MEGAWATI Soekarnoputri sungguh menjadi bintang dalam kongres luar biasa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Surabaya. Dalam pemandangan umum sepanjang hari Sabtu lalu, 84% perutusan mencalonkan putri kedua Bung Karno itu sebagai ketua umum. Dari 305 cabang, 256 menjagokan Mega dan mengusulkan pencalonan lewat pemilihan langsung alias voting. Megawati boleh dikatakan telah memenangkan pemilihan, dan mengalahkan pesaingnya, Budi Hardjono. Paling tidak di arena kongres yang berlangsung 2-6 Desember itu. Pendukungnya, baik di dalam maupun di luar kongres, tampak mengelu-elukan putri kedua presiden pertama Republik Indonesia itu. Namun, pemandangan umum bukanlah puncak kongres. Megawati masih harus menghadapi medan ''pertempuran'' lain, yakni persidangan komisi sepanjang hari Minggu. Pesaingnya, yang didukung sebagian besar anggota DPP caretaker pimpinan Latief Pudjosakti, ingin menjegal Mega maju ke puncak kemenangannya. Seperti tiga hari sebelumnya, persidangan berkali-kali macet karena beda pendapat antara kubu Budi dan Mega. Budi, yang dikenal mendapat restu dari atas, menghendaki agar pemilihan ketua dilakukan dengan menetapkan formatur. Lewat cara ini, berbagai rekayasa dan campur tangan pihak luar sangat dimungkinkan untuk kemenangan Budi dkk. Sementara itu, kubu Mega mau pemilihan langsung lewat pemungutan suara (voting). Sebab nyatanya sebagian pendukung Budi berbalik dan di arena kongres mereka mendukung Mega. Voting dianggap cara paling menguntungkan bagi kemenangan Mega. Untuk menghambat Megawati, tampaknya kubu Budi berusaha memanfaatkan tata cara pemilihan ketua yang dirumuskan sidang komisi organisasi. Maka, agar targetnya tercapai, beberapa pendukung Mega dihambat masuk ke sidang komisi organisasi itu. Bambang Sur dari Bojonegoro, misalnya, yang semula mendapat komisi organisasi, tiba-tiba diganti Heri Palupesi dari Kelompok 17, pimpinan Marsoesi yang kemudian menamakan diri Kelompok Persatuan dan Kesatuan (KPK). Demikian pula orang Mega yang lain, Suhaji dari Surabaya, tiba-tiba saja dikirim ke komisi lain dan tempatnya diganti teman sedaerahnya, Hafisz dari kubu Budi. Persidangan komisi ini diwarnai adu jotos antara pendukung Mega dan Budi. Padahal, jalan mulus bagi Mega sempat dibuka oleh Menteri Dalam Negeri Yogie S.M. Sabtu siang. Menteri mendadak melaporkan proses kongres itu kepada Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta. Tak seperti biasa, Menteri Yogie yang tampak buru-buru ke Istana dengan jip Suzuki Vitara bukan Volvo menteri yang biasa dipakainya itu menyatakan bahwa Pemerintah tak keberatan bila Megawati menjadi Ketua PDI. Dan Menteri pun menambahkan bahwa pemilihan ketua umum lewat pemungutan suara langsung alias voting bukan masalah. Namun, Yogie juga melaporkan bahwa berbagai masalah yang dianggap sebagai pengganjal macetnya kongres harus diselesaikan dalam sidang komisi. Ucapan Menteri Yogie itu terkesan tak beda dengan pernyataannya yang normatif sebelumnya. Namun, gemanya di tempat kongres sungguh berbeda karena diucapkan setelah dipanggil Presiden Soeharto. Sepanjang hari Sabtu, dalam acara pemandangan umum, hampir semua utusan daerah dan cabang leluasa menyerukan agar pemilihan ketua umum lewat pemungutan suara langsung dari floor dan mencalonkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Megawati sendiri tampil sebagai pembicara dari Jakarta Selatan. Kecuali mengusulkan agar segala keputusan diserahkan ke floor, pemegang kekuasaan tertinggi, Mega juga menyitir puisi pujangga India Swami Vivekananda: ''Sudah cukup lama kita menangis, jangan menangis lagi, tegakkan mukamu menjadi manusia sejati, untuk menegakkan kebenaran. Massa pun gegap gempita menyambut Mega. Suasana ini tentu berbeda dengan tiga hari sebelumnya, ketika para peserta kongres terang-terangan ''didesak'' untuk tidak mencalonkan Megawati. Ada suasana saling ejek, kecam, serang, tegang, dan bahkan unjuk rasa segala. Sasaran utama adalah calon yang didukung Pemerintah, Budi Hardjono. Setiap Budi tampil, massa pun selalu meneriakinya dengan ''Huuuuuuu''. Sialnya, pendukung Budi tak bisa mengejek Mega, anak Bung Karno, seperti itu. ''Saya tak berani mencemooh putri proklamator. Takut kualat,'' ujar seorang pendukung Budi dari Jawa Timur. Kedua kubu terus saling menjegal. Maka, ketika pembicaraan menyangkut soal tata cara pemilihan ketua umum, suasana pun panas. Tak ada yang mau mengalah. Kubu Mega menghendaki pemungutan suara dan Budi mau formatur. Tak ada titik temu. Akhirnya sidang hari pertama macet. Hari kedua pun macet. Toh kubu Budi tak tampak terlalu cemas oleh keadaan. Situasi yang tak menentu itu dianggap bisa menguntungkan mereka. Siapa tahu keruwetan justru mendorong Pemerintah mau turun tangan seperti dalam kongres PDI di Jakarta 1986, yang juga kacau-balau. Dalam keadaan kacau itu, diharapkan Pemerintah tinggal memasang nama Budi sebagai ketua umum, seperti tahun 1986 ketika menunjuk Soerjadi. Kalau pemilihan dilakukan langsung oleh peserta kongres bukan menurut kehendak DPP caretaker bisa dipastikan Megawatilah pemenangnya. Sebab, sejak namanya digelindingkan oleh cabang Solo tiga- empat pekan lalu, dukungan bagi Mega sungguh di luar dugaan (TEMPO, 20 November 1993). Kedatangannya di Surabaya dua pekan lalu disambut meriah. Mega pun tidak segan menjemput pendukungnya dari Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara yang menumpang KM Umsini di Tanjungperak. Sebagai balasannya, utusan tiga provinsi itu menyodorkan kebulatan tekad mendukungnya. Dukungan itu dikemas dalam istilah yang keren ''Deklarasi Umsini''. Suara kubu Mega itu makin lantang oleh kehadiran kelompok penggembira di luar pagar Asrama Haji. Kelompok ini jumlahnya tak sampai seratus lima puluh. Ada yang mengaku dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sekitar Surabaya. Jumat pagi lalu mereka berpawai membawa poster, spanduk, dan mengenakan kaos ''mendukung Megawati''. Pawai semakin meriah oleh kehadiran Sophan Sophiaan dan Mangara Siahaan, dua aktor layar perak yang ikut menyutradarai ''opera'' Megawati itu. Tapi kubu Budi punya kekuatan lain. Mereka yang memimpin sidang. Maklum, pimpinan sidang itu dipilih dari anggota caretaker, pengurus pusat PDI (sementara) sejak Soerjadi, ketua umum versi kongres Medan, terdongkel. Mereka bergantian memimpin sidang. Dengan posisi pimpinan sidang itu, Latief Pudjosakti menggiring peserta menyetujui penentuan ketua umum lewat formatur yang tentu demi Budi. Jalur formatur itu memang dipesankan Menteri Yogie dalam pidato pembukaan. Latief mengulang pidato Yogie itu pada pembahasan tata tertib sidang Kamis malam. Ia juga menceritakan kepada peserta sidang, yang jumlahnya lebih dari 1.000 orang itu, bahwa dalam pertemuan terpisah, 22 dari 27 pengurus PDI tingkat provinsi menerima cara formatur. Namun, kata-kata Latief itu disambut dengan teriakan ''huuu''. Floor menyatakan tidak puas dan menuduh Latief bohong. Akal-akalan untuk mencegat laju Megawati sudah tak kurang caranya. Dari menghambat orang Mega ke Surabaya sampai tak memasukkan pendukungnya ke komisi organisasi yang merumuskan tata cara pemilihan ketua umum itu. Bahkan Megawati sendiri nyaris gagal menjadi utusan Jakarta Selatan. Alasannya, kendati ia telah lima bulan lebih tinggal di Jakarta Selatan, KTP-nya masih Jakarta Pusat. Toh setelah berunding, Mega mendapat rekomendasi dari Alex. Konon, ada kekhawatiran kalau Mega diganjal bisa muncul aksi protes yang keras dari pendukungnya. Belum lagi soal imbauan dari para kepala kantor sospol yang diakui oleh banyak utusan. Umumnya, para pejabat di kabupaten meminta jaminan agar utusan dari daerahnya tak mendukung Megawati. Empat dari lima cabang Maluku dan tiga dari 13 cabang di Timor Timur mengaku memandatangani surat pernyataan mendukung Budi Hardjono. Ditekan? ''Tidak. Cuma diimbau. Dan kami lakukan untuk menjaga hubungan baik,'' kata seorang utusan Maluku. Nyatanya ia bersuara lain di Surabaya. ''Politik kita ya harus begini,'' katanya. Sejak hari Sabtu tampak bahwa popularitas Budi merosot tajam. Sejumlah utusan dari Jambi, Jawa Barat, dan Jawa Tengah terang- terangan mencalonkan Megawati. Yang unik, Alex Asmasoebrata berbalik memberi angin ke Mega. Dan Budi mengakui popularitasnya menurun. ''Banyak yang berubah sikap setelah bertemu Megawati,'' ujarnya enteng. Gaung suara Yogie S.M. tentunya segera sampai pula ke satu ruang pertemuan di Gedung KONI di Kertajaya Indah, 300 meter dari aula Asrama Haji Sukolilo. Di situ, pejabat-pejabat teras Jawa Timur berkumpul bersama banyak pejabat ''utusan kongres'' dari 27 direktorat sospol provinsi dan sejumlah kabupaten yang bertugas menjadi pembina politik di daerahnya. Mereka tak henti-hentinya mengontak perutusan kongres dari daerah masing- masing. Mereka mengikuti seluruh kongres lewat siaran langsung yang dipancarkan melalui radio ke gedung KONI itu (lihat: Memonitor Tanda-Tanda Zaman). Mereka pun mengatur taktik agar targetnya tercapai yakni menggagalkan pencalonan Megawati. Target kubu Budi dan DPP caretaker adalah membuat kongres macet total. Sidang komisi organisasi hari Minggu ditunda- tunda. Sebelum sidang dibuka Minggu malam, mendadak listrik mati hampir dua jam. Bahkan, sidang komisi organisasi yang dipimpin Sardjito Dharsuki berhasil macet ketika sampai soal formatur itu. Masalahnya dibawa ke sidang pleno. Kalau kongres sampai deadlock atau macet total, Budi dan Latief tinggal minta bantuan Pemerintah untuk menyusunkan DPP baru. Harapannya, kelompok ini yang disuruh memimpin PDI, dan kecil kemungkinan ada nama Megawati. Putut Trihusodo, Jalil Hakim, Zed Abidien, Kelik M. Nugroho (Surabaya), Linda Djalil (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini