Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

50.000 anak tak berbaju seragam

Menurut sensus 1980, 53 ribu lebih anak usia sekolah di dki jakarta belum sempat sekolah, penyebabnya adalah kemiskinan. membaiknya fasilitas pendidikan tidak menjamin. (pdk)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAK Ketua RT di daerah Tebet, Jakarta Selatan itu menyerah. Enam anak di wilayahnya ia usahakan masuk SD Inpres. Tapi gagal. Bukan karena mereka tak diterima, tapi karena soal lain mereka diharuskan menyerahkan uang sebesar Rp 7.500 untuk pakaian seragam. Mereka tak mampu. Hingga hari ini mereka tetap belum sekolah. Di DKI Jakarta, ternyata anak-anak itu tak sendirian. Berdasarkan hasil penghitungan sementara sensus penduduk yang lalu, ternyata 53.721 anak usia sekolah (7-12 tahun) di DKI Jakarta belum menginjak sekolah sama sekali. Mereka tersebar di kelima wilayah DKI -- jumlah terkecil di Jakarta Pusat (6.437), terbesar di Jakarta Selatan (13.053). Nampaknya, kemiskinan penyebah utamanya. Di Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, sejumlah anak tak bersekolah karena tersekat biaya perlengkapan sekolah. Keluarga Ny. Hapsah, misalnya, yang terdiri dari 9 jiwa, dua anaknya (9 dan 7 tahun), masih di luar pagar pendidikan formal. Sementara itu anak sulungnya, 15 tahun putus sekolah di kelas IV SD. Hanya anaknya yang kedua, 12 tahun, yang kini duduk di kelas V. Hapsah bertanya, tanpa nada sedih: "Siapa yang harus menanggung biayany?" Dengan bekerja sebagai pembantu pedagang sop kambing, keluarga ini hanya berpenghasilan Rp 1.000-1.500 sehari. Jumlah itu untuk menyuap 9 mulut pun belum tentu cukup. Suami Hapsah sendiri bahkan belum pernah duduk di bangku sekolah sama sekali, dan Hapsah hanya mengecap SD sampai kelas III. Agaknya bertambahnya gedung sekolah saja tak berarti menunjukkan membaiknya fasilitas pendidikan. Berdasar catatan tahun 1979 di Jakarta pendidikan dasar (termasuk SD Negeri maupun Swasta, juga Madrasah) ada sekitar 2.850, dengan jumlah murid 841.204. Dengan perhitungan kasar setiap sekolah menampung 300 murid (berarti ada 50 murid per kelas) boleh dibilang sekolah memang masih longgar. Dan kenyataannya tak sedikit kelas yang dihuni kurang dari 50 murid. Tapi keluarga-keluarga buruh kecil, mereka yang menjual tenaga, yang tinggal di lorong-lorong becek, memang agak susah menanggung biaya sekolah. Enam keluarga buruh kecil di wilayah RT 012/ RW 011 Menteng Dalam, Tebet, bisa merupakan contohnya. Di wilayah yang dihuni 35 keluarga itu, yang di gangnya sepeda motor pun tak bisa masuk, tergenang air bila hujan turun, berjubel rumah setengah tembok atau 100% papan, rata-rata berukuran 3 x 4 meter. Di salah satu rumah itulah tinggal keluarga M. Ali bin Asri, 47 tahun. Bapak yang menanggung 7 anak ini cuma berjualan tanaman, dengan berkeliling ke mana-mana. "Yah, kalau hujan saya tak kerja, uang tak masuk," tuturnya kepada TEMPO. Dua anaknya, 9 dan 12 tahun belum pernah masuk sekolah sama sekali. Yang lain, paling tinggi sampai kelas IV SD. "Kalau memang ada yang menanggung, boleh saja mereka sekolah," katanya. Huruf Arab Sama halnya yang dihadapi Maryam, 26 tahun, yang bekerja di Pabrik Kaus Prasodjo, Tebet. Anaknya, 8 tahun meski sudah didaftarkan dan diterima di SD Inpres oleh Pak RT-nya, terpaksa batal karena diharuskan membayar uang seragam Rp 7.500. Juga Pak Muhari, Pak Sa'roni dan Pak Sidik -- masing-masing bekerja sebagai buruh kasar -- kadang-kadang di proyek-proyek bangunan, kadang-kadang di tempat lain, memang tak sanggup memenuhi tata cara bersekolah kini. Tak berarti anak-anak itu buta huruf sama sekali. Anak-anak Pak Ali misalnya. Mereka di rumah diajar mengaji dan menulis huruf Arab, diajar oleh istri Pak Ali sendiri. Anak-anak yang lain, paling sedikit seminggu dua kali ikut grup pengajian -- yang jumlahnya di kawasan Menteng Dalam tak sedikit. Dengan bayaran antara Rp 150-200 sebulan, dengan tak harus memakai pakaian seragam dan sepatu, pengajian merupakan satu-satunya harapan agar anak-anak itu punya bekal. "Sebenarnya anak-anak itu kalau ditanya, ya ingin masuk sekolah seperti teman-temannya yang lain," kata Damsyik, Ketua RT 012/RW 011 Menteng Dalam. Ia, pegawai seorang dokter dari RS DGI, agaknya seorang Ketua RT yang menaruh perhatian terhadap 149 jiwa warganya. Tapi tentu saja bantuannya tak bisa lebih dari berupa usaha dan moral. Dengan 6 anak (lima sudah sekolah semua) Damsyik memang tak mungkin jadi dermawan. Sampai sejauh ini nampaknya belum ada sekolah yang longgar aturannya. Pakaian seragam misalnya, tampak di mana-mana. Uniform itu dimaksudkan agar tak terjadi saling pamer baju. Tapi ia ternyata juga bisa jadi penghalang bagi yang lain -- di tempat anak-anak tak mampu untuk pamer apa-apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus