PENONTON berjubel di Gedung Olah Raga Kridosono, Yogyakarta. Maklum sudah lama Teater Alam tidak manggung. Rabu malam 8 Juni itu, grup teater pimpinan Azwar A.N. mementaskan sandiwara ~Tahanan. Di antara jubelan penonton, tampak seorang pemuda berbisik-bisik menawarkan buku. Hanya beberapa oran~ yang acuh, dan tak seorang pun yang berminat membeli. Malam berikutnya, bisnis bisik-bisik itu terulang. Azwar curiga, ia segera menangkapnya. Pemuda itu lalu diajaknya ke sebuah kamar dekat pintu masuk sport hall. Pemuda bertubuh kurus, berambut ikal, dan berkaca mata minus itu - namanya kita samarkan saja sebagai Nano, 28 tahun - adalah mahasiswa jurusan sosiologi tingkat akhir sebuah perguruan tinggi terkenal di kota itu. Petugas keamanan pun datang, lalu menyeret penjaja buku itu ke Makodim 0734 Yogyakarta. Dari tas kain yang dibawa Nano, ditemukan tiga judul novel: Rumah Kaca tujuh eksemplar, Gadis Pan~ai tiga buku, dan Anak Semua Bangsa satu buah semuanya karangan Pramudya Ananta Toer. "Saya tidak tahu, buku-buku ini dilarang. Saya hanya ingin mendapatkan komisi untuk tambahan biaya kuliah," kata Nano kepada petugas. Pada hari Rabu 8 Juni itu, Rur~ah Kaca telah dilarang oleh Kejaksaan Agung. Tapi baru disiarkan dua hari kemudian. "Meski tidak secara eksplisit menyebut kata-kat~a komunis, di sana-sini ditemukan bagian-bagian yang mengandung ajaran komunism~e dan Marxisme yang bertentangan dengar Pancasila," kata Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Pramudya, tokoh organ PKI Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mendekam 13 tahun di Pulau Buru. Rumah Kaca adalah karya terakhir Pram dari empat seri novelnya, yaitu Bumi Man~usia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah semuanya terbitan Hasta Mitra, Jakarta. Bumi Manusia dan Anak Semua Bangs~a telah dilarang pada 1981, sedang Jejak Langkah, dan sebuah novel Pram lainnya, Sang Pemula dilarang lima tahun kemudian. Tapi seri terakhir, Rumah Kaca, terbit tahun ini, bulan lalu sempat diedarkan. Menurut pengakuan Nano, mahasiswa asal Sleman, Yogyakarta, yang mengedarkan buku terlarang tersebut, buku-buku itu ia peroleh dari seorang karyawan Hasta Mitra Ia mendapat komisi 30% untuk sebuah buku yang terjual. Rumah Kaca ditawarkannya seharga Rp 10.000,00 per eksemplar, sedang buku lainnya Rp 5.000,00 sebuah. Kabarnya, sudah puluhan yang terjual di kawasan Malioboro dan pusat-pusat perbelanjaan. Tampaknya, tidak ada latar subversi di belakang bisnis Nano. Sebab selain sejumlah buku, dalam tas kainnya juga didapati segepok ramalan nomor-nomor TSSB dan KSOB. Cuma yang bikin repot pctugas, ada enam kawan Nano yang juga menjual buku-buku itu. Dan tampaknya mereka hanya ingin memperoleh komisi - tanpa menyadari bahayanya. Menurut orangtua Nano, anak kedua dari tujuh bersaudara ini memang sering bekcrja serabutan untuk mencari tambahan uang saku. Ia juga pernah beberapa kali menolong temannya menerjemahkan bahan kuliah dari bahasa Inggris dengan imbalan ala kadarnya. Mahasiswa "kutu buku" ini konon pernah berniat berjualan minuman botol, tapi tidak dii~zinkan oleh orangtuanya. Pelarangan novel Pram ini menyusul berita sebelumnya tentang "penyusupan" bekas anggota PKI ke dalam pemerintahan. Kabar ini seiring dengan munculnya kembali kekhawatiran bangkitnya kembah orangorang PKI setelah ketua F-KP di DPRD merangkap ketua DPD Golkar di Payakumbuh, Sum-Bar, dipecat sebab dituduh terlibat G-30-S/PKI. Disusul adanya orang-orang eks PKI di Pasaman, Sum-Bar, yang ingin mendirikan partai baru. Pramudya sendiri beberapa pekan lalu menulis surat pembaca di suatu harian membalas tulisan Rosihan Anwar. Setelah itu Menpen Harmoko, seusai menemui Presiden Soeharto, meminta pers agar jangan sampai disusupi tulisan-tulisan yang berb~au komunisme dan Marxisme. Ia juga mengingatkan bahwa bekas anggota PKI dilarang bekerja sebagai wartawan. B.S.H. dan I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini