Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

AI di Kalangan Guru dan Dosen, Bikin Khawatir Nasib Profesi?

Ada kekhawatiran pada suatu saat nanti kecerdasan buatan atau artificial intelligent (AI) akan menggantikan peran guru atau dosen.

19 Mei 2023 | 20.49 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dekan Sekolah Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) Universitas Prasetiya Mulya, Stevanus Wisnu Wijaya mengatakan, ada kekhawatiran pada suatu saat nanti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) akan menggantikan peran guru atau dosen. Kekhawatiran itu, menurut dia, bisa disikapi secara positif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kehadiran AI jangan dilihat sebagai sebuah ancaman, justru sebagai kesempatan untuk mendukung proses pendidikan,” katanya lewat keterangan tertulis, Jumat, 19 Mei 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Wisnu di acara Teachers Gathering 2023, manfaat kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan misalnya sebagai sumber pengetahuan untuk membangun inovasi baru. Jika dimanfaatkan dengan baik, AI bisa menghadirkan pengalaman belajar yang lebih baik dan menarik, juga mendorong siswa untuk menjadi lebih kreatif serta berperan dalam perkembangan teknologi.

Bagi guru, AI sangat potensial dimanfaatkan sebagai alat untuk menganalisis data. Dengan kemampuan kecerdasan buatan yang terus berkembang, kata Wisnu, para guru bisa menggunakan hasil analisis tersebut untuk membuat pemetaan minat dan bakat para siswa, hingga merancang model pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan. “Kehadiran AI akan mendorong banyak inovasi di bidang pendidikan,” ujarnya.

Sementara itu Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional Universitas Prasetiya Mulya, Noer Hassan Wirajuda mengatakan, para pendidik juga harus peka dalam melihat tren pada proses pembelajaran. Baru-baru ini, Pusat Studi Kebangsaaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya melakukan survei terhadap 1.600 mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk mengetahui cara belajar dan bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan.

Mayoritas belajar melalui internet dan media sosial. Sebanyak 26 persen mengaku belajar dari kelas, dan 16 persen lainnya belajar dari buku. Kepala Pusat Studi Kebangsaan Universitas Prasetiya Mulya itu mengatakan, hasil survei itu memperlihatkan tren yang bisa menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pendidik.

“Karena survei tersebut juga menunjukkan para anak didik menginginkan proses pembelajaran yang lebih interaktif,” katanya.

Menurut Hassan, para pendidik, guru maupun dosen, harus siap menghadapi perubahan dan menangkap keinginan para anak didiknya. Guru perlu mengembangkan metode baru dalam pembelajaran yang lebih interaktif, tanpa mengurangi kualitas muatan ilmu yang disampaikan.

Dia mencontohkan, para pendidik bisa memanfaatkan media sosial, kecerdasan buatan, sampai teknologi metamesta atau metaverse untuk memberikan materi pendidikan secara multimedia, sehingga proses belajar para siswa menjadi lebih menarik.

Sementara itu, Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan, menekankan pentingnya penguatan pengembangan keahlian dan kemampuan guru. Saat ini, kapasitas program pengembangan guru sangat kecil sehingga berjalan lamban.

Setiap tahun, pemerintah hanya menyediakan ruang pengembangan kapasitas untuk 300 ribu orang guru, tidak sebanding dengan kebutuhannya. “Maka tak heran jika banyak pendidik yang merasa kesulitan mengikuti perubahan,” kata dia.

Solusi yang bisa dilakukan dengan cara menambah anggaran dan memprioritaskan program pengembangan kapasitas dan kemampuan guru. Menurut Bukik, saat ini, rata-rata setiap sekolah di Indonesia hanya menganggarkan 0 hingga 2 persen dari total anggaran sekolah untuk kebutuhan pengembangan guru.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus