''Jika semua orang Cina itu masih dianggap Cina-perantauan (overseas Chinese), mereka akhirnya akan benar-benar menjadi Cina yang selalu 'merantau','' demikian kata Leo Suryadinata dalam ''Cina Perantauan'' (TEMPO, 27 November, Kolom). Ironisnya, dalam kasus ''Konvensi Cina Sedunia'' di Hong Kong, November 1993, yang bersangkutan justru meminta tetap dianggap Cina, setidak-tidaknya overseas Chinese. Sebab, yang bukan ras Cina akan ditolak oleh panitia penyelenggara. Pak Hari Darmawan dan kawan-kawannya tak bisa menjadi full fledged participant (walaupun sekadar untuk, katanya, ''tukar-menukar kartu nama''). Ini soal lucu tapi cukup serius: apakah mendukung ''Konvensi Cina Sedunia'' atas dasar persamaan ras tidak membahayakan nation building? Bukankah lalu non-etnik Cina dibenarkan pula menyelenggarakan pertemuan secara eksklusif? Jika ini terjadi, bukankah keadaan menjadi semakin runyam? Dalam hal ini saya teringat pada ucapan almarhum P.K. Ojong: ''Garis rasial, garis usang''. Bukankah Lee Kuan Yew sendiri pada tahun 1960-an selalu mengumandangkan, ''We are Singaporeans, not Chinese''? Dengan mendukung ''Konvensi Cina Sedunia'', dengan alasan apa pun juga, rasanya, Lee menyulitkan dirinya sendiri. Itu soal prinsip, yang perlu dijawab secara prinsip pula. Ikatan rasialkah atau wawasan kebangsaankah yang mau dipakai? Bagi Indonesia bukan soal lagi, sebab Pancasila, UUD 45, dan Sumpah Pemuda 1928 secara prinsip hanya membenarkan wawasan kebangsaan. H. JUNUS JAHJADirektur Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran Jalan Lautze 89, Jakara Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini