Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Anak wagon dengan harga diri

Dachlan setiawan mendirikan kelompok belajar bagi anak-anak yang tak mampu di kebon melati, tanah abang. berkembang menjadi sekolah dasar sinar swadaya. (pdk)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA kelihatan dekil. Sebagian malahan hanya bersandal jepit. Tapi mereka lebih beruntung sedikit dari 50 ribu anak Jakarta yang tak bersekolah. Mereka itulah murid SD Sinar Swadaya, di RW 017, Kebon Melati, Tanah Abang. Sekolah itu pun berdiri pada tanah bekas pembuangan sampah -- bau sekitar masih apak. Dan hanya berukuran 7 x 4 meter, beratap seng dan berdinding triplek. Ruang seluas itu pun masih dibagi dua kelas. Awalnya adalah Dachlan Setiawan, 30 tahun, sarjana muda Sekolah Tinggi Pekerjaan Sosial (STPS). Ia tergugah melihat sejumlah anak usia sekolah, yang hanya berkeliaran mengemis atau menyemir sepatu di Kebon Melati itu. Tak sulit diketahuinya bahwa mereka anak-anak para tunawisma, yang menghuni gerbonggerbong rusak sepanjang rel kereta api yang melintang di Kebon Melati itu. Setelah berkonsultasi dengan para pamong di kawasan tersebut, akhirnya berdirilah kelompok belajar beranggotakan 30 anak. Mereka belajar di Pos Hansip seluas 3 x 3 meter, dan belajar menulis hanya dengan kapur dan dengan 'buku tulis' berupa lantai. Usaha mulia ini berkembang. Atas inisiatif Dachlan pula warga setempat bisa mengumpulkan uang Rp 18 ribu. Ditambah sumbangan dari sebuah gereja di Kebayoran Baru, dari Camat dan dari Biro Penolong Keluarga Sinar Kasih, akhirnya 1 April berdiri SD Sinar Swadaya yang sekarang ini. Kini muridnya 120, tapi yang selalu masuk hanya 102. Uang sekolah resminya Rp 300, "tapi banyak yang kami bebaskan, dan banyak pula yang berbulan-bulan belum membayar," tutur Dachlan. Karena hanya ada dua lokal, padahal kini telah ada yang duduk di kelas III, sekolah dibuka dua kali pukul 13.30 - 15.00 dan 15.00 - 17.00. Ada dua orang guru kelas, dan seorang guru olahraga dan seorang guru Pramuka. Mereka hanya sekedar dibayar untuk pengganti transpor, paling tinggi Rp 9.500. Pakaian seragam disarankan juga, tapi bukan diharuskan putih-putih atau putih biru. Ada manfaatnya. Dulu, mereka tak berani berjalan-jalan di kampung-kampung sekitar daerah itu. Karena selalu diejek oleh anak-anak yang sekolah sebagai 'anak wagon'. Maksudnya anak-anak yang tak punya rumah, yang tidur di gerbong-gerbong. Bagaimana hari depan mereka nanti, memang belum dipikirkan Dachlan. "Saya yakin pasti ada jalan. Saya ini orang beriman," kata Ignatius Dachlan Setiawan. Tapi manfaat sekolah ini memang jelas. "Anak-anak itu menemukan harga diri yang baru. Saya terharu," kata Dachlan pelan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus