Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga tentara yang diduga sebagai pembunuh Imam Masykur seharusnya disidangkan di peradilan umum.
Peradilan umum lebih transparan sehingga berpeluang terungkap banyak fakta baru di pengadilan.
Penculikan berulang terhadap penjaga toko kosmetik asal Aceh.
JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendorong agar tiga tentara yang diduga menculik dan membunuh Imam Masykur, 25 tahun, diadili di peradilan umum. Koalisi beralasan perbuatan ketiga tentara tersebut bukan kategori kejahatan militer, melainkan pidana umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Muhammad Isnur, mengatakan selama ini penerapan peradilan militer terhadap tentara yang melakukan kejahatan pidana umum cenderung tidak transparan. Namun peradilan umum terhadap ketiga pelaku akan berpeluang membongkar jaringan pelaku di pengadilan. Berbeda ketika perkara ketiga pelaku diadili di peradilan militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Undang-Undang tentang Peradilan Militer sejatinya dibuat untuk melindungi militer juga," kata Isnur, Rabu, 30 Agustus 2023.
Baca juga :
- Di Balik Tewasnya Penjaga Toko Kosmetik
Isnur menyebutkan banyak contoh kejahatan pidana umum yang pelakunya berasal dari TNI tidak terselesaikan secara memuaskan. Misalnya, kasus penyerangan terhadap Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, oleh sejumlah anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI pada 23 Maret 2013. Mereka membunuh empat tahanan yang menjadi tersangka pembunuhan anggota Kopassus, Sersan Kepala Heru Santoso, di Hugo’s Cafe, empat hari sebelumnya.
Praka RM, salah satu tersangka penculikan dan pembunuhan terhadap warga Aceh bernama Imam Masykur, saat dipaparkan dalam rilis di Polisi Militer Kodam Jaya, Jakarta Selatan, 29 Agustus 2023. TEMPO/Eka Yudha Saputra
Sebanyak 12 anggota Kopassus ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana tersebut. Majelis hakim Pengadilan Militer Yogyakarta menjatuhkan hukuman bervariasi kepada para pelaku. Hukuman paling berat diberikan kepada Sersan Dua Ucok Tigor Simbolon yang divonis 11 tahun penjara. Tiga terdakwa lainnya divonis 6 dan 8 tahun penjara. Sisa terdakwa lainnya dihukum 1 tahun 9 bulan penjara.
Menurut Isnur, hukuman terhadap para pelaku kurang memuaskan, apalagi mereka aparat negara yang terlibat pembunuhan berencana. Selain menyoal bobot hukuman, Isnur melihat kasus tersebut tidak terungkap secara tuntas. "Jadi, bukan soal didalami penyidikannya saja untuk menguak jaringannya," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.
Ia berpendapat penanganan perkara lewat sistem peradilan umum terhadap tentara yang melakukan kejahatan pidana umum akan membantu proses penyidikan. Paling tidak, peradilan umum yang lebih transparan akan membuat semua pihak di pengadilan bersungguh-sungguh membongkar perkara tersebut karena publik menyaksikannya. Dengan demikian, dugaan adanya jaringan penculik penjaga toko kosmetik dari kalangan tentara dapat terungkap dan diusut secara tuntas.
Imam Masykur diculik saat tengah menjaga toko kosmetik di Kelurahan Rempoa, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten, pada 12 Agustus lalu. Para penculik sempat meminta uang tebusan Rp 50 juta kepada keluarga Imam di Kabupaten Bireuen, Aceh. Namun permintaan uang tebusan tersebut tak dipenuhi.
Setelah itu, keluarga tak mendengar kabar tentang Imam selama tiga hari setelah penculikan. Keberadaan Imam baru diketahui setelah adanya penemuan mayat terapung di Sungai Cibogo, Karawang, Jawa Barat, pada 15 Agustus lalu.
Praka HS (atas) dan Praka J. TEMPO/Eka Yudha Saputra
Polisi Militer Kodam Jaya lantas mengusut kasus ini. Mereka lalu menetapkan tiga tentara sebagai tersangka penculikan Imam. Ketiganya bernama Prajurit Kepala Riswandi Manik, anggota Batalyon Pengawal Protokoler Kenegaraan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres); Prajurit Kepala HS, anggota Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat; dan Prajurit Kepala J, anggota Komando Daerah Militer Iskandar Muda. Ketiga pelaku juga berasal dari Aceh.
Satu pelaku lainnya adalah warga sipil. Pelaku bernama Zulhadi Satria Saputra, kakak ipar Riswandi. Perkara Zulhadi ditangani Polda Metro Jaya.
Saat konferensi pers di Markas Pomdam Jayakarta, Selasa, 29 Agustus lalu, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Hamim Tohari, mengatakan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat mensupervisi penanganan perkara ketiga tentara tersebut di Pomdam Jaya. Ia menuturkan saat ini ketiga pelaku disangkakan dengan pasal penculikan yang disertai pemerasan dan penganiayaan. Alasannya, penyidikan Pomdam berawal dari laporan keluarga korban ke kepolisian yang menyebutkan Imam diculik orang tak dikenal.
Hamim menyatakan penyidik dan oditur militer tengah mendiskusikan peluang menggunakan pasal pembunuhan terhadap ketiga pelaku. "Soal itu, pasti dikembangkan ke sana karena bagaimanapun korbannya meninggal," kata dia.
Hamim mengatakan Puspom TNI Angkatan Darat akan mengusut tuntas kasus ini. "Namun saat ini kami berfokus dulu pada proses hukum dalam kasus yang sedang terjadi," ujarnya. Ia tak bersedia membeberkan strategi penyidik untuk membongkar perkara ini, termasuk kemungkinan adanya jaringan komplotan penculik yang melibatkan anggota TNI.
"Itu merupakan pekerjaan teknis yang tidak bisa disampaikan ke publik," ujarnya.
Muhammad Isnur berpendapat kematian Imam seharusnya menjadi bukti kuat bahwa korban sudah dibunuh. Karena itu, penyidik Pomdam Jaya semestinya menggunakan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana terhadap ketiga pelaku. Isnur khawatir Pomdam Jaya hanya menggunakan Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan berat. "Pasalnya jelas lebih rendah. Kalau seperti ini, apa yang menjadi pernyataan Panglima TNI sekadar lip service," kata Isnur.
Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, mengatakan penyidik Pomdam Jaya semestinya tidak hanya merujuk pada laporan korban dalam menerapkan pasal sangkaan terhadap pelaku. Apalagi kejahatan ketiga tentara tersebut merupakan delik umum, bukan delik aduan. Di samping itu, kata dia, korban nyatanya ditemukan dalam keadaan meninggal setelah penculikan.
"Seharusnya langsung saja diproses tanpa perlu merujuk pada laporan yang masuk," ujarnya.
Mudzakir juga melihat adanya kejanggalan dalam penanganan perkara ini karena Pomdam Jaya tidak langsung menggunakan pasal-pasal pembunuhan terhadap para pelaku. Padahal korban sudah meninggal. "Seharusnya yang pertama dipersangkakan adalah pasal pembunuhan," kata dia.
Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, mengatakan Pomdam Jaya semestinya menerapkan pasal pembunuhan berencana terhadap ketiga pelaku. Apalagi pembunuhan itu berawal dari penculikan. "Karena kasus didahului penculikan, relevan didakwa pasal pembunuhan berencana," kata dia.
Fickar berpendapat ada dua penyebab sehingga penyidik Pomdam Jaya belum menerapkan pasal pembunuhan berencana, yaitu penyidik menyembunyikan fakta atau belum menemukan bukti-bukti pembunuhan oleh ketiga pelaku terhadap Imam. Meski begitu, kata dia, penyidik Pomdam Jaya dapat menggunakan pasal berlapis, yaitu pasal penculikan, penganiayaan, dan pembunuhan.
Penculikan Berulang
Ketua Umum Tim Iskandar Muda—organisasi perantau asal Aceh— Muslim Armas, mengatakan sudah berulang kali terjadi penculikan disertai pemerasan terhadap penjaga toko kosmetik asal Aceh. Selain kasus Imam, ada beberapa penculikan lainnya di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sejak 2018 hingga kini.
Menurut Muslim, penculikan terhadap penjaga toko kosmetik asal Aceh ini kerap terjadi karena ada wilayah abu-abu dalam bisnis tersebut. Wilayah abu-abu yang dimaksudkan itu adalah dugaan jual-beli produk ilegal di toko kosmetik. "Dugaan barang ilegal inilah yang dimanfaatkan pelaku untuk memeras korbannya," kata dia.
Dua sumber Tempo menguatkan penjelasan Muslim itu. Mereka tak bersedia identitasnya dibuka dengan alasan keamanan. Narasumber ini mengatakan seorang rekannya, yang juga penjaga kosmetik asal Aceh di kawasan Jabodetabek, pernah menjadi korban penculikan pada 2018. Koleganya itu diculik, lalu bos dan keluarganya diperas. "Waktu itu, rekan saya selamat karena membayar Rp 25 juta yang diminta pelaku," ujarnya.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo