Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILLY Adhiyaksa geram pada seleksi jalur zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 di SMA Negeri 3 Kota Bogor, Jawa Barat. Rumahnya berada di seberang sekolah itu. Jaraknya hanya sekitar 700 meter dan masih satu kelurahan. Namun anaknya tidak diterima di jalur zonasi sekolah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Rumah kami sangat dekat dengan sekolah, hanya berseberangan jalan. Aneh, mereka yang jauh, misalnya dari Sentul (Kabupaten Bogor), diterima. Sedangkan anak kami semua ditolak melalui jalur zonasi ini," katanya kepada Tempo di Bogor, Jumat, 21 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SMAN 3 Bogor berada di Jalan Pakuan Indah, Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur, dan rumah Billy berada di Babakan Pendeuy, Baranangsiang. Billy menduga anaknya tidak diterima karena adanya praktik titip kartu keluarga.
"Yang di luar bisa diterima karena orang tua siswa menyiasati dengan cara numpang kartu keluarga ke jarak 200 meter dari sekolah," ujarnya.
Pemerintah telah membuka PPDB tahun ajaran 2024/2025 tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK. PPDB memiliki empat jalur, yakni jalur zonasi, afirmasi, perpindahan orangtua/wali, serta jalur prestasi.
Untuk tingkat SMA, jalur zonasi memiliki kuota penerimaan 50 persen, jalur afirmasi 25 persen, jalur perpindahan 2 persen, dan jalur prestasi 23 persen. Jalur prestasi dibagi menjadi dua, yaitu jalur prestasi akademik dan nonakademik.
Jalur sistem zonasi merupakan jalur penerimaan siswa berdasarkan zona tempat tinggal. Di Bogor, syarat jalur zonasi adalah peserta didik wajib mengajukan dokumen kartu keluarga minimal satu tahun. Penetapan dasar seleksi ditentukan dari jarak terdekat dan usia.
Billy dan sejumlah orang tua murid yang anaknya gagal masuk lewat jalur zonasi lantas mendatangi SMA Negeri 3 Kota Bogor.
Para orang tua murid itu mempertanyakan penolakan pihak sekolah. Padahal mereka merupakan warga asli di sekitar SMAN 3. Seorang wali murid bahkan menggelar aksi mengukur jarak ke sekolah secara manual dengan cara depa atau metode pengukuran ala tradisional untuk mengukur panjang jalan dengan meteran kayu.
Rasa penasaran juga dialami Herma, 40 tahun. Warga Kelurahan Baranangsiang ini memiliki jarak rumah lebih dekat, yaitu 600 meter dari sekolah. Herma penasaran karena anaknya yang hanya bisa mendaftar di SMAN 3 juga ditolak. "Saya harus ke mana lagi? Kesempatan anak saya (diterima di sekolah negeri) cuma di sini," katanya.
Sementara itu, Selamet, 50 tahun, warga Kampung Ciheuleut, juga mempertanyakan sistem PPDB di sekolah tersebut. Pasalnya, jarak antara sekolah dan rumahnya hanya sepelemparan batu. Tapi anaknya juga ditolak masuk. Selamet mensinyalir terjadi permainan oleh panitia sehingga siswa luar daerah bisa masuk melalui jalur zonasi dengan modus menumpang kartu keluarga.
"Ya, terjadi kecuranganlah. Ada dua teman anak saya dari luar bisa masuk ke sini memakai (cara) numpang kartu keluarga," ujarnya.
Wakil Kepala SMAN 3 Kota Bogor Dedi Des Nurmahdi mengakui proses PPDB di sekolahnya diwarnai banyaknya orang tua yang mendaftarkan anaknya dengan cara menumpang kartu keluarga warga terdekat. Namun dia malah mengatakan bahwa hal tersebut dinilai sudah sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Kepada wartawan setelah menerima aduan orang tua, Dedi mengungkapkan seluruh tahapan proses PPDB di sekolahnya berlangsung normal sesuai dengan aturan yang berlaku, termasuk jalur zonasi yang tengah diributkan kalangan orang tua.
"Bukan kami yang menyaring, melainkan sistem. Kami hanya memasukkan dalam sistem, sesuai tidak dengan sistem," ucapnya.
Menurut Dedi, saat ini siswa yang bisa diterima paling jauh jarak rumahnya 722 meter dan jarak di luar itu tidak diterima. Dedi mengatakan banyaknya warga luar yang bisa menembus sekolah favorit tersebut karena mereka menumpang kartu keluarga pada warga terdekat. Sebab, menurut Dedi, menumpang nama di kartu keluarga diperbolehkan dengan syarat sudah satu tahun.
Pelaksana harian Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Ade Afriandi mengatakan pihaknya sangat senang jika ada warga yang melaporkan praktik culas dalam pelaksanaan PPDB. Ade mempersilakan warga mengadukan permasalahan PPDB jika memang ditemukan kejanggalan, dilengkapi dengan bukti dan dokumen lengkap. Dengan begitu, pihaknya bisa menindaklanjuti dan memberikan sanksi tegas kepada pihak sekolah yang dinilai melanggar pelaksanaan PPDB.
"Bahkan agar tidak ada perilaku tidak terpuji atau pelanggaran dalam pelaksanaan PPDB ini, penjabat gubernur sampai menerbitkan Pergub Nomor 9 Tahun 2024 tentang PPDB. Jelas dalam pergub itu disebutkan, kalau ada yang melanggar, akan diberi sanksi tegas. Seperti pemberhentian dari jabatan," kata Ade saat dimintai konfirmasi melalui sambungan telepon.
Soal pembolehan menumpang kartu keluarga orang lain, Ade menegaskan hal itu bukan ranah Kemendikbud, melainkan bagian Kementerian Dalam Negeri melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Ade menyebutkan tugas Kemendikbud adalah menyiapkan panitia PPDB. Maka, jika ada yang dirasa janggal atau adanya anomali jarak untuk jalur zonasi, panitia berhak memastikan domisili calon peserta didik dan sekolah.
"Artinya, kalau ditemukan adanya anomali atau pelanggaran, kemarin dan bahkan tadi pagi penjabat gubernur mengatakan untuk menganulir dan memberi sanksi pihak yang bermain. Kami tegas dan tidak main-main dalam PPDB karena ini menyangkut masa depan siswa. Jangan sampai siswa yang berhak malah tidak memiliki kesempatan. Segera laporkan, mumpung waktu pelajaran dalam tahun ajaran baru belum dimulai. Jadi, bisa dengan cepat diperbaiki," kata Ade.
Tujuan Awal PPDB
Dikutip dari laman resmi Kemendikbudristek, jalur zonasi PPDB sudah ada sejak 2017. Jalur ini sudah dikenalkan oleh eks Mendikbud Muhadjir Effendy. Jalur zonasi ingin mereformasi sekolah secara menyeluruh. Zonasi merupakan salah satu strategi percepatan akses dan pemerataan pendidikan yang berkualitas. Caranya, murid di dekat sekolah bisa menempuh pendidikan di sekolah itu.
Selain itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah Iwan Syahril mengatakan empat jalur PPDB dibuat dengan tujuan memberikan kesempatan yang adil dan sebesar-besarnya kepada peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dengan tidak menjadikan keterbatasan ekonomi ataupun kondisi disabilitas sebagai penghalang.
Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim mengatakan PPDB jalur zonasi makin jauh dari tujuan pemerataan supaya anak bisa bersekolah di sekolah negeri. Pemikiran itu didasarkan pada temuan banyaknya sekolah negeri yang kekurangan murid di daerah terpencil. Kasus itu, di antaranya, ada di daerah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Orang tua murid memilih anaknya menempuh pendidikan di sekolah swasta. "Mereka memilih sekolah swasta karena jaraknya dekat dari rumah. Jarak sekolah negeri jauh," katanya saat dihubungi, kemarin.
Menurut Satriwan, kasus itu menunjukkan bahwa PPDB tak didasarkan pada dua analisis data, yaitu data demografi jumlah penduduk, khususnya usia sekolah, dan data analisis geografi. "Mereka tak menghitung jumlah sekolah di wilayah itu," katanya.
Kasus sebaliknya justru terjadi di sekolah yang berada di kota besar, seperti di Jakarta dan Bandung. Jumlah sekolah sedikit, tapi jumlah calon peserta didik banyak. Masalah ini ditambah dengan pandangan adanya sekolah unggulan. Jadi, ada kasus orang tua menitipkan kartu keluarga di rumah yang dekat sekolah. "Mereka melakukan itu supaya diterima di jalur zonasi," kata Satriwan.
Satriwan mengatakan semestinya PPDB di kota besar dilaksanakan seiring dengan pembangunan sekolah baru. Pemerintah daerah juga bisa bekerja sama dengan sekolah swasta dalam mengadakan PPDB. Namun sekolah swasta itu harus terakreditasi A. "Jangan sekolah swasta yang asal-asalan," katanya.
Pemerintah daerah juga harus melibatkan semua stakeholder untuk perbaikan. Dalam membangun sekolah, misalnya, perlu melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Pengamat kebijakan pendidikan dan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan mengatakan PPDB memang memiliki ikhtiar memeratakan kualitas pendidikan. Namun hal itu sulit dilakukan karena masih ada pandangan sekolah unggulan.
Sekolah itu dianggap memiliki guru dan fasilitas berkualitas sehingga masyarakat berbondong-bondong ingin anaknya menempuh pendidikan di sekolah favorit tersebut. "Perebutan sekolah favorit dan unggulan ini kuat. Padahal jumlah bangkunya terbatas," katanya saat dihubungi, kemarin.
Menurut Cecep, pemerintah perlu menstandarkan kualitas sekolah secara merata. Dengan begitu, pandangan adanya sekolah unggulan tidak ada. Untuk mengupayakan itu, pemerintah bisa mencari sumber pendanaan di luar APBN. "Misalnya sumbangan alumni yang sukses," katanya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan PPDB sulit mencapai pemerataan karena masih kurangnya ketersediaan bangku. Akibatnya, ada upaya untuk mendapatkan bangku yang terbatas dengan segala cara.
"Mereka harus sikut-sikutan menghalalkan segala cara untuk memenangi PPDB," katanya saat dihubungi, kemarin.
Menurut Ubaid, sistem PPDB seperti ini hanya menguntungkan sekolah negeri dan mendiskriminasi sekolah swasta. Hal ini juga merugikan masyarakat yang anaknya tak lolos karena harus mengeluarkan biaya yang mahal ataupun murah, tapi tidak berkualitas. "Ini jelas melenceng dari mandat konstitusi yang diemban pemerintah soal pelindungan dan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan," ujarnya.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul juga mengingatkan untuk berhati-hati dalam mencari solusi merger bagi sekolah yang kekurangan murid. Seperti kasus merger sekolah beraroma komersial di SDN Pondok Cina 1, Depok, Jawa Barat. "Sekolah itu dimerger, padahal sekolahnya tidak sepi (murid). Merger sekolah justru bernuansa komersial karena banyak pihak tertentu yang mengharapkan bidang tanah sekolah," katanya, kemarin.
Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Maulina Girsang mengakui memang ada kecurangan dalam jalur zonasi. Namun bukan berarti PPDB bermasalah.
Pemerintah, kata dia, sudah membuat aturan yang harus dilakukan sekolah. Salah satunya, sekolah perlu memproses validasi. Namun implementasi di lapangan tidak berjalan baik.
"Ketika di-upload, sekolah tidak mengklarifikasi dokumen. Oh, sudah ada kartu keluarga, sudah selesai. Padahal di kartu keluarga itu anaknya bisa 10, tahun lahirnya bisa lebih-kurang sama," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
M.A. Murtadho dari Bogor berkontribusi dalam penulisan artikel ini.