Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Anggota DPR Ungkap Tiga Model Rekayasa Konstitusional Usai MK Hapus Presidential Threshold

MK memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering) saat memutuskan menghapus Presidential Threshold

5 Januari 2025 | 18.58 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering) saat memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) atau Presidential Threshold. Pedoman itu dapat menjadi pertimbangan pembentuk Undang-Undang (UU) dalam merevisi UU Pemilu supaya jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.

Pilihan Editor: Dosen Universitas Mulawarman: Penghapusan Presidential Threshold Berpotensi Tingkatkan Partisipasi Pemilih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu poin pedoman itu yakni partai politik peserta pemilu dapat berkoalisi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres. Namun, koalisi itu tidak boleh menyebabkan dominasi partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Komisi II DPR dari fraksi Golkar Ahmad Irawan mengatakan, DPR dan Presiden Prabowo Subianto akan menjadikan lima pertimbangan itu sebagai rambu-rambu untuk menyusun rekayasa konstitusional. Rekayasa itu berkaitan dengan pembatasan supaya tidak terjadi dominasi partai politik dalam mengusung capres dan cawapres.

Menurut Ahmad, putusan MK tidak boleh mengizinkan rekayasa konstitusional dengan menerapkan pembatasan mengenai ukuran kursi, suara, maupun aturan yang memungkinkan adanya dominasi partai. Di luar itu, berbagai model rekayasa konstitusional masih diperbolehkan. 

“Karena ada hal yang paling mendasar yang tidak boleh yaitu menggunakan ukuran kursi dan suara. Hal kedua yang tidak boleh mengatur soal dominasi. Garis besarnya di situ. Di luar itu model penggabunganya boleh,” kata Ahmad saat dihubungi, Ahad, 5 Januari 2025.

Ahmad mengatakan, rekayasa konstitusional bisa dilakukan dengan menerapkan model pembatasan dominasi partai politik dalam mengusung capres dan cawapres. Menurut Ahmad, ada tiga model yang bisa dipertimbangkan.

Model pertama, partai politik pengusung capres dan cawapres hanya peserta pemilu yang ditetapkan KPU. Namun, model ini memiliki kekurangan. Sebab, partai peserta pemilu untuk 2029 belum diketahui.

Model kedua, pencegahan pembatasan dengan menerapkan dukungan maksimum. Dominasi partai politik misalnya bisa diatur maksimum 60 atau 70 persen untuk mengusung pasangan calon. "Atau, diatur supaya tetap harus tersedia lawan," kata Ahmad.

Namun, Ahmad menilai, model ini juga memiliki kekurangan. Sebab, partai politik pasti akan mendukung pasangan calon yang peluang menangnya besar. “Misalnya dia lihat dari survei bagus. Kan tidak mungkin memberi dukungan kepada calon yang kalah. Jadi ada kemungkinan pasangan tertentu didukung dominasi partai,” kata Ahmad.

Model ketiga bisa mengikuti sistem koalisi partai di Jerman. Di sana, kanselir ditentukan oleh partai pemenang pemilu atau partai besar. Menurut Ahmad, Indonesia juga bisa menerapkan itu.

“Apakah pemenang 1 dan 2 mengajukan capres. Partai yang selanjutnya bisa mengajukan cawapres atau bagaimana. Yang pasti partai-partai besar yang menentukan,” kata Ahmad.

Meski begitu, Ahmad mengatakan, model-model ini masih perlu dikaji. Sebab, model itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, menurut Ahmad, pada prinsipnya, ketiga model itu tidak melanggar hak politik partai yang tertuang dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal itu berisi bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Golkar sendiri, kata Ahmad, saat ini masih melakukan kajian atas rekayasa konstitusi tersebut. Menurut Ahmad, kajian memerlukan waktu lama karena merupakan isu besar. Kajian ini juga menyinggung isu Pemilihan Legislatif hingga isu syarat partai politik. “Jadi tidak bisa dibahas imparsial. Tapi satu paket politik, pemilu, dan pemerintahan. Harus dikaji secara mendalam,” kata Ahmad.  

Adapun MK mengabulkan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkaitan dengan syarat persentase Presidential Threshold.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra mengatakan syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Menurut Mahkamah, mempertahankan ketentuan ambang batas tersebut hanya akan memberikan dampak terbatasnya calon presiden dan wakil presiden yang bisa diusulkan. Apabila dibiarkan, kemungkinan potensi pemilu diikuti calon tunggal juga amat besar.

Sehingga, kata Saldi, jika hak tersebut terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.

"Agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dan partisipasinya meluas sesuai perkembangan demokrasi," ujar Saldi.

Meskipun presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, MK meminta tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.

Hal itu dengan mengacu pada Indonesia sebagai negara dengan sistem presidensial yang dalam praktik tumbuh dalam balutan model kepartaian majemuk (multi-party system).

Meski menekankan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai hak konstitusional semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu, MK berharap dalam revisi UU Pemilu kelak, pembentuk undang-undang dapat mengatur supaya tidak muncul pasangan calon dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

Adil Al Hasan berkontribusi dalam tulisan ini.


Pilihan Editor: MK Hapus Presidential Threshold Membuka Lebar Kandidat Pilpres 2029

Hendrik Yaputra

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus