Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Amendemen dalam Kamus Parlemen

Perubahan Undang-Undang Dasar bukan hanya soal haluan negara. Partai dan para senator punya agenda lain.

12 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rapat Pimpinan MPR pertama di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN delapan fraksi minus Partai Keadilan Sejahtera dan perwakilan Dewan Perwakilan Daerah di Hotel Fairmont, Jakarta, pada awal Oktober lalu tak hanya membicarakan pembagian kursi pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hadirin pun mendiskusikan rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945. “Sempat disinggung soal rekomendasi amendemen konstitusi dari MPR periode sebelumnya untuk pimpinan yang baru,” kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, Jumat, 11 Oktober lalu.

Sebelum masa tugasnya berakhir, pemimpin MPR 2014-2019 menyerahkan tujuh rekomendasi, yang salah satunya menetapkan “pokok-pokok haluan negara”, yang dulu dikenal sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara. MPR periode lama juga mengusulkan penataan wewenang MPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan sistem presidensial. Kekuasaan kehakiman, sistem hukum, dan sosialisasi empat pilar juga disarankan dibenahi.

Menyepakati UUD perlu diubah, PPP tak ngoyo untuk menghidupkan lagi haluan negara. Menurut Arsul, partainya justru berfokus pada penataan kekuasaan kehakiman. “Perlu ada lembaga yang mengawasi fungsi yudikatif,” ujar Sekretaris Jenderal PPP itu.

Berdasarkan perubahan ketiga UUD yang diketuk pada November 2001, Komisi Yudisial dibentuk untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung sekaligus mengawasi perilaku hakim. Berdirinya Komisi Yudisial diikuti pembentukan lembaga pengawas lain di bidang penegakan hukum, yakni Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian Nasional. Berbeda dengan Komisi Yudisial yang berbentuk lembaga negara yang mandiri, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian Nasional adalah lembaga nonstruktural yang bertanggung jawab kepada presiden.

Menurut Arsul, lembaga pengawas penegakan hukum terlalu banyak. PPP menghendaki lembaga sejenis dipusatkan di satu lembaga, misalnya Komisi Yudisial, dengan menambah wewenangnya dalam UUD 1945. “Jika usul kami disetujui, PPP ingin para komisioner KY dipilih dari figur negarawan dan tokoh yang berpengalaman di bidang penegakan hukum,” katanya.

Partai Kebangkitan Bangsa justru hanya menyepakati perubahan konstitusi secara terbatas untuk mengakomodasi “pokok-pokok haluan penyelenggaraan dan pembangunan negara”. PKB tak mau revisi UUD merembet ke pasal lain, seperti pemilihan dan masa jabatan presiden. Menurut Ketua Fraksi PKB di MPR, Jazilul Fawaid, presiden harus tetap Edipilih langsung oleh rakyat, dengan masa jabatan yang terbatas. “Kami pasti menolak jika pembahasan menyangkut masa jabatan dan pemilihan presiden,” ujar Jazilul, yang juga Wakil Ketua MPR.

Rencana amendemen dikaji serius oleh Partai Amanat Nasional. Menurut Sekretaris Fraksi PAN di MPR, Saleh Partaonan Daulay, partainya membentuk tim khusus beranggotakan kader dan sejumlah pakar tata negara untuk menelaah perubahan terbatas konstitusi. Hasilnya, PAN menyetujui amendemen yang bersifat minor, seperti soal haluan negara. Alasannya, haluan negara dianggap penting sebagai dasar pembangunan yang berkelanjutan. “Haluan negara itu menjamin kontinuitas pembangunan,” kata Saleh.

Saleh membandingkan model pembangunan pada era Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Ia menganggap ada sejumlah program di zaman Yudhoyono yang tak dikerjakan lagi oleh Jokowi. Hal tersebut terjadi karena visi dan misi mereka tak mengacu pada rencana besar pembangunan.

Di Dewan Perwakilan Daerah, wacana amendemen juga hangat dibicarakan. DPD menginginkan amendemen memperkuat kewenangannya, terutama dalam penganggaran. “Saya akan berjuang mati-matian agar dana transfer daerah menjadi keputusan atau pegangan DPD,” ujar Wakil Ketua MPR dari DPD, Fadel Muhammad. “Sehingga apabila kami pergi ke daerah bisa membawa sesuatu.”

Saat ini, DPD hanya punya kewenangan mengusulkan, membahas, dan mengawasi pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah. Hasil pengawasan DPD terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, misalnya, hanya menjadi bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti Dewan Perwakilan Rakyat.

Senator asal DKI Jakarta, Jimly Asshiddiqie, mengatakan perlu ada pasal yang mengatur bahwa haluan negara yang kelak ditetapkan MPR juga diusulkan presiden dan DPD. Jimly beralasan DPD berhak membuat pedoman pembangunan karena kebijakan itu menyangkut kepentingan daerah yang diwakili para senator.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga mengusulkan tambahan kewenangan DPD dalam menyelia APBN. Berbeda dengan Fadel, Jimly berpendapat bahwa penentuan anggaran tetap dilakukan DPR sehingga legislator tak merasa sebagian kewenangannya diambil senator. “DPD tak usah mengurusi duit. Cukup mengawasi haluan negara tecermin atau tidak dalam anggaran,” kata Jimly.

Sementara di Senayan fraksi dan DPD berkukuh mengubah UUD, Presiden Jokowi- bersikap sebaliknya. Dalam wawancara dengan Tempo pada awal September lalu, Jokowi mengatakan tak ada yang bisa menggaransi bahwa amendemen hanya menyangkut haluan negara. Menurut dia, sikap dan keinginan partai dalam amendemen masih belum seragam.

Presiden juga tak mau amendemen malah menurunkan kualitas demokrasi. Ia menyoroti kemungkinan kembalinya MPR menjadi lembaga tertinggi negara yang memberikan mandat kepada presiden untuk melaksanakan GBHN. Konsekuensi dari presiden sebagai mandataris MPR adalah presiden bisa dipilih MPR. “Saya tak setuju,” ujar Jokowi. “Demokrasi ada di tangan rakyat, bukan di tangan sekelompok elite.”

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pengusung utama Jokowi, meluruskan maksud amendemen yang mereka kehendaki. Wakil Ketua MPR dari PDIP, Ahmad Basarah, mengatakan agenda amendemen tak akan menyentuh Pasal 6-A dan Pasal 7-A UUD 1945 mengenai pemilihan dan pemakzulan presiden. “Tidak ada kaitannya dengan tata cara pemilihan presiden, juga tidak ada kaitannya dengan tata cara pemberhentian presiden, karena dua pasal itu tidak diubah,” tutur Basarah. “Sikap PDIP jelas.”

RAYMUNDUS RIKANG, STEFANUS PRAMONO, DEVY ERNIS, BUDIARTI UTAMI PUTRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus