MEREKA kelihatan dekil. Sebagian malahan hanya bersandal
jepit. Tapi mereka lebih beruntung sedikit dari 50 ribu anak
Jakarta yang tak bersekolah. Mereka itulah murid SD Sinar
Swadaya, di RW 017, Kebon Melati, Tanah Abang.
Sekolah itu pun berdiri pada tanah bekas pembuangan sampah --
bau sekitar masih apak. Dan hanya berukuran 7 x 4 meter, beratap
seng dan berdinding triplek. Ruang seluas itu pun masih dibagi
dua kelas.
Awalnya adalah Dachlan Setiawan, 30 tahun, sarjana muda Sekolah
Tinggi Pekerjaan Sosial (STPS). Ia tergugah melihat sejumlah
anak usia sekolah, yang hanya berkeliaran mengemis atau menyemir
sepatu di Kebon Melati itu. Tak sulit diketahuinya bahwa mereka
anak-anak para tunawisma, yang menghuni gerbonggerbong rusak
sepanjang rel kereta api yang melintang di Kebon Melati itu.
Setelah berkonsultasi dengan para pamong di kawasan tersebut,
akhirnya berdirilah kelompok belajar beranggotakan 30 anak.
Mereka belajar di Pos Hansip seluas 3 x 3 meter, dan belajar
menulis hanya dengan kapur dan dengan 'buku tulis' berupa
lantai.
Usaha mulia ini berkembang. Atas inisiatif Dachlan pula warga
setempat bisa mengumpulkan uang Rp 18 ribu. Ditambah sumbangan
dari sebuah gereja di Kebayoran Baru, dari Camat dan dari Biro
Penolong Keluarga Sinar Kasih, akhirnya 1 April berdiri SD Sinar
Swadaya yang sekarang ini.
Kini muridnya 120, tapi yang selalu masuk hanya 102. Uang
sekolah resminya Rp 300, "tapi banyak yang kami bebaskan, dan
banyak pula yang berbulan-bulan belum membayar," tutur Dachlan.
Karena hanya ada dua lokal, padahal kini telah ada yang duduk di
kelas III, sekolah dibuka dua kali pukul 13.30 - 15.00 dan 15.00
- 17.00. Ada dua orang guru kelas, dan seorang guru olahraga dan
seorang guru Pramuka. Mereka hanya sekedar dibayar untuk
pengganti transpor, paling tinggi Rp 9.500.
Pakaian seragam disarankan juga, tapi bukan diharuskan
putih-putih atau putih biru. Ada manfaatnya. Dulu, mereka tak
berani berjalan-jalan di kampung-kampung sekitar daerah itu.
Karena selalu diejek oleh anak-anak yang sekolah sebagai 'anak
wagon'. Maksudnya anak-anak yang tak punya rumah, yang tidur di
gerbong-gerbong.
Bagaimana hari depan mereka nanti, memang belum dipikirkan
Dachlan. "Saya yakin pasti ada jalan. Saya ini orang beriman,"
kata Ignatius Dachlan Setiawan. Tapi manfaat sekolah ini memang
jelas. "Anak-anak itu menemukan harga diri yang baru. Saya
terharu," kata Dachlan pelan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini