MAHALKAH listrik di Indonesia? Ternyata, menurut Bank Dunia, justru sebaliknya. Tarif listrik di Indonesia, pada laporan tahunan Bank Dunia 1988, dianggap paling rendah di ASEAN. Hal ini agaknya dianggap kurang sehat. Terbukti, Bank Dunia menganjurkan tarif itu dinaikkan. Untunglah, tak semua saran Bank Dunia diikuti pemerintah Indonesia. "Harga politisnya terlalu mahal untuk menaikkan tarif PLN," kata seorang pejabat tinggi bidang Ekuin yang tak mau disebut namanya. Sumber ini berpendapat, anjuran Bank Dunia itu diberikan karena kekhawatiran PLN akan mengalami kebangkrutan akibat lebih besar pasak daripada tiang. Tapi kemungkinan ini dibantah oleh Prof. Dr. A. Arismunandar, Direktur Jenderal Listrik dan Energi Baru. "Tahun ini PLN masih akan menerima keuntungan, kendati jumlahnya tak besar," katanya yakin. Sekadar untung ini agaknya dianggap tak cukup oleh Bank Dunia. Sebab, hanya untuk menjaga kesinambungan produksinya saja PLN sedikitnya harus mendapatkan tingkat rate of return on revalued assets (ROR) sebesar 8%. Padahal, pada tahun anggaran 1987-88 diperkirakan ROR PLN hanya 3,3%. Rendahnya ROR ini, dalam perhitungan Bank Dunia, disebabkan karena PLN tak pernah mengadakan penyesuaian tarifnya sejak Maret 1984. Padahal, nilai rupiah anjlok akibat devaluasi pada September 1986. Maka, tarif rata-rata PLN diperkirakan cuma US$ 0,057/kWh, alias di bawah tarif rata-rata listrik di Singapura, Filipina, Muangthai, Taiwan, dan Korea, yaitu US$ 0,07 hingga US$ 0,08 setiap kWh-nya. Bank Dunia menyarankan, sedikitnya tarif rata-rata ini harus dinaikkan menjadi US$ 0,065/kWh, agar kesinambungan produksi PLN bisa dipertahankan. Sebab, menurut Bank Dunia, bila ROR terus-menerus di bawah 8%, dikhawatirkan PLN bisa bangkrut. Tapi rupanya sulit bagi pemerintah RI untuk mengikuti saran ini. Sebab, berarti harus menaikan tarif konsumen listrik di industri dan rumah tangga kelas bawah. Adapun tarif PLN untuk konsumen industri besar dan komersial dianggap sudah di atas ambang minimal itu. Alasan lain, "Gaji pegawai negeri 'kan tidak naik. Masa, tarif listrik naik," kata seorang pejabat tinggi Ekuin. Maka, pemerintah pun mencoba mencari alternatif lain untuk menjaga kesinambungan produksi PLN, tanpa harus menaikkan tarifnya. "Karena kami tak bisa manaikkan tarif kita harus menekan biaya," kata Prof. A. Arismunandar. Caranya dengan melakukan langkah-langkah efisiensi dan penghematan di segala lini. "Antara lain dengan menekan penggunaan minyak yang mahal dan lebih memanfaatkan tenaga air serta batu bara," tambah Arismunandar. Langkah lain yang dilakukan adalah dengan menghentikan pertambahan jumlah pegawai dan meningkatkan kualitasnya. "Kalau ada seorang pesuruh pensiun, kita ganti dengan yang insinyur," kata Dirjen berusia 56 tahun ini. Alhasil, jumlah karyawan PLN bisa dipertahankan pada angka 40-an ribu, dengan produktivitas meningkat dari 371 MWH/karyawan pada 1983-84 menjadi 455 MWH/karyawan pada 1986-87. Belum jelas benar sampai kapan pembekuan jumlah karyawan ini dapat dipertahankan. Sebab, pertumbuhan permintaan listrik di Indonesia terus melaju dengan pesat. Lima tahun silam, kata Pak Dirjen, PLN hanya memiliki sekitar 6 juta langganan. Sekarang jumlah itu sudah melonjak menjadi 9,3 juta langganan. "Pertumbuhan permintaan listrik rata-rata 16% setahun," katanya.' Bila permintaan ini tak diimbangi dengan pemasokan, akibatnya bisa gawat. Sebab, permintaan yang lebih besar dari kemampuan PLN dapat mengakibatkan keseluruhan jaringan listrik ambruk. Ambil contoh di Sumatera Utara, yang pertumbuhan permintaan listriknya diperkirakan mencapai 25% per tahun. Ternyata, PLN tak mempunyai cadangan pemasokan listrik yang memadai. Akibatnya, begitu sebuah generator rusak, seluruh sistem listrik di daerah itu ikut berpengaruh. Dan di kala konsumen harus mengalami giliran gelap secara berkala, usul kenaikan tarif memang bisa membuat orang mata gelap. Moebanoe Moera, Budiono Darsono, ~dan Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini