PAK Ketua RT di daerah Tebet, Jakarta Selatan itu menyerah.
Enam anak di wilayahnya ia usahakan masuk SD Inpres. Tapi gagal.
Bukan karena mereka tak diterima, tapi karena soal lain mereka
diharuskan menyerahkan uang sebesar Rp 7.500 untuk pakaian
seragam. Mereka tak mampu. Hingga hari ini mereka tetap belum
sekolah.
Di DKI Jakarta, ternyata anak-anak itu tak sendirian.
Berdasarkan hasil penghitungan sementara sensus penduduk yang
lalu, ternyata 53.721 anak usia sekolah (7-12 tahun) di DKI
Jakarta belum menginjak sekolah sama sekali. Mereka tersebar di
kelima wilayah DKI -- jumlah terkecil di Jakarta Pusat (6.437),
terbesar di Jakarta Selatan (13.053).
Nampaknya, kemiskinan penyebah utamanya. Di Kebon Melati,
Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, sejumlah anak tak
bersekolah karena tersekat biaya perlengkapan sekolah. Keluarga
Ny. Hapsah, misalnya, yang terdiri dari 9 jiwa, dua anaknya (9
dan 7 tahun), masih di luar pagar pendidikan formal. Sementara
itu anak sulungnya, 15 tahun putus sekolah di kelas IV SD.
Hanya anaknya yang kedua, 12 tahun, yang kini duduk di kelas V.
Hapsah bertanya, tanpa nada sedih: "Siapa yang harus menanggung
biayany?" Dengan bekerja sebagai pembantu pedagang sop kambing,
keluarga ini hanya berpenghasilan Rp 1.000-1.500 sehari. Jumlah
itu untuk menyuap 9 mulut pun belum tentu cukup. Suami Hapsah
sendiri bahkan belum pernah duduk di bangku sekolah sama sekali,
dan Hapsah hanya mengecap SD sampai kelas III.
Agaknya bertambahnya gedung sekolah saja tak berarti menunjukkan
membaiknya fasilitas pendidikan. Berdasar catatan tahun 1979 di
Jakarta pendidikan dasar (termasuk SD Negeri maupun Swasta, juga
Madrasah) ada sekitar 2.850, dengan jumlah murid 841.204. Dengan
perhitungan kasar setiap sekolah menampung 300 murid (berarti
ada 50 murid per kelas) boleh dibilang sekolah memang masih
longgar. Dan kenyataannya tak sedikit kelas yang dihuni kurang
dari 50 murid.
Tapi keluarga-keluarga buruh kecil, mereka yang menjual tenaga,
yang tinggal di lorong-lorong becek, memang agak susah
menanggung biaya sekolah. Enam keluarga buruh kecil di wilayah
RT 012/ RW 011 Menteng Dalam, Tebet, bisa merupakan contohnya.
Di wilayah yang dihuni 35 keluarga itu, yang di gangnya sepeda
motor pun tak bisa masuk, tergenang air bila hujan turun,
berjubel rumah setengah tembok atau 100% papan, rata-rata
berukuran 3 x 4 meter.
Di salah satu rumah itulah tinggal keluarga M. Ali bin Asri, 47
tahun. Bapak yang menanggung 7 anak ini cuma berjualan tanaman,
dengan berkeliling ke mana-mana. "Yah, kalau hujan saya tak
kerja, uang tak masuk," tuturnya kepada TEMPO. Dua anaknya, 9
dan 12 tahun belum pernah masuk sekolah sama sekali. Yang lain,
paling tinggi sampai kelas IV SD. "Kalau memang ada yang
menanggung, boleh saja mereka sekolah," katanya.
Huruf Arab
Sama halnya yang dihadapi Maryam, 26 tahun, yang bekerja di
Pabrik Kaus Prasodjo, Tebet. Anaknya, 8 tahun meski sudah
didaftarkan dan diterima di SD Inpres oleh Pak RT-nya, terpaksa
batal karena diharuskan membayar uang seragam Rp 7.500. Juga Pak
Muhari, Pak Sa'roni dan Pak Sidik -- masing-masing bekerja
sebagai buruh kasar -- kadang-kadang di proyek-proyek bangunan,
kadang-kadang di tempat lain, memang tak sanggup memenuhi tata
cara bersekolah kini.
Tak berarti anak-anak itu buta huruf sama sekali. Anak-anak Pak
Ali misalnya. Mereka di rumah diajar mengaji dan menulis huruf
Arab, diajar oleh istri Pak Ali sendiri. Anak-anak yang lain,
paling sedikit seminggu dua kali ikut grup pengajian -- yang
jumlahnya di kawasan Menteng Dalam tak sedikit. Dengan bayaran
antara Rp 150-200 sebulan, dengan tak harus memakai pakaian
seragam dan sepatu, pengajian merupakan satu-satunya harapan
agar anak-anak itu punya bekal.
"Sebenarnya anak-anak itu kalau ditanya, ya ingin masuk sekolah
seperti teman-temannya yang lain," kata Damsyik, Ketua RT 012/RW
011 Menteng Dalam. Ia, pegawai seorang dokter dari RS DGI,
agaknya seorang Ketua RT yang menaruh perhatian terhadap 149
jiwa warganya. Tapi tentu saja bantuannya tak bisa lebih dari
berupa usaha dan moral. Dengan 6 anak (lima sudah sekolah semua)
Damsyik memang tak mungkin jadi dermawan.
Sampai sejauh ini nampaknya belum ada sekolah yang longgar
aturannya. Pakaian seragam misalnya, tampak di mana-mana.
Uniform itu dimaksudkan agar tak terjadi saling pamer baju. Tapi
ia ternyata juga bisa jadi penghalang bagi yang lain -- di
tempat anak-anak tak mampu untuk pamer apa-apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini