PENTAS Megawati Soekarnoputri sungguh meriah. Tanpa diduga sekitar 84% cabang mencalonkannya sebagai Ketua Umum PDI. Padahal, sebelumnya mereka telah digarap untuk memilih Budi Hardjono, jago yang sudah lama ''dielus-elus'' Pemerintah. Tampilnya putri Bung Karno di pentas kongres luar biasa itu tentu menarik. Sebab, menurut ''kebiasaan'', calon yang telah direstui Pemerintah pasti jadi. Dalam hal ini, Budi Hardjono yang telah mendapat ''surat sakti'' itu. Namun, mengapa Mega menjagokan diri? Apalagi, ia belum dikenal sebagai politikus yang andal dan piawai. Hanya ada kelebihan, bahwa ia adalah putri Bung Karno, bisa menumpang nama besar almarhum presiden pertama Republik Indonesia itu. Kelebihan ini pula tampaknya yang dimanfaatkan para pendukungnya di PDI memupuk keberanian, ''melawan arus atas''. Dalam kongres di Medan, sebenarnya, mereka telah memilih ketua, yakni Soerjadi. Namun, ia tak disetujui Pemerintah. Dan ini tampaknya yang mendorong bangkitnya ''arus bawah'' PDI, dengan memanfaatkan penampilan Megawati. Namun, orang pun tahu bahwa pemunculannya sebagai ketua PDI kurang dikehendaki oleh Pemerintah. Pro-kontra meluluskan Megawati itu pula yang kemudian memicu kericuhan. Itulah sebabnya Laporan Utama ini dirancang. Bagian pertama, Mega Menang, Mega Dijegal, menampilkan proses penjegalan Megawati. Baik itu dilakukan oleh pesaingnya maupun aparat pemerintah lewat perutusan kongres. Rupanya, kemenangan di floor tak selamanya menjadi kenyataan. Kegiatan kongres yang penuh pesanan dan pertikaian itu tentu tak luput dari pemantauan sejumlah aparat pemerintah. Boks Memonitor Tanda-Tanda Zaman menggambarkan kesibukan sejumlah aparat pembina sosial-politik dari berbagai daerah, memonitor jalannya sidang. Dari situ rupanya berbagai keputusan, desakan, dan pesanan dikirim ke ruang sidang. Bangkitnya pendukung Megawati tentu tak lepas dari nama besar Bung Karno, ayahnya. Apa di Balik Mega menyajikan sekilas jejak-langkah anak-anak Bung Karno di masyarakat tak mesti untuk politik. Terkesan ada kekhawatiran bahwa nama besar Bung Karno yang melekat pada mereka ini bisa-bisa dimanfaatkan menjadi simbol untuk memunculkan dukungan emosional. Kongres yang ricuh itu bisa jagi juga akan menajamkan kubu- kubu. Kelompok-kelompok dalam partai ini walau ada yang menamakan diri Kelompok Persatuan dan Kesatuan segala kiranya tetap saja akan menjadi biang perpecahan (Partai dengan Sekat- Sekat). Kalau ditelusuri, perpecahan atau konflik dalam tubuh PDI itu tak lepas dari interes pribadi sekelompok elite yang ingin berkuasa, di samping, campur tangan pemerintah. Untuk menyatukan kubu-kubu yang sudah tersekat-sekat, tampaknya PDI membutuhkan ketua yang diterima dan didukung semua pihak. Bisakah Mega? A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini