menuju
Tarempa.
Tapi 41 jam kemudian, sekitar 45 mil dari Sedanau, kecamatan
Bunguran Barat, terjadi kebakaran di ruang mesin. Menurut Saprin
Saleh, nakhoda kapal, kebakaran yang sebab-sebabnya belum
terungkap itu, menjalar begitu cepat. Terdengar pula beberapa
ledakan. Malam gelap dan ombak besar. Para penumpang yang lari
ke buritan justru dikejar oleh api yang menjilat-jilat. Saat
itulah, semua alat penyelamat, termasuk satu-satunya sekoci,
dilempar ke laut.
Kapal sebesar itu yang sebenarnya memiliki seperangkat alat
komunikasi SSB tidak bisa digunakan karena disegel. Dan saat
itu tak seorang pun yang punya akal membuka segelnya, hingga tak
seorang pun yang berusaha mengirim berita SOS minta bantuan.
Sungguh celaka, kapal juga tak menyediakan tenaga markonis. Dan
pada saat kritis seperti itu, tak sebuah kapal pun yang lewat
...
Mayat Sepasang Laki-Bini
Tak munculnya KM Terusan Jaya yang memang ditunggu di Tarempa 2
Pebruari mendorong kontak antara Tarempa dan Sedanau. Selasa 1
Maret, kebetulan kapal motor pencari ikan Bayu II dalam
perjalanannya antara pula Kiabu dan Tambelan menemukan 3 awak
kapal: Saprin Saleh (nakhoda), seorang mualim dan juru masak.
Juga 6 penumpang," di antaranya wanita. Merek inilah yang pada
saat kebakaran lari kehaluan.
Dalam kapal yang sebagian besar hangus dan miring itu, ditemukan
lagi 4 mayat. Di antaranya sepasang suami-isteri dan seorang
anaknya yang masih kecil. Team penolong, 15 kapal kecil termasuk
kapal perintis Cempedak (900 DWT) yang dikerahkan, dengan
susahpayah melawan ombak besar, hampir tak tahan 10 jam merayapi
Natuna. Tapi setelah 3 hari, hanya sebagian kecil penumpang dan
awak kapal yang tertolong.
Sebagian besar di antara yang hangus langsung pada saat kapal
terbakar, diduga sebuah rombongan yang berniat menghadiri
perkawinan di Tarempa. Bahkan mereka membawa sebuah band dari
Sedanau. Dan menurut Pek Gie pengusaha PT Tarempa Jaya, jumlah
penumpang dan awak kapalnya lebih dari 100 orang - dan bukan
hanya 72 seperti tercantum dalam manifes. Apa daya, usaha
pencarian sudah mendekati keputus-asaan lantaran musim yang
jelek. Cempedak sendiri harus segera kemhali ke Tanjungpinang
mengangkut bahan makanan.
Beberapa minggu ini dari Natuna memang sudah terdengar SOS
tentang krisis bahan makanan dan bahan bakar lantaran tak ada
kapal yang nongol. Sional Tarempa sendiri bahkan mengetok kawat
ke Daeral II agar mengirim kapal perang mendrop bahan makanan,
meski di gudang Bulog Tanjungpinang mengeram ribuan ton beras.
Upaya pencarian korban Terusan Jaya memang hanya mungkin dengan
menggunakan armada SAR yang tangguh, setidaknya dengan bantuan
helikopter. Cuma malangnya, pesawat heli yang biasa mangkal di
sana, pada saat musibah itu tak seekor pun yang berada di
posnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini